Retensi urin akut dapat terjadi karena berbagai etiologi dan memiliki berbagai pilihan langkah penanganan. Kurangnya pemahaman tentang retensi urin akut dapat menyebabkan tindakan kateterisasi yang tidak tepat dan menimbulkan harm pada pasien.[1-3]
Prosedur yang paling sering digunakan sebagai penanganan awal retensi urin akut adalah pemasangan kateter urin. Meski begitu, tidak semua etiologi retensi urin dapat dengan tepat ditangani menggunakan kateterisasi. Keputusan untuk memasang kateter harus mempertimbangkan keseimbangan antara risiko komplikasi retensi urin dan risiko terkait kateterisasi urin.[1]
Berbagai Etiologi Retensi Urin Akut
Retensi urin akut dapat disebabkan oleh berbagai etiologi, termasuk obstruksi mekanis, disfungsi neurogenik, serta faktor medis dan farmakologis. Obstruksi aliran urin dapat disebabkan oleh benign prostate hyperplasia (BPH), striktur uretra, atau batu kandung kemih. Gangguan neurogenik, seperti cedera medula spinalis atau stroke, dapat mengganggu sinyal saraf yang mengontrol miksi. Selain itu, penggunaan obat seperti antikolinergik atau agen anestesi juga dapat menghambat fungsi kandung kemih.[1,4]
Etiologi Obstruktif
Etiologi obstruktif terjadi jika ada resistensi secara mekanik pada uretra atau bagian distal dari kandung kemih. Penyebab ini umumnya lebih sering terjadi pada pria karena uretra pria yang lebih panjang dari wanita dan risiko pembesaran prostat.
Benign prostate hyperplasia (BPH) sendiri merupakan penyebab dari 53% kasus retensi urin. Penyebab obstruksi lain mencakup striktur akibat jaringan fibrosis uretra setelah uretritis dan trauma, fimosis, atau parafimosis. Pada wanita, prolaps organ pelvis seperti kandung kemih, rectum, atau uterus dapat menyebabkan obstruksi. Terbentuknya batu saluran kemih dan tekanan dari eksternal (seperti masa retroperitoneal) juga dapat menyebabkan obstruksi.[4]
Gangguan Neurologi
Gangguan neurologis juga dapat menyebabkan retensi urin akut karena dibutuhkan koordinasi simpatis, parasimpatis dan nervus somatik dalam proses pengosongan kandung kemih. Adanya kompresi medula spinalis, sindrom cauda equina, penyakit serebrovaskular, infeksi sistem saraf pusat, maupun penyakit neurodegeneratif dapat menjadi penyebab retensi urin.
Retensi urin juga bisa terjadi akibat infeksi pada saluran kemih bawah oleh Escherichia coli. Infeksi dapat menyebabkan edema pada uretra. Jika terjadi secara kronis, dapat menyebabkan striktur pada uretra. Penyebab lain yang langka yaitu infeksi herpes simpleks virus pada saraf S2-S4 yang menginervasi kandung kemih.Retensi urin juga bisa terjadi sebagai komplikasi dari prosedur medis, seperti pemberian anestesi spinal.[4]
Obat-obatan
Selain itu, obat-obatan dan penyebab iatrogenik juga perlu dipertimbangkan. Obat golongan alfa adrenergik, seperti phenylephrine dan pseudoephedrine yang ada di obat flu dan dekongestan, dapat menyebabkan retensi urin. Oxybutynin dan obat antikolinergik, seperti antihistamin generasi pertama chlorpheniramine dan diphenhydramine, juga dapat menyebabkan retensi urin dengan menghambat kontraksi otot detrusor kandung kemih.
Obat lain yang bisa menyebabkan retensi urin adalah golongan antipsikotik, antidepresan trisiklik, amitriptyline, serta berbagai obat lainnya. Pasien yang berusia lebih tua akan lebih berisiko karena kerap menjalani polifarmasi dan memiliki tingkat kejadian BPH yang lebih tinggi.[4,6]
Manajemen Retensi Urin Akut
Tata laksana retensi urin akut dimulai dengan penilaian klinis yang cepat dan komprehensif untuk mengidentifikasi penyebab yang mendasari serta mengurangi risiko komplikasi. Langkah awal meliputi anamnesis yang mencakup riwayat penyakit prostat, gangguan neurologis, penggunaan obat resep maupun obat bebas, serta riwayat operasi atau cedera pelvis.
Pemeriksaan fisik menilai adanya distensi kandung kemih, tanda obstruksi mekanis, atau kelainan neurologis. USG kandung kemih dapat digunakan untuk memastikan adanya retensi dengan mengukur volume urin residu pasca berkemih.[1,4,5]
Dekompresi Kandung Kemih
Intervensi awal untuk retensi urin akut sering melibatkan dekompresi kandung kemih melalui kateterisasi urin. Kateterisasi transuretra umumnya menjadi pilihan pertama, meskipun kateter suprapubik dapat dipertimbangkan jika terdapat obstruksi uretra atau trauma.
Dekompresi penting untuk mencegah kerusakan kandung kemih yang lebih lanjut, seperti atonia atau gagal ginjal. Penggunaan kateter harus dipertimbangkan dengan hati-hati, mengingat risiko komplikasi seperti infeksi saluran kemih dan cedera uretra.[1,4,5]
Tata Laksana Berdasarkan Penyebab Retensi Urin
Tata laksana lebih lanjut tergantung pada etiologi retensi urin. Jika disebabkan oleh obstruksi mekanis, misalnya BPH, terapi farmakologis dengan obat penyekat alfa seperti tamsulosin dapat membantu mengurangi obstruksi. Pada kasus lain, seperti retensi urin yang diinduksi obat, menghentikan atau mengganti obat penyebab adalah langkah penting. Jika terdapat komponen neurogenik, seperti pada pasien dengan cedera medula spinalis, rehabilitasi kandung kemih dan stimulasi saraf dapat dipertimbangkan.
Pemantauan terhadap komplikasi dan penilaian berkala mengenai kebutuhan kateterisasi juga diperlukan. Penghentian kateter harus dilakukan sesegera mungkin untuk mengurangi risiko infeksi, namun harus didahului dengan evaluasi fungsi kandung kemih pasca dekompresi untuk memastikan pemulihan kemampuan berkemih yang memadai.[1,4,5]
Waktu yang Tepat Memasang Kateter
Suatu algoritma yang diterbitkan pada tahun 2024 disusun untuk menentukan perlu atau tidak melakukan pemasangan kateter urin pada pasien. Menurut algoritma ini, langkah pertama untuk menentukan keperluan pemasangan kateter adalah evaluasi gejala dan tanda adanya retensi urin, seperti dorongan terus menerus untuk buang air kecil, rasa penuh di kandung kemih, serta sakit di kandung kemih.
Jika tidak ada gejala dan tanda tersebut, tentukan apakah sudah lebih dari 4 jam pasca berkemih terakhir. Bila sudah lebih dari 4 jam, lakukan pemeriksaan isi kandung kemih (dengan intermittent straight catheterization). Bila isi kandung kemih ≤ 500 ml, pelu menunggu 1-2 jam dan dilakukan pemeriksaan ulang. Bila isi kandung kemih > 500ml, dapat dilakukan pemasangan kateter jika dibutuhkan.
Jika ada gejala dan tanda retensi urin, tetap lakukan pemeriksaan isi kandung kemih. Bila urin ≤ 300 ml, cari penyebab lain dan periksa ulang dalam 1-2 jam. Bila urin >300 ml, dapat dipertimbangkan pemasangan kateter.[1]
Perhatian Khusus:
Pasien dapat dilakukan tindakan pemasangan kateter urin seperti biasa jika tidak ada penyulit. Namun, akan diperlukan konsultasi inisial pada dokter bedah urologi bila ada faktor-faktor penyulit seperti:
- Belum lama dilakukan pembedahan atau trauma pada kandung kemih, uretra, prostat maupun terjadi prostatitis
- Riwayat bedah rekonstruksi genitourinaria
- Pemasangan sfingter urin buatan
Terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempersulit pemasangan kateter namun tidak diwajibkan konsultasi ke dokter urologi, yaitu:
- Riwayat sulit pemasangan kateter
- Pria >55 tahun dengan pembesaran prostat atau riwayat kanker prostat
- Riwayat prolaps organ pelvis
Jika ada penyulit, pemasangan kateter, tindakan sebaiknya dilakukan oleh petugas medis berpengalaman. Hal lain yang bisa dilakukan adalah menyesuaikan ukuran kateter dengan ukuran yang lebih kecil.[1]
Kesimpulan
Retensi urin akut dapat disebabkan oleh adanya obstruksi, trauma, proses neurogenik, maupun obat dan iatrogenik. Secara umum, penanganan awal untuk retensi urin akut adalah dekompresi kandung kemih. Ini kebanyakan dilakukan dengan kateterisasi urin transuretra. Meski demikian, kateterisasi transuretra dianggap tidak tepat dilakukan pada beberapa kondisi seperti adanya kecurigaan striktur atau ruptur uretra. Pilihan cara dekompresi lainnya adalah kateterisasi suprapubik.
Setelah dekompresi dilakukan, penanganan harus berfokus pada mengatasi penyebab dari retensi urin. Ini bisa mencakup pemberian medikamentosa, seperti agen penyekat alfa untuk kasus benign prostate hyperplasia, maupun pembedahan jika ada indikasi. Pemantauan komplikasi dan keperluan kateter dilakukan berkala. Kateter perlu dilepas segera setelah memungkinkan untuk meminimalisir komplikasi.