Prokalsitonin dan C-Reactive Protein (CRP) sudah banyak digunakan sebagai penanda sepsis di intensive care unit (ICU). Prokalsitonin dianggap lebih baik dalam penilaian prognostik. Sedangkan CRP digunakan sebagai skrining awal sepsis.
Sepsis adalah reaksi disregulasi sistemik tubuh terhadap infeksi, yang dapat menyebabkan disfungsi organ yang mengancam nyawa. Konsensus internasional ke-3 tahun 2016 mendefinisikan sepsis sebagai disfungsi organ yang mengancam nyawa yang terjadi akibat respons imun inang yang disregulasi terhadap infeksi.[1,2]
Sepsis merupakan salah satu penyebab tersering perawatan intensive care unit (ICU) di rumah sakit dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Pasien-pasien yang berisiko menderita sepsis harus segera diidentifikasi sebelum terjadi disfungsi organ lebih lanjut yang akan mempengaruhi prognosis pasien. Hal ini tentunya membutuhkan modalitas diagnostik yang akurat dan cepat agar dapat memberikan inisiasi terapi dengan maksimal.[1,3]
Penanda umum untuk inflamasi sistemik yang digunakan merupakan C-reactive Protein (CRP), laju endap darah (LED), dan jumlah leukosit. Pemeriksaan ini terbukti memiliki berbagai keterbatasan dalam mendiagnosis sepsis. [4] Sedangkan pemeriksaan kultur mikrobiologi sebagai pemeriksaan konvensional baku emas bakteremia membutuhkan waktu pemeriksaan yang lama dan tidak menggambarkan respons inang terhadap inflamasi sistemik maupun onset terjadinya disfungsi organ. Selain itu, pemeriksaan kultur mikrobiologi terkadang dapat menunjukkan hasil positif palsu maupun negatif palsu yang dapat mengakibatkan kesalahan diagnosis pada pasien. Berbagai keterbatasan ini memicu para peneliti untuk mencari penanda lain yang lebih sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis pasien dengan sepsis.[5]
Hingga saat ini, prokalsitonin dan CRP menjadi penanda biokimia yang telah banyak diteliti dan berperan dalam identifikasi sepsis, penanda prediktor sepsis, dan berperan dalam menilai derajat keparahan sepsis.[1,3]
Sekilas Mengenai Prokalsitonin
Prokalsitonin adalah pro-hormon dari kalsitonin yang disekresikan oleh sel parenkim di berbagai organ dan jaringan (hati, ginjal, sel adiposit, dan sel otot) sebagai respons terhadap mediator pro-inflamasi yang distimulasi oleh toksin bakteri. Sekresi prokalsitonin terutama distimulasi oleh infeksi bakteri dalam tubuh.[4-6]
Pada keadaan normal, prokalsitonin yang diproduksi di sel-C kelenjar tiroid akan dikonversi seluruhnya menjadi kalsitonin, sehingga tidak ada pelepasan prokalsitonin ke sirkulasi perifer. Maka dari itu kadar prokalsitonin akan sangat rendah (<0.05 ng/mL) pada individu normal.[4]
Prokalsitonin akan meningkat hingga 5000 kali lipat dalam kurun waktu 2-4 jam sebagai respons terhadap toksin bakterialis. Sebaliknya, prokalsitonin akan menurun konsentrasinya pada infeksi virus. Kondisi hiperprokalsitoninemia pada inflamasi sistemik atau infeksi akan terjadi dalam waktu 2-4 jam semenjak onset, yang kemudian memuncak dalam waktu 8-24 jam dan bertahan selama proses inflamasi berlangsung. Waktu paruh prokalsitonin dalam sirkulasi tubuh adalah 24 jam.[6,7]
Peningkatan prokalsitonin dapat juga ditemukan pada beberapa kondisi non-infeksius seperti trauma, gangguan autoimun, henti jantung, tindakan operasi, luka bakar, dan pankreatitis.[6,7] Konsentrasi prokalsitonin >0.1 ng/mL menunjukkan infeksi bakterialis relevan yang membutuhkan terapi antibiotik. Sedangkan konsentrasi prokalsitonin >0.5 ng/mL menunjukkan penderita berisiko untuk menderita sepsis berat atau syok sepsis. Perbaikan klinis pasien akan mengakibatkan konsentrasi prokalsitonin segera menurun dan kembali normal.[5] Peningkatan kadar prokalsitonin menunjukkan sensitivitas 89% dan spesifisitas 94% sebagai penanda diagnostik sepsis.[4]
Sekilas Mengenai C-reactive protein
C-reactive protein (CRP) adalah protein yang diproduksi di hati sebagai respons terhadap infeksi dan/atau inflamasi. C-reactive protein telah lazim digunakan untuk mendiagnosis dan memantau kondisi pasien sepsis.[8]
C-reactive protein akan meningkat dalam waktu 12-24 jam setelah onset infeksi dan bertahan hingga 3-7 hari. Konsentrasi CRP akan meningkat hingga di atas 1000 kali lipat pada kondisi inflamasi akut, sehingga telah digunakan selama beberapa dekade untuk mendeteksi proses inflamasi ataupun infeksi terutama pada pasien-pasien pediatrik.[5,7,8]
Maka dari itu, hingga saat ini CRP masih digunakan untuk skrining tahap awal sepsis di neonatologi. Namun CRP menunjukkan spesifisitas yang rendah sebagai penanda sepsis orang dewasa. [5,7,8] Konsentrasi CRP serum di atas 50 mg/L menunjukkan sensitivitas 84,3% dan spesifisitas 46,1% untuk diagnosis sepsis.[8]
Prokalsitonin Versus CRP Sebagai Penanda Sepsis
Berbagai penelitian telah mencoba mengkaji sensitivitas dan spesifisitas penanda diagnostik untuk sepsis. Belum adanya pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis sepsis mengakibatkan para klinisi mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi sepsis. Hingga saat ini, prokalsitonin dan CRP merupakan penanda sepsis yang paling sering digunakaN.[3]
Keunggulan dan Kekurangan Prokalsitonin dan CRP
Dibandingkan dengan CRP, prokalsitonin menunjukkan nilai diagnostik dan prognostik yang lebih baik dan mampu membedakan infeksi yang diakibatkan oleh bakteri atau virus. Konsentrasi prokalsitonin akan meningkat dengan cepat dibandingkan CRP pada sepsis, dan akan kembali normal dalam kurun waktu yang lebih singkat dibandingkan CRP.[9] Namun terlepas dari berbagai keunggulan prokalsitonin tersebut, perlu diingat bahwa prokalsitonin juga akan meningkat pada kondisi-kondisi lain selain infeksi.[3]
Harga pemeriksaan prokalsitonin juga lebih mahal, yaitu sekitar 8 kali lipat dibandingkan dengan CRP. Studi komparatif oleh Harsha et al. menyatakan bahwa prokalsitonin dan CRP merupakan penanda yang bermakna dalam mendeteksi pneumonia yang disebabkan oleh berbagai tipe infeksi. Studi ini menyatakan bahwa prokalsitonin prokalsitonin lebih baik dibandingkan CRP dalam memprediksi infeksi bakterial (P<0.001). Selain itu, prokalsitonin lebih unggul dalam menilai derajat keparahan sepsis dan menjadikan penanda diagnostik sepsis yang baik.[9,10]
Penelitian oleh Patil et al. (2020) mendapatkan prokalsitonin menunjukkan korelasi yang lebih signifikan terhadap skor sepsis APACHE II dan SOFA dibandingkan CRP. Penelitian oleh Sudhir U et al., juga menunjukkan hubungan signifikan antara prokalsitonin dengan skor SOFA sepsis. Berbagai parameter sepsis, disfungsi organ, dan angka mortalitas berkorelasi secara signifikan dengan kadar prokalsitonin dibandingkan dengan CRP [9,11]
Prokalsitonin dan CRP Sebagai Alat Prognostik
Penurunan kadar prokalsitonin yang cepat mampu memprediksi outcome yang lebih baik pada pneumonia, meningitis, luka bakar, dan infeksi lain. Sudhir et al. melaporkan bahwa CRP mungkin lebih baik dalam menentukan respons terapi antibiotik pada pasien, namun prokalsitonin merupakan indikator risiko yang lebih baik untuk komplikasi sepsis, yaitu syok sepsis, gagal organ, dan mortalitas.[11]
Pemeriksaan CRP dianjurkan dilakukan beberapa hari setelah pasien dirawat di ICU, yaitu pada hari ke-3 dan ke-5 setelah terapi untuk menilai respons antibiotik dan outcome pada pasien sepsis di ICU. Kadar CRP >100 mg/L pada hari ke-3 di ICU dapat menjadi penanda prediktor mortalitas pasien.[12] Penelitian oleh Koozi et al. menunjukkan kadar CRP >100 mg/L pada saat pasien masuk ICU yang berhubungan dengan peningkatan risiko sepsis, lama perawatan, dan tingkat mortalitas pasien.[11]
Penelitian oleh Qi et al. (2018) mendapatkan bahwa CRP merupakan indikator yang lebih sensitif untuk mendiagnosis sepsis neonatus. Peningkatan kadar prokalsitonin dan CRP dapat menjadi penanda faktor risiko prognosis buruk pada pasien sepsis. Semakin tinggi kadar prokalsitonin dan CRP maka prognosis pasien akan semakin buruk. Penelitian ini mendapatkan bahwa prokalsitonin dan CRP menunjukkan performa yang baik dalam menilai prognosis sepsis.[13]
Prokalsitonin Sebagai Penanda Diagnostik
Prokalsitonin telah diteliti sebagai penanda diagnostik pada berbagai kondisi, seperti fever of unknown origin, meningitis, infeksi saluran nafas, infeksi saluran kemih, luka bakar, dan bloodstream infection. Prokalsitonin juga telah diteliti sebagai penanda prognostik yang baik dalam menunjukkan bacterial load dan derajat keparahan sepsis. Penelitian oleh Nanda et al. (2016) menunjukkan bahwa kadar prokalsitonin sebagai indikator sepsis dengan cut-off >0.5ng/mL memiliki sensitivitas 85,7% dan spesifisitas 24,4%. Sedangkan cutoff >2ng/mL menunjukkan sensitivitas 71,4% dan spesifisitas 56,6%.[10]
Penelitian lainnya mengatakan bahwa kadar prokalsitonin dengan cut-off 0.5ng/mL menunjukkan sensitivitas 90% dan spesifisitas 84%, sedangkan untuk cut-off 2ng/mL menunjukkan sensitivitas 85,7% dan spesifisitas 94,7% sebagai indikator sepsis. [10,14] Prokalsitonin menunjukkan sensitivitas 97% dan spesifisitas 78% dengan cut-off prokalsitonin 1.1ng/mL dalam mendiagnosis systemic inflammatory response (SIRS) dan sebagai indikator sepsis pada pasien yang baru masuk perawatan ICU.[10]
Kesimpulan
Penegakkan diagnosis awal dan pemberian terapi antibiotik yang cepat merupakan kunci dalam penatalaksanaan sepsis. Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin memiliki performa yang baik dalam mendiagnosis dan menilai prognosis pasien sepsis dan sebaiknya dilakukan pada saat awal masuk perawatan di ICU.
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa prokalsitonin lebih unggul sebagai penanda diagnostik dan prognostik sepsis. Prokalsitonin juga mampu membedakan penyebab infeksi sepsis yang berasal dari bakteri atau virus. Namun perlu diingat bahwa prokalsitonin juga dapat meningkat pada keadaan-keadaan non-infeksi dan harga pemeriksaan yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan CRP. Pemeriksaan prokalsitonin yang diperiksa secara tunggal maupun kombinasi dengan pemeriksaan lain pada saat awal pasien masuk ICU mampu memberikan informasi mengenai diagnosis, penyebab, progresivitas, komplikasi, prognosis, dan monitoring regimen terapi pada sepsis.