Efek Dapaglifozin pada Pasien Penyakit Ginjal Polikistik yang Mendapat Tolvaptan – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,Finasim,IDF-Fellow

Open-Label, Randomized, Controlled, Crossover Trial on the Effect of Dapagliflozin in Patients With ADPKD Receiving Tolvaptan

Uchiyama K, Kamano D, Nagasaka T, et al. Kidney International Reports, 2025. 10, 1063–1075. doi: 10.1016/j.ekir.2025.01.023

studilayak

Abstrak

Latar Belakang: Meski dapagliflozin, inhibitor kotransporter natrium-glukosa 2 (SGLT2), dapat menunda atau memperlambat perkembangan penyakit ginjal kronis (PGK), dampaknya pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik autosomal dominan (autosomal dominant polycystic kidney disease/ADPKD) belum ditelusuri. Peneliti melakukan uji coba crossover acak terkontrol, label terbuka untuk mengevaluasi efek tambahan dapagliflozin pada pasien ADPKD yang sedang mendapat tolvaptan.

Metode: Sebanyak 27 pasien secara acak diseimbangkan untuk menerima dapagliflozin 10 mg atau perawatan biasa tanpa dapagliflozin selama 6 bulan. Luaran primer adalah perubahan laju filtrasi glomerulus (eGFR) yang ditentukan oleh regresi linier dari 1 hingga 6 bulan, sedangkan luaran sekunder meliputi perubahan volume ginjal total (TKV). eGFR dihitung berdasarkan kadar kreatinin (eGFRcr), kadar sistatin C (eGFRcys), dan rerata eGFRcr dan eGFRcys (eGFRcr-cys).

Hasil:   Tampak pelemahan signifikan pada kemiringan eGFRcr-cys (2,57±7,88 vs. -5,65 ±9,57 ml/menit per 1,73 m² per tahun, P=0,002) maupun eGFRcys (3,91±11,40 vs. -8,43±13,44 ml/menit per 1,73 m² per tahun, P=0,003) selama uji coba di kelompok dapagliflozin jika dibandingkan dengan kelompok tanpa dapagliflozin.

Sementara itu, kemiringan eGFRcr menunjukkan pelemahan moderat selama uji coba di kelompok dapagliflozin (1,03±10,78 vs. -3,66+8,88 ml/menit per 1,73 m² per tahun, P=0,06). Perubahan TKV 6 bulan mengalami penurunan yang signifikan pada kelompok dapagliflozin jika dibandingkan dengan kelompok tanpa dapagliflozin selama uji coba (-0,44±4,91% vs. 5,04±8,09%, P=0,01).

Kesimpulan:  Pada pasien ADPKD yang diobati dengan tolvaptan, penambahan dapagliflozin bermanfaat dalam memperlambat progresi ADPKD.

Efek Dapaglifozin pada Pasien Penyakit Ginjal Polikistik yang Mendapat Tolvaptan

Ulasan Alomedika

Penyakit ginjal polikistik autosomal dominan (autosomal dominant polycystic kidney disease/ADPKD) merupakan salah satu penyakit genetik yang sering mengakibatkan gagal ginjal. Tolvaptan, suatu vasopressin V2 receptor antagonist merupakan satu-satunya obat yang terbukti efektif dalam terapi ADPKD.

Di sisi lain, dapaglifozin, salah satu obat dari golongan inhibitor SGLT2, sudah terbukti secara klinis efektif dalam upaya memperlambat progresi gagal ginjal. Namun, data klinis tentang percobaan inhibitor SGLT2 saat ini menyingkirkan pasien ADPKD dari partisipan penelitiannya. Studi ini bermaksud untuk mengevaluasi dampak penambahan dari dapaglifozin kepada pasien ADPKD yang sedang mendapat tolvaptan.

Ulasan Metode Penelitian

Studi ini melibatkan pasien rawat jalan dengan ADPKD yang berasal dari beberapa departemen nefrologi di rumah sakit di Jepang, termasuk Japanese Red Cross Medical Center dan Keio University Hospital, dengan periode rekrutmen dari desember 2021 hingga maret 2024.

Partisipan:

Kriteria inklusi utama pasien adalah usia di atas 20 tahun, terdiagnosis ADPKD berdasarkan kriteria diagnostik spesifik dari Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, serta sedang menerima tolvaptan dosis tinggi (>60 mg/hari) selama lebih dari 3 bulan dengan estimated glomerular filtration rate (eGFR) di atas 25 ml/menit/1,73 m².

Selain itu, peserta harus memiliki volume ginjal total (TKV) di atas 750 ml dan pertumbuhan TKV tahunan di atas 5%. Pasien dengan diabetes, kontraindikasi penggunaan penghambat SGLT2, atau yang sudah mengonsumsi dapagliflozin atau penghambat SGLT2 lainnya dikecualikan dari penelitian. Sebanyak 27 pasien memenuhi kriteria inklusi untuk dianalisis dalam uji coba crossover terkontrol acak dan berlabel terbuka ini.

Parameter Luaran:

Luaran utama penelitian ini adalah laju penurunan fungsi ginjal, yang dinilai dari perubahan slope eGFR, termasuk eGFRcr, eGFRcys, dan eGFRcr-cys. Luaran sekunder mencakup perubahan total kidney volume (TKV), berat badan, tekanan darah, biomarker urin, serta kadar vasopresin plasma.

Selain itu, parameter lain yang diukur Adalah parameter eksploratori  yang mencakup kadar hemoglobin, hematokrit, glukosa, HbA1c, asam urat, protein, elektrolit, dan profil lipid. Luaran keamanan juga dievaluasi, yakni mencakup kejadian efek samping serius maupun non-fatal.

Ulasan Hasil Penelitian

Hasil penelitian menunjukkan adanya pelemahan signifikan pada kemiringan atau slope laju filtrasi glomerulus (eGFR) yang diukur berdasarkan kreatinin-sistatin C (eGFRcr-cys) dan sistatin C (eGFRcys) selama periode penggunaan dapagliflozin, jika dibandingkan dengan periode tanpa dapagliflozin.

Secara spesifik, kemiringan eGFRcr-cys berubah dari -5,65 ±9,57 menjadi 2,57 ±7,88 ml/menit/1,73 m² per tahun (P=0,002). Sementara itu, kemiringan eGFRcys berubah dari -8,43 ±13,44 menjadi 3,91 ±11,40 ml/menit/1,73 m² per tahun (P=0,003). Meski demikian, kemiringan eGFR berdasarkan kreatinin (eGFRcr) hanya menunjukkan hasil moderat selama penggunaan dapagliflozin, yakni 1,03 ±10,78 dibandingkan -3,66 ±8,88 ml/menit/1,73 m² per tahun (P=0,06).

Selain itu, perubahan TKV selama 6 bulan juga membaik secara signifikan pada periode penggunaan dapagliflozin (-0,44 ±4,91%) jika dibandingkan tanpa dapagliflozin (5,04 ±8,09%, P=0,01). Temuan ini mengindikasikan bahwa dapagliflozin dapat memberikan efek additif dalam memperlambat perkembangan ADPKD pada pasien yang diobati dengan tolvaptan.

Kelebihan Studi

Desain pada penelitian ini memampukan pengurangan aspek variabilitas antara individu pada ukuran sampel yang relatif kecil. Selain itu, luaran yang digunakan ialah luaran yang objektif dan relevan secara klinis, yang merupakan ukuran standar untuk menilai perkembangan penyakit pada ADPKD. Studi ini juga merupakan studi pertama yang mengevaluasi efek additif dapaglifozin pada pasien ADPKD yang sedang mendapatkan tolvaptan.

Limitasi Studi

Ukuran sampel yang relatif kecil (hanya 27 pasien yang dianalisis) dapat membatasi kemampuan generalisasi hasil dan kekuatan statistik untuk mendeteksi efek yang konsisten. Lebih lanjut, periode follow up yang singkat, yaitu 6 bulan per periode dan total 1 tahun, mungkin belum memadai sepenuhnya dalam mengevaluasi dampak jangka panjang pada perkembangan penyakit ADPKD yang umumnya berjalan lambat.

Tidak adanya periode washout antara dua periode perlakuan dalam desain crossover juga menjadi keterbatasan, meskipun studi ini menyatakan efek carryover minimal. Terakhir, kepatuhan terhadap pengobatan tolvaptan, yang merupakan terapi dasar, tidak dapat dipantau secara langsung, yang dapat menjadi sumber variabilitas lain terhadap hasil penelitian.

Aplikasi Hasil Penelitian Di Indonesia

Terlepas dari masih terbatasnya ketersediaan tolvaptan maupun dapaglifozin di Indonesia, penelitian ini mengindikasikan bahwa penambahan dapaglifozin pada terapi tolvaptan untuk ADPKD dapat memperlambat progresi penyakit. Temuan ini dapat dijadikan pertimbangan dalam praktik klinis di Indonesia, terutama untuk pasien ADPKD dengan progresivitas tinggi.

Referensi