Faktor risiko dengue berat perlu diidentifikasi oleh dokter sejak dini agar dokter dapat merencanakan penatalaksanaan yang tepat dan menghindari komplikasi. Dengue merupakan penyakit arbovirus yang paling sering ditemukan di dunia. Pada derajat berat di mana kebocoran plasma parah dan syok telah terjadi, penyakit ini dapat menyebabkan kematian.
Di Indonesia, laju insiden Demam Berdarah Dengue (DBD) meningkat dalam 50 tahun terakhir. Pada tahun 2021, terdapat 73.518 kasus dengue dan 705 kematian terkait dengue. Pada tahun 2022 (hingga minggu ke-15), sudah terdapat 34.503 kasus dengue dan 350 kematian terkait dengue.[1]
Klasifikasi demam dengue konvensional yang telah digunakan sejak era 1970-an sudah direvisi oleh Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) pada tahun 2009. Sebelumnya, dengue terbagi atas empat kategori, yaitu demam dengue non-klasik, demam dengue klasik, DBD, dan Sindrom Syok Dengue/Dengue Shock Syndrome (DSS). Kemudian, revisi WHO mengklasifikasikan demam dengue hanya sebagai demam dengue non-berat dan berat.[2-4]
Dengue non-berat lalu dibedakan menjadi dengue dengan tanda bahaya dan dengue tanpa tanda bahaya. Klasifikasi ini didasarkan pada derajat keparahan klinis dengue untuk mempermudah tata laksana, pelaporan, dan surveilans.[3]
Perjalanan klinis dengue dari derajat ringan ke derajat berat sering kali sulit diprediksi, sehingga dokter perlu mewaspadai faktor-faktor risiko yang ada pada pasien sejak dini. Faktor yang diduga merupakan prediktor dengue berat adalah komorbiditas, koinfeksi, dan usia pasien. Berbagai studi telah dilakukan untuk membuktikan ada tidaknya hubungan antara faktor-faktor ini dengan kejadian dengue yang berat.[2,3]
Komorbiditas
Sangkaew et al melakukan tinjauan sistematik terhadap 150 studi dan meta analisis terhadap 122 studi yang membahas 25 faktor prediktor keparahan dengue. Hasil menunjukkan bahwa penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, penyakit ginjal, dan penyakit jantung bisa meningkatkan risiko dengue berat hingga 2–4 kali lipat.[5]
Tsheten et al juga melakukan meta analisis terhadap 143 studi yang mempelajari faktor risiko dengue berat. Faktor risiko progresivitas ke dengue berat adalah infeksi dengue sekunder (OR 3,23; 95%CI 2,28–4,57), komorbiditas diabetes (OR 2,88; 95%CI 1,72–4,81), dan penyakit ginjal (OR 4,54; 95%CI 1,55–13,31).[6]
Akan tetapi, hasil kedua meta analisis ini perlu ditafsirkan secara berhati-hati karena adanya heterogenitas dan bias publikasi tingkat sedang-tinggi pada studi-studi yang dianalisis. Penelitian ini juga belum dapat mengidentifikasi apakah terdapat peran viremia, serotipe virus, dan faktor genetik untuk memprediksi keparahan dengue.[5,6]
Seseorang dengan komorbiditas berisiko lebih tinggi untuk mengalami dengue berat karena dirinya mungkin mengalami endotoksemia tingkat rendah/low grade endotoxemia, disbiosis mikroba usus, dan perubahan fenotipe sel imun bawaan. Mediator lipid yang bersifat imunosupresif dan proinflamasi serta fenotipe monosit yang berubah bisa mempengaruhi sel T dan sel B, yang kemudian mengganggu sistem imun adaptif terhadap virus.[11]
Koinfeksi
Kekhawatiran tentang dampak koinfeksi dengue dengan penyakit virus lain juga telah dipelajari. Irekeola et al melakukan tinjauan sistematik terhadap 83 uji yang melibatkan 43.341 pasien untuk mengetahui dampak koinfeksi dengue dan chikungunya. Prevalensi global koinfeksi dengue dan chikungunya diketahui mencapai 2,5% dengan proporsi kasus terbanyak ditemukan di Asia.[7]
Manifestasi penyakit berat diduga lebih sering terjadi pada kasus koinfeksi dengue dan chikungunya. Namun, bukti saat ini mengisyaratkan bahwa tingkat keparahan pasien koinfeksi tidak berbeda bermakna dengan pasien monoinfeksi.[7]
Selain gejala klasik dengue, ada juga kekhawatiran tentang terjadinya manifestasi neurologis dan hemoragik yang lebih berat pada kasus koinfeksi. Selain itu, arthritis kronis persisten dan gangguan kognitif juga dikhawatirkan terjadi pada pasien koinfeksi dengue dan chikungunya. Namun, studi prospektif lanjutan tentang kaitan koinfeksi dan derajat keparahan klinis penyakit masih diperlukan.[7]
COVID-19 di area hiperendemik dengue juga turut menjadi isu kesehatan yang mulai diperhatikan. Akan tetapi, sebagian besar bukti yang ada tentang koinfeksi dengue dan COVID-19 hanya berupa laporan kasus dari Argentina, Indonesia, India, Brazil, Prancis, Pakistan, dan Thailand.[8]
Mayoritas koinfeksi dengue dan COVID-19 ditemukan pada orang dewasa. Komplikasi dari koinfeksi dengue dan COVID-19 dapat mencakup syok septik, respiratory distress syndrome, dan kegagalan multiorgan. Kematian dilaporkan terjadi pada 6 dari 16 kasus koinfeksi yang dilaporkan dalam analisis Tsheten et al.[8]
Suatu laporan kasus di Bandung oleh Alam et al mendeskripsikan seorang bayi berusia 10 bulan yang mengalami koinfeksi COVID-19 dan dengue. Bayi tersebut mengalami komplikasi serius, yakni COVID-19 berat dengan dengue yang disertai syok dan disseminated intravascular coagulation (DIC).[12]
Usia Pasien
Menurut berbagai studi yang ada, angka kematian akibat dengue sesuai usia mengikuti pola bimodal, yakni paling tinggi pada usia anak-anak dan usia tua. Meta analisis Tsheten et al terhadap 143 studi yang mempelajari faktor risiko dengue berat melaporkan bahwa usia anak-anak merupakan salah satu faktor risiko dengue yang berat (OR: 1.96; 95%CI: 1,22–3,13). Usia anak-anak dalam meta analisis ini didefinisikan sebagai usia <20 tahun.[6]
Studi retrospektif oleh Hegazi et al terhadap 17.646 kasus dengue juga melaporkan bahwa populasi anak (usia ≤18 tahun) memiliki risiko lebih signifikan untuk mengalami progresivitas ke dengue berat (OR: 1,96; 95%CI: 1,45–2.65: P < 0,0001).[9]
Menurut data Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2020, proporsi kematian DBD paling tinggi adalah pada anak usia 5–14 tahun lalu diikuti dengan anak usia 1–4 tahun. Proporsi kematian per golongan umur adalah sebagai berikut:
- Usia <1 tahun: 10,32%
- Usia 1–4 tahun: 28,57%
- Usia 5–14 tahun: 34,13%
- Usia 15–44 tahun: 15,87%
- Usia >44 tahun: 11,11%[13]
Menurut studi kohort retrospektif oleh Fonseca-Portilla et al terhadap 24.495 pasien di Meksiko, pasien demam dengue yang berusia <10 tahun dan yang berusia >60 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi. Komplikasi pada kelompok usia tua mungkin berkaitan dengan banyaknya komorbiditas, seperti diabetes, hipertensi, sirosis, supresi sistem imun, dan penyakit ginjal kronis.[10]
Kesimpulan
Dengue memiliki perjalanan penyakit yang dinamis, sehingga identifikasi faktor risiko dengue berat berperan penting dalam menentukan pemantauan dan tata laksana lebih lanjut. Faktor risiko dengue berat diperkirakan dapat berupa usia anak, usia lanjut, dan komorbiditas kronis seperti diabetes, penyakit ginjal, hipertensi, dan penyakit jantung.
Koinfeksi dengan penyakit lain, misalnya COVID-19 atau chikungunya, juga diduga bisa menjadi faktor risiko dengue berat. Akan tetapi, bukti yang ada saat ini masih terbatas dan studi lebih lanjut masih diperlukan untuk konfirmasi.
Mengingat perjalanan klinis dengue yang kadang sulit diprediksi, pencegahan tetap menjadi strategi utama dalam manajemen dengue.
*Konten ini murni bersifat informatif dan bukan suatu program pendidikan formal yang ditujukan sebagai sponsor untuk tenaga kesehatan. Konten ini tidak akan memberikan segala bentuk lisensi atau sertifikasi mengenai topik yang dibahas.*
*Referensi berikut ini adalah termutakhir pada saat artikel ini dibuat dan pada saat anda membaca mungkin sudah tersedia referensi yang lebih mutakhir. Oleh karena itu kami mendorong pembaca untuk dapat memeriksa kembali referensi tersebut dengan sumber yang lebih mutakhir.*