Pedoman penanganan post traumatic stress disorder atau PTSD dipublikasikan oleh U.S. Department of Veterans Affairs dan U.S. Department of Defense pada tahun 2024. Pedoman ini melakukan pembaruan tingkat rekomendasi pada beberapa poin pilihan tata laksana yang ada di pedoman sebelumnya, seperti Ehlers’ Cognitive Therapy yang kini dilabeli sebagai rekomendasi lemah.
Pedoman PTSD ini menyarankan penggunaan psikoterapi yang terindividualisasi dan berfokus pada trauma, mencakup cognitive processing therapy (CPT) dan eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). Dalam hal farmakoterapi, disebutkan bahwa paroxetine, sertraline, atau venlafaxine dapat dipertimbangkan penggunaannya. Sementara itu, untuk terapi biologis nonfarmakologi, seperti terapi hiperbarik, pedoman ini menyatakan belum ada cukup data untuk mendukung penggunaannya.[1]
Tabel 1. Tentang Pedoman Klinis Ini
Penyakit | Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) |
Tipe | Diagnosis dan Penatalaksanaan |
Yang Merumuskan | U.S. Department of Veterans Affairs dan U.S. Department of Defense |
Tahun | 2024 |
Negara Asal | Amerika Serikat |
Dokter Sasaran | Spesialis Kedokteran Jiwa. |
Penentuan Tingkat Bukti
Penentuan tingkat bukti dan rekomendasi pada pedoman ini dilakukan melalui proses berbasis metode GRADE (Grading of Recommendations Assessment, Development and Evaluation). Rekomendasi didasarkan pada empat domain utama, yakni kepercayaan terhadap kualitas studi, keseimbangan manfaat dan risiko, preferensi pasien, dan pertimbangan lain seperti penggunaan sumber daya, kesetaraan, serta kelayakan.
Bukti yang diperoleh dari tinjauan literatur yang dilakukan oleh pihak ketiga independen, diperiksa secara komprehensif oleh kelompok kerja multidisipliner. Setiap rekomendasi diberi peringkat sebagai kuat atau lemah, serta dapat dinyatakan sebagai netral jika bukti terbatas atau tidak konklusif.[1]
Rekomendasi Utama untuk Diterapkan dalam Praktik Klinis Anda
Beberapa rekomendasi utama yang penting diingat untuk praktik klinis adalah:
-
Primary Care PTSD Screen for DSM-5 dapat digunakan untuk skrining PTSD.
-
Konfirmasi diagnosis dilakukan menggunakan alat tervalidasi seperti PSSI-5 (PTSD Symptom Scale Interview for DSM-5). Selanjutnya, untuk mengevaluasi tingkat keparahan selama pemantauan, dapat digunakan alat tervalidasi seperti CAPS-5 (Clinician-Administered PTSD Scale for DSM-5)
- Penggunaan psikoterapi yang terindividualisasi lebih direkomendasikan sebagai lini pertama dibandingkan farmakoterapi. Contoh psikoterapi yang bisa digunakan adalah CPT dan EMDR.
-
Jika farmakoterapi akan digunakan, obat yang dianggap memiliki basis bukti yang kuat adalah paroxetine, sertraline, atau venlafaxine. Penggunaan benzodiazepine dan agen berbasis kanabis tidak direkomendasikan. Sementara itu, obat lainnya, seperti duloxetine dan quetiapine, belum memiliki basis bukti yang kuat untuk direkomendasikan dalam penanganan PTSD.
-
Prazosin dapat dipertimbangkan untuk mengatasi nightmare yang terkait PTSD.
-
Terapi biologis nonfarmakologi, seperti terapi hiperbarik dan repetitive transcranial magnetic stimulation, belum didukung cukup bukti ilmiah untuk direkomendasikan.
-
Terapi elektrokonvulsif dan stimulasi nervus vagus tidak direkomendasikan penggunaannya pada PTSD.[1]
Perbandingan dengan Pedoman Klinis di Indonesia
Saat ini, belum ada pedoman klinis khusus untuk PTSD di Indonesia. Meski demikian, ada Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa (PNPK) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2015.
Dalam PNPK tersebut, farmakoterapi masih dijadikan lini pertama, yang mana pilihannya akan tergantung pada gejala yang muncul pada pasien, misalnya gejala depresi atau kecemasan. Untuk gejala depresif, disarankan penggunaan sertraline, fluoxetine, fluvoxamine, dan escitalopram. Sementara itu, untuk gejala kecemasan, PNPK ini masih menyarankan benzodiazepine, sedangkan pedoman PTSD dari U.S. Department of Veterans Affairs sudah menyebutkan secara jelas untuk tidak menggunakan benzodiazepine.
Dalam hal psikoterapi, PNPK juga menyebutkan untuk menggunakan EMDR. Meski begitu, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai kapan berbagai psikoterapi tersebut lebih dipilih dan bagaimana pengaplikasiannya secara klinis.[2]
Kesimpulan
Pedoman penanganan post traumatic stress disorder (PTSD) 2024 dikeluarkan oleh U.S. Department of Veterans Affairs dan U.S. Department of Defense. Beberapa hal yang perlu diingat dalam pedoman ini adalah:
- Psikoterapi merupakan pendekatan tata laksana yang lebih disukai dibandingkan farmakoterapi.
-
Pilihan psikoterapi yang direkomendasikan mencakup CPT (Cognitive Processing Therapy), EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing), dan PE (Prolonged Exposure).
- Jika akan digunakan farmakoterapi, maka paroxetine, sertraline, atau venlafaxine dianggap memiliki basis bukti yang baik untuk digunakan dalam manajemen PTSD.
-
Prazosin dapat dipertimbangkan untuk mengatasi nightmare yang terkait PTSD.
-
Terapi elektrokonvulsif, terapi hiperbarik, stimulasi nervus vagal, dan transcranial magnetic stimulation tidak direkomendasikan untuk penanganan PTSD.