Metformin merupakan obat sering diberikan untuk menangani sindrom ovarium polikistik atau polycystic ovarian syndrome (PCOS). Namun, mekanisme metformin pada PCOS masih belum dapat dijelaskan sepenuhnya dan terdapat beragam bukti klinis terkait hal ini.
Sindrom ovarium polikistik merupakan salah satu kelainan endokrin yang cukup sering ditemui pada wanita usia reproduktif dengan prevalensi 5–15%. PCOS merupakan salah satu penyebab infertilitas pada wanita, di mana dapat terjadi gangguan ovulasi karena hiperandrogenisme.[1-3]
PCOS biasanya disertai dengan disfungsi ovulasi (oligo/anovulasi), tanda hiperandrogenisme (hirsutisme), dan kista multipel pada ovarium. PCOS juga dapat disertai dengan dislipidemia dan resistensi insulin.[1-3]
Dampak jangka panjang dari PCOS sangat luas, meliputi diabetes gestasional, obesitas, diabetes mellitus tipe 2 (DMT2), apnea tidur/sleep apnea, dan gangguan kualitas hidup karena depresi atau ansietas.[4]
Manajemen Sindrom Ovarium Polikistik
Pada dasarnya, manajemen PCOS berfokus pada modifikasi diet dan gaya hidup. Terapi farmakologi umumnya dipakai untuk mengatasi gangguan metabolik, menginduksi ovulasi pada infertilitas, meregulasi siklus haid, dan mengurangi gejala hiperandrogenisme.
Gangguan metabolik, resistensi insulin, dan risiko diabetes lah yang menjadi landasan pemberian obat-obat yang dapat mensensitisasi insulin, seperti metformin dibenarkan. Metformin juga sering digunakan secara off-label untuk mengatasi karakteristik PCOS lainnya.[3,4]
Contohnya seperti iregularitas siklus menstruasi, hiperandrogenisme, dan obesitas. Meski demikian, mekanisme kerja dan bukti ilmiah metformin terhadap kondisi-kondisi tersebut masih belum dapat dipastikan.[3,4]
Rasionalisasi Pemberian Metformin pada Sindrom Ovarium Polikistik
Dalam beberapa dekade terakhir, pemberian metformin pada pasien PCOS dihubungkan dengan kemampuannya dalam mengatur siklus menstruasi. Obat ini juga dapat menginduksi ovulasi, dan sebagai terapi intoleransi glukosa serta sindrom metabolik terkait lainnya.[1]
Akan tetapi, masih terdapat keterbatasan dalam jumlah sampel yang kecil dan jangka terapi yang cukup singkat, sehingga masih perlu diteliti lebih lanjut untuk memastikan efikasi metformin untuk menatalaksana gangguan menstruasi dan hiperandrogenisme akibat PCOS.[1]
Efek Metformin pada Gangguan Menstruasi dan Hiperandrogenisme Klinis
Walaupun secara teori metformin dapat menurunkan kadar testosterone, data mengenai efikasinya untuk memperbaiki siklus menstruasi dan gejala klinis hiperandrogenisme klinis masih inkonsisten. Terapi metformin hanya sedikit memberikan efek perbaikan pada siklus menstruasi dengan hasil penelitian yang heterogen.
Sebuah tinjauan Cochrane yang mencakup 38 uji klinis acak dengan total 3.495 pasien PCOS menunjukkan bahwa metformin hanya sedikit memperbaiki pola menstruasi. Selain itu, metformin belum terbukti efektif untuk mengatasi gejala klinis hiperandrogenisme, seperti akne atau hirsutisme.[1]
Metformin juga kerap dibandingkan dengan pil kontrasepsi oral untuk mengatasi hirsutisme, akne, dan pola menstruasi pada pasien PCOS, seperti yang diteliti oleh Fraison et al. Meta-analisis ini mencakup 2.253 pasien dewasa dan remaja dari 44 uji acak terkontrol.[5]
Hasil studi menunjukkan bahwa diperkirakan metformin tidak lebih efektif daripada pil kontrasepsi oral dalam memperbaiki hirsutisme pada subgrup indeks massa tubuh 25–30 kg/m². Pada IMT <25 dan >30 kg/m², belum dapat dipastikan apakah terdapat perbedaan akan efikasi kedua agen tersebut.[5]
Dalam aspek keamanan, metformin dapat meningkatkan insidensi efek samping gastrointestinal yang berat dibandingkan dengan pil kontrasepsi oral.[5]
Metformin tidak memberikan hasil yang efektif sebagai terapi gejala klinis hiperandrogenisme, seperti akne dan hirsutisme. Oleh sebab itu, metformin tidak direkomendasikan sebagai lini pertama dalam manajemen siklus menstruasi yang ireguler dan penanganan gejala klinis hiperandrogenisme pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik.[1,6]
Di lain sisi, studi kohort prospektif oleh Yang et al menunjukkan efikasi metformin yang diberikan selama 24 bulan terhadap siklus menstruasi, hiperandrogenisme, dan profil metabolik pasien PCOS yang overweight dan normoweight. Hasil studi menyatakan bahwa metformin menghasilkan perbaikan pada kedua kelompok berat badan tersebut setelah 24 bulan terapi.[7]
Pasien dengan normoweight mengalami perbaikan menstruasi setelah 6 bulan terapi, sedangkan pasien overweight mencapai siklus menstruasi normal setelah 12 bulan terapi. Bukti ilmiah yang mendukung pemberian metformin untuk memperbaiki siklus menstruasi dan hiperandrogenisme masih kurang dan tidak konsisten. Oleh karena itu, metformin tidak dianjurkan sebagai pengobatan lini pertama untuk mengobati siklus menstruasi yang ireguler atau gejala klinis hiperandrogenisme.[7]
Efek Metformin pada Fertilitas dan Angka Kelahiran
Efikasi metformin dalam meningkatkan fungsi reproduksi pada PCOS telah banyak ditinjau dan beberapa data menunjukkan hasil yang cukup meyakinkan.[8]
Sebanyak 70% wanita dengan PCOS mengalami anovulasi atau oligo-ovulasi. sehingga induksi ovulasi merupakan tujuan terapi pada pasien PCOS yang mengalami infertilitas. Namun, anovulasi juga berkaitan dengan karakteristik PCOS lain, seperti obesitas.[2,8-10]
Oleh karena itu, di samping pemberian terapi induksi ovulasi, modifikasi pola hidup dan penurunan berat badan masih menjadi lini pertama terapi, meskipun belum ada data yang pasti mengenai hal ini.[2,8-10]
Klomifen sitrat merupakan terapi lini kedua yang banyak dipakai untuk menginduksi ovulasi pada pasien PCOS. Pada pasien yang resistan terhadap klomifen sitrat, metformin dapat diberikan sebagai kombinasi.[2,8-10]
Sebuah tinjauan Cochrane menemukan bahwa terdapat perbaikan angka kehamilan dan angka ovulasi pada pasien yang mendapatkan terapi kombinasi klomifen sitrat dan metformin, dibandingkan dengan terapi tunggal klomifen sitrat saja. Namun, tidak terdapat perbedaan bermakna terhadap angka kelahiran dari dua kelompok tersebut.[ 2,8-10]
Efek Metformin terhadap In Vitro Fertilization (IVF) dan Abortus
Terapi metformin tambahan dapat digunakan sebelum dan/atau selama stimulasi FSH (follicle stimulating hormone) pada pasien PCOS yang menjalani IVF dengan/tanpa intracytoplasmic sperm injection (ICSI) dengan protokol gonadotropin releasing hormone agonist (GnRH agonis) untuk memperbaiki tingkat kehamilan dan menurunkan risiko ovarian hyperstimulation syndrome (OHSS).[9,11]
Sebuah tinjauan Cochrane mengevaluasi efikasi dan keamanan metformin sebagai terapi tambahan selama IVF atau ICSI untuk mencapai kehamilan atau kelahiran hidup pada wanita dengan PCOS. Sebanyak 13 uji acak terkontrol yang diikutkan dalam tinjauan ini yang membandingkan antara metformin dengan plasebo atau tanpa terapi sebelum/selama IVF/ICSI.
Pada protokol GnRH jangka panjang, tidak ada bukti yang konklusif bahwa metformin dapat meningkatkan tingkat kelahiran hidup, tetapi metformin dapat meningkatkan tingkat kehamilan. Efikasi metformin dalam protocol GnRH jangka pendek tidak dapat dipastikan. Efek metformin pada tingkat abortus per pasien juga belum dapat dipastikan.
Efek samping lebih banyak dilaporkan pada pasien yang mendapatkan metformin dibandingkan dengan plasebo atau tanpa terapi.[12]
Efek Metformin pada Indeks Massa Tubuh
Efek metformin terhadap penurunan berat badan telah diteliti pada beberapa studi tetapi hasilnya masih bertentangan. Sebuah meta-analisis dari 16 uji acak terkontrol dengan total 630 partisipan meneliti efek metformin dengan dosis 1.500 mg per hari. Hasil studi menyatakan bahwa metformin tidak memiliki efikasi terhadap IMT, hanya terhadap rasio pinggang dan panggul saja (waist;hip ratio).
Meta-analisis lain mengemukakan bahwa metformin dapat bermanfaat terhadap IMT dan obesitas abdomen ketika digunakan sebagai tambahan dari perubahan pola hidup. Sebanyak 9 uji acak terkontrol yang dikaji oleh meta-analisis ini membandingkan antara pemberian metformin ditambah perubahan gaya hidup dengan perubahan gaya hidup saja. Didapatkan bahwa kombinasi modifikasi gaya hidup dan metformin lebih efektif mengurangi IMT.[1,6,13]
Efek Metformin terhadap Hiperinsulinemia
PCOS sudah lama dikaitkan dengan hiperinsulinemia sehingga metformin telah banyak dipakai untuk hal ini. Penelitian terdahulu mencoba membandingkan efikasi metformin dalam memperbaiki hasil tes toleransi glukosa oral pada pasien PCOS vs grup kontrol. Namun, temuan terkini masih menunjukkan hasil yang inkosisten dan belum ada bukti yang cukup kuat.[1]
Sebuah meta-analisis yang mengkaji 38 studi dengan partisipan pasien PCOS menunjukkan penurunan level insulin puasa, walaupun hasilnya heterogen secara signifikan. Pada analisis subgrup berdasarkan IMT, didapatkan bahwa penurunan level insulin terjadi hanya pada wanita tanpa obesitas.[6]
Meta-analisis oleh Naderpoor et al mencoba menilai efikasi kombinasi metformin dan modifikasi pola hidup yang dibandingkan dengan modifikasi pola hidup saja. Hasilnya, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dari dua intervensi tersebut terhadap level insulin 2 jam puasa.[13]
Pedoman terkait Pemberian Metformin pada Sindrom Ovarium Polikistik
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dalam Konsensus Infertilitas 2013 dan Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) dalam Guidelines Fertility 2004 menyatakan bahwa pemberian metformin sebagai insulin sensitizer dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan.
Kombinasinya yaitu dengan klomifen sitrat bertujuan untuk meningkatkan laju ovulasi dan kehamilan. Terapi kombinasi metformin dan klomifen sitrat dapat meningkatkan angka kehamilan jika dibandingkan dengan terapi klomifen sitrat tunggal.
Terapi kombinasi metformin dan klomifen sitrat juga dapat secara efektif menginduksi ovulasi dibandingkan dengan terapi klomifen sitrat tunggal. Meski demikian, perlu menjadi perhatian bahwa metformin memiliki efek samping signifikan, seperti mual, muntah, dan gangguan gastrointestinal lainnya.[4,14]
Kesimpulan
Efikasi metformin pada kasus sindrom ovarium polikistik memang masih perlu diteliti lebih lanjut, termasuk untuk masing-masing karakteristik klinis PCOS. Penelitian-penelitian yang ada masih menunjukkan hasil yang bertentangan, yang mungkin disebabkan oleh heterogenitas sampel, sehingga risiko biasnya tinggi dan kualitas bukti kurang.
Teori yang menjadi dasar hipotesis pemberian metformin pada sindrom ovarium polikistik adalah efeknya pada hormon androgen dan efektivitasnya dalam meningkatkan angka kesuburan melalui induksi ovulasi, walaupun hal-hal tersebut masih perlu dibuktikan secara klinis.
Manajemen yang menyeluruh pada pasien PCOS perlu diupayakan dengan menitikberatkan pada modifikasi pola hidup dan penurunan berat badan pada pasien obesitas. Pemberian metformin sebagai terapi tambahan dapat dipertimbangkan, apabila obat-obatan lini pertama, seperti klomifen sitrat atau pil kontrasepsi oral tidak memberikan perbaikan.
Namun, POGI dan RCOG menyatakan bahwa metformin dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan klomifen sitrat untuk meningkatkan laju ovulasi dan kehamilan.[4,14]
Apapun alasan yang menjadi dasar rasionalisasi pemberian terapi metformin, perlu menjadi perhatian akan efek samping signifikan yang ditimbulkan, yaitu gangguan gastrointestinal. Oleh karena itu, setiap pasien yang akan diberikan metformin harus diedukasi mengenai efek samping yang mungkin timbul.
Penulisan pertama oleh: dr. Josephine Darmawan
Direvisi oleh: dr. Ciho Olfriani