Kemudahan mengakses obat antijamur untuk mengobati kandidiasis vulvovaginal dipercaya akan memberikan dampak percepatan penanganan kasus dan penurunan biaya terkait konsultasi dokter. Obat antijamur yang dijual bebas (over the counter atau OTC), baik bentuk oral, krim, pesaria, maupun supositoria, diketahui efektif untuk mengatasi kandidiasis vulvovaginal tanpa komplikasi.[1,2]
Namun, apakah penggunaan antijamur tanpa konsultasi dokter tersebut benar aman? Walaupun kandidiasis vulvovaginal akan memberikan respons penyembuhan yang cepat jika diberikan terapi yang tepat, tetapi pasien perlu mengetahui indikasi, cara pemakaian, keamanan, efek samping, dan kontraindikasi masing-masing obat.[3]
Manfaat dan Risiko Penggunaan Antijamur
Obat antijamur, baik oral maupun topikal, sudah dijual tanpa resep dokter dan banyak digunakan pasien yang mendiagnosis dan mengobati diri sendiri. Namun, pasien pasti kesulitan untuk melakukan diagnosis secara akurat, sehingga seringkali menggunakan antijamur untuk vulvitis atau vaginitis yang tidak disebabkan kandida. Penelitian menunjukan bahwa hanya 28% self treated women yang benar mengalami kandidiasis vulvovaginal, dan hanya 35−50% wanita yang mengeluhkan gatal di area genital benar-benar terinfeksi kandida.[1,2,4]
Antijamur Topikal
Obat topikal golongan azol, seperti ketoconazole, miconazole, dan itraconazole, lebih efektif daripada nystatin untuk terapi kandidiasis vulvovaginal. Penggunaan antijamur topikal secara tepat dapat menyembuhkan 80−90% kasus. Obat topikal juga lebih cepat dalam meredakan gejala kandidiasis vulvovaginal. Namun, dapat memberikan reaksi hipersensitivitas lokal seperti sensasi gatal atau panas.[4,5]
Antijamur Sistemik
Obat peroral fluconazole efektif untuk terapi kandidiasis vulvovaginal. Fluconazole memiliki keunggulan, yaitu hanya perlu satu dosis dan cara pemberian yang lebih nyaman daripada topikal. Namun, dapat menyebabkan efek samping sistemik dan risiko hepatotoksik.[4,5]
Risiko Efek Samping:
Berdasarkan penelitian Yvonne et al, efek samping fluconazole bersifat ringan, seperti ruam kulit, diare, dan rambut rontok. Tidak ada laporan pasien yang mengalami drug induced hepatitis pada penggunaan fluconazole jangka panjang untuk terapi kandidiasis vulvovaginal, yaitu selama 26,2 bulan − 8,5 tahun.[6]
Risiko Toksisitas:
Toksisitas dapat terjadi jika terjadi interaksi antijamur dengan obat-obatan lain, terutama yang sama dimetabolisme di hati yang mempengaruhi substrat dari sitokrom P450 isoenzim CYP3A4. Sedangkan infeksi jamur lebih banyak ditemukan pada populasi dengan komorbid penurunan imunitas, seperti penderita diabetes melitus dan HIV, serta pada pengguna obat imunosupresan, seperti penerima transplantasi, kemoterapi, dan antialergi.[5]
Tabel 1. Interaksi Antijamur Sistemik dan Obat lain
Risiko Resistensi Obat:
Resistensi antijamur secara umum sangat jarang ditemui pada pasien kandidiasis vulvovaginal. Hanya 12,6% spesies candida yang diketahui telah mengalami resistensi terhadap fluconazole, seperti C. glabrata dan C. krusei. Pada penderita diabetes mellitus tidak terkontrol, kedua spesies ini predominan jika dibandingkan dengan C. albicans.[5]
Manfaat dan Risiko Penggunaan Antijamur pada Kehamilan
Secara umum, insidensi kandidiasis vulvovaginal meningkat pada wanita hamil, terutama pada trimester tiga. Kandidiasis vulvovaginal merupakan salah satu faktor risiko terjadinya persalinan preterm dan berat badan bayi lahir rendah. Pilihan antijamur yang aman pada kehamilan adalah obat topikal nystatin dan imidazole. Absorpsi terapi topikal sangat minimal dan dapat diabaikan.[5]
Berdasarkan rekomendasi FDA, fluconazole peroral untuk terapi kandidiasis vulvovaginal pada kehamilan masuk ke dalam kategori C, dengan dosis 150 mg dosis tunggal. Studi pada binatang percobaan memperlihatkan efek samping terhadap janin, dan belum ada studi terkontrol pada wanita hamil. Namun, tidak dianjurkan digunakan pada trimester pertama karena risiko teratogenik.[5]
Dampak Psikososial Kandidiasis Vulvovaginal Rekuren
Sekitar 75% wanita di dunia pernah mengalami kandidiasis vulvovaginal sekali sepanjang hidupnya, 50%nya dapat mengalami infeksi kedua, dan 5−8% berkembang menjadi rekuren. Recurrent vulvovaginal candidiasis (RVVC) didefinisikan sebagai >4 episode kandidiasis vulvovaginal dalam 1 tahun.[1,2]
Secara global, sebanyak 138 juta wanita mengalami RVVC setiap tahunnya. Kondisi ini dapat menyebabkan stres psikososial, dan memberikan dampak negatif terhadap kehidupan sosial wanita. Wanita dengan kandidiasis vaginal rekuren dapat mengalami kehilangan kepercayaan diri, tidak dapat beraktivitas fisik normal, dan kesulitan dalam kehidupan seksual.[1,2]
Penelitian Zeinab et al menunjukkan bahwa RVVC berhubungan secara signifikan dengan kepuasan seksual dan kesehatan mental yang menurun, termasuk kejadian depresi, kecemasan, dan stres. Pertambahan stres ini akan menyebabkan penurunan imunitas sehingga pasien lebih rentan terkena infeksi, termasuk kandidiasis vaginal rekuren.[7]
Pilihan Terapi Kandidiasis Vulvovaginal Rekuren
Untuk mencegah dampak psikososial RVVC, pilihan terapi harus tepat. Penggunaan fluconazole 50 mg/hari selama 12 minggu terbukti lebih baik daripada fluconazole sekali setiap minggu (jika ada keluhan).[6]
Edukasi Pasien Terkait Kemudahan Mengakses Antijamur
Edukasi pasien yang tepat berperan penting dalam penanganan kandidiasis vulvovaginal. Saat membeli obat over the counter (OTC), pasien perlu memperhatikan indikasi, dosis, cara pemakaian, serta risiko efek samping obat. Beberapa keadaan yang mengharuskan konsultasi dengan dokter, antara lain:
- Keluhan bertambah berat atau tidak berkurang
- Terjadi efek samping
- Pasien memiliki penyakit kronik atau sedang dalam kondisi medis tertentu, misalnya HIV, diabetes melitus, kehamilan, atau pasien yang menjalani kemoterapi dan terapi imunosupresan
- Sedang mengonsumsi obat-obatan rutin[1,2]
Pasien perlu memahami bahwa penggunaan obat OTC tanpa diagnosis yang tepat seringkali tidak akurat dan tidak efektif. Penggunaan antifungal jangka panjang dan tidak dalam pengawasan dokter dapat meningkatkan risiko resistensi, risiko toksisitas akibat interaksi obat, serta meningkatkan insidensi kandidiasis vulvovaginal rekuren.[1,2]
Kesimpulan
Kandidiasis vulvovaginal merupakan infeksi umum yang dapat menyebabkan masalah fisik dan psikologis. Semakin mudahnya akses obat antijamur OTC dapat menurunkan biaya terkait konsultasi dokter. Selain itu, kemudahan membeli anti jamur dapat mencegah gangguan psikososial, seperti depresi, kecemasan, dan stress akibat kandidiasis vulvovaginal tanpa komplikasi.
Namun, penggunaan antijamur tanpa pengawasan dokter perlu hati-hati dalam hal indikasi, dosis, cara pemakaian, efek samping, dan interaksi obat. Penggunaan antijamur pada populasi khusus harus dengan pengawasan dokter, misalnya pada kehamilan, penderita diabetes melitus dan HIV, serta pengguna obat imunosupresan.
Perlu dipahami bahwa penggunaan obat bebas tanpa diagnosis yang tepat seringkali menjadi tidak akurat dan tidak efektif. Penderita kandidiasis vulvovaginal yang tidak membaik setelah terapi atau rekuren harus berkonsultasi dengan dokter untuk menegakkan diagnosis secara pasti. Definisi recurrent vulvovaginal candidiasis (RVVC) adalah gejala yang timbul sebanyak >4 episode dalam 1 tahun.