Penatalaksanaan demam dengue pada ibu hamil terbilang rumit, karena dokter harus memikirkan keselamatan tidak hanya ibu tapi juga janin yang dikandungnya. Demam dengue masih menjadi masalah utama di negara tropis seperti Indonesia.
Data WHO memperkirakan terjadi 50 hingga 100 juta infeksi dengue per tahun di seluruh dunia. Selain itu juga, diperkirakan sebanyak 500.000 jiwa mengalami demam berdarah dengue (DBD) dan 20.000 kematian akibat infeksi dengue. Data di Indonesia menyebutkan bahwa terdapat sekitar 94.564 kasus infeksi dengue di Indonesia sejak tahun 2001 hingga 2011 dengan kematian per tahunnya berkisar 472 hingga 1446 jiwa.[1,2]
Penegakan Diagnosis
Demam dengue pada kehamilan menjadi perhatian penting dalam kesehatan. Hal ini dikarenakan terajdi perubahan fisiologi selama kehamilan, sehingga infeksi dengue dapat bermanifestasi lebih buruk pada wanita hamil. Wanita hamil dengan infeksi dengue harus mendapatkan terapi yang adekuat disertai dengan pengawasan ketat dan monitor berkala. Keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan cairan dengan terjadinya kelebihan cairan serta tanda-tanda kebocoran plasma perlu diawasi secara ketat oleh dokter.
Gejala-gejala klinis infeksi dengue pada ibu hamil sama seperti pada dewasa normal lainnya. Beberapa gejala klinis yang dapat dialami oleh ibu hamil adalah demam, nyeri kepala, nyeri ulu hati dan muntah. Beberapa pasien dapat datang dengan demam tinggi dan mendadak yang disertai nyeri retro orbita, atralgia, myalgia atau bercak-bercak di kulit.
Pasien juga dapat datang ke pelayanan kesehatan dengan tanda-tanda perdarahan seperti petekie, epistaksis, perdarahan gusi, atau hematemesis. Namun, seringkali demam dengue pada kehamilan sulit dibedakan dengan penyulit kehamilan lainnya, seperti Sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme, low platelet) dan kehamilan dengan penyakit infeksi tropis lain.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan peningkatan suhu, manifestasi perdarahan dan pemeriksaan torniquet positif. Tanda-tanda lain yang harus diketahui dokter adalah tanda terjadinya dehidrasi pada pasien.
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan tanda hemokonsentrasi ditandai dengan peningkatan hematokrit, trombositopenia atau leukopenia. Pada fasilitas yang menunjang, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG dengue dapat membantu penegakan diagnosis. [3,4]
Efek Infeksi Dengue pada Kehamilan
Pada sebuah laporan kasus serial di Sri Lanka yang melibatkan 26 pasien hamil dengan infeksi dengue, didapatkan bahwa hanya ada 1 pasien trimester pertama yang mengalami infeksi dengue (3,8%). Selebihnya, 2 pasien pada trimester kedua (7,7%), 20 pasien trimester ketiga (77%) dan 3 pasien post partum (11,5%). [9]
Demam dengue pada kehamilan dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah. Sebuah studi retrospektif yang melibatkan 53 subjek studi melaporkan bahwa infeksi dengue pada kehamilan dapat mengakibatkan persalinan prematur (41%), perdarahan hebat saat persalinan (9,3%), dan hematoma retroplasenta (1,9%).
Luaran pada janin meliputi prematuritas (20%), kematian janin intrauterin (3,8%), late miscarriage (3,8%), akut fetal distress (7,5%), transmisi maternal-fetal (5,6%), dan kematian neonatus (1,9%). Namun, perlu diingat bahwa jumlah subjek pada penelitian ini hanya sedikit.[11,12]
Dalam beberapa kasus dapat terjadi syok. Pada bayi yang lahir tanpa kelainan dari ibu yang menderita infeksi dengue selama kehamilan, dapat dijumpai serum antibodi IgG serum yang progresif hingga 8-12 bulan.[3]
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah membedakan infeksi dengue dengan penyakit lain yang dapat muncul pada kehamilan, seperti Sindrom HELLP. Pada Sindrom HELLP biasanya tidak ditemukan demam. Perdarahan dapat terjadi bila sudah terjadi manifestasi DIC (disseminated intravascular coagulation). Selain itu, pada Sindrom HELLP jarang ditemukan perubahan pada leukosit dan dapat terjadi penurunan hematokrit. Selain itu, dapat pula terjadi peningkatan enzim hati disertai dengan hemolisis. Baik pada Sindrom HELLP dan infeksi dengue dapat terjadi trombositopenia.[7]
Salah satu permasalahan yang dapat terjadi pada kasus demam dengue dalam kehamilan adalah kesulitan untuk mendiagnosis kebocoran plasma. Kegagalan observasi kebocoran plasma dan tanda-tanda awal syok dapat mengakibatkan pemanjangan syok dan menyebabkan perdarahan masif disertai kegagalan multi organ. Pada laporan kasus di Thailand ditemukan bahwa wanita hamil biasanya menunjukkan hematokrit yang rendah.
Kadar hematokrit yang rendah dan peningkatan kadar hematokrit pada kehamilan dapat disebabkan oleh kebocoran plasma atau perubahan fisiologi normal pada kehamilan. Selain itu, pembesaran uterus juga menyulitkan untuk melakukan pemeriksaan kebocoran plasma secara klinis (misalnya pada asites atau efusi pleura). Sehingga, pemeriksaan rutin berupa USG abdomen untuk memeriksan cairan bebas di rongga abdominal dan foto thoraks untuk memeriksa cairan bebas di rongga pleura dapat dipikirkan bila terdapat kemungkinan kebocoran plasma.[10]
Penatalaksanaan Demam Dengue pada Ibu Hamil
Penatalaksanaan demam dengue pada ibu hamil sebenarnya hampir sama dengan penatalaksanaan pada orang dewasa umumnya. Pada kasus infeksi dengue tanpa penyulit, penatalaksanaan biasanya dilakukan secara konservatif. Ibu hamil dengan infeksi dengue sebaiknya dirawat inapkan di tempat terpisah dari ibu hamil lainnya.
Penatalaksanaan konservatif dilakukan pada pasien dengan melakukan tirah baring, pemberian diet lunak, disertai dengan konsumsi air 1,5 hingga 2,5 liter dalam sehari. Bila pasien mengalami mual muntah hebat, pemberian cairan oral harus dibatasi. Sisa kekurangan cairan dapat diberikan secara intravena dengan dosis 100 cc/jam cairan salin normal.[6]
Dokter juga dapat memberikan obat-obat simptomatis untuk mengurangi gejala pasien. Paracetamol dapat diberikan guna mengatasi demam. Pemberian antibiotik tidak diindikasikan secara rutin. Antibiotik hanya diberikan bila infeksi dengue terbukti disertai dengan infeksi sekunder bakterial. Transfusi dan pemberian cairan agresif dilakukan berdasarkan indikasi. Biasanya transfusi trombosit dilakukan bila jumlah trombosit kurang dari 20.000/mm3 atau terdapat manifestasi perdarahan spontan.[6]
Pada perawatan harus dilakukan pemantauan berkala pada ibu hamil untuk mengawasi tanda vitalnya. Selain itu, perlu juga dilakukan pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit, serta pemantauan tanda gawat janin berkala. Periode kritis umumnya pada 24-48 jam dari onset gejala.[3,5]
Pada panduan WHO tahun 2011 disebutkan bahwa ibu hamil termasuk pasien dengue dengan risiko tinggi yang dapat menyebabkan kompleksitas penatalaksaanaan. Pasien ibu hamil yang menderita demam dengue harus dirawat inap. Pada saat perawatan, pasien harus mendapatkan terapi cairan. Pengambilan darah dilakukan untuk mendapatkan data hematokrit awal pasien.
Terapi cairan dilakukan dengan memberikan cairan isotonis seperti salin normal atau ringer laktat dengan dosis 5-7 ml/kgBB/jam diberikan selama 1-2 jam. Kemudian cairan diturunkan menjadi 3-5 ml/kgBB/jam selama 2-4 jam, dan akhirnya diturunkan menjadi 2-3 ml/kgBB/jam, sesuai dengan respons pasien.[7]
Selama pemberian terapi cairan, pasien harus dalam pemantauan ketat berkala. Pemeriksaan hematokrit ulang dapat dilakukan untuk memantau respons terhadap terapi cairan. Bila hematokrit tetap atau hanya sedikit meningkat, dosis cairan tetap dipertahankan 2-3 ml/kgBB/jam. Bila terjadi peningkatan hematokrit yang cepat atau terjadi perburukan tanda vital, dosis cairan dapat ditingkatkan menjadi 5-10 ml/kgBB/jam selama 1-2 jam. Setelah pemberian cairan, harus dilakukan evaluasi ulang terhadap tanda-tanda vital pasien.[7]
Pemberian cairan pada ibu hamil harus mendapat perhatian khusus dari dokter. Pembesaran uterus yang terjadi selama kehamilan menyebabkan penurunan toleransi akumulasi cairan yang dapat terjadi pada tubuh ibu hamil. Hal ini menyebabkan dokter harus dapat memantau pemberian cairan secara ketat agar tidak terjadi komplikasi dari kelebihan pemberian cairan.[6]
Demam dengue bukanlah indikasi terminasi kehamilan. Sebisa mungkin, ibu hamil dengan infeksi dengue ditatalaksana secara konservatif. Apabila terminasi kehamilan tidak dapat dihindari, komplikasi perdarahan harus diantisipasi. Persalinan harus dilakukan dengan meminimalisir trauma. Selain daripada itu, harus dipastikan bahwa plasenta telah keluar lengkap dan tidak ada sisa plasenta tertinggal di rahim.
Apabila terjadi perdarahan yang signifikan, transfusi darah dengan whole blood atau fresh packed red cells harus segera dilakukan. Oxytocin harus diberikan dengan dosis sesuai pedoman obstetri untuk mencegah perdarahan post partum. Neonatus harus dipantau secara ketat agar transmisi vertikal dapat didiagnosis sedini mungkin.[6]
Kesimpulan
Dokter harus dapat mencurigai ibu hamil mengalami infeksi dengue dengan tanda dan gejala klinis yang dikeluhkan pasien. Kecurigaan infeksi dengue harus semakin besar bila terjadi peningkatan kasus dengue atau ibu baru pulang dari daerah endemik dengue. Pemeriksaan penunjang dapat membantu menegakkan diagnosis. Ibu dengan infeksi dengue harus dirawat inapkan untuk mendapatkan pengawasan ketat, terutama ibu hamil pada fase demam.
Terapi cairan menjadi modalitas utama pada manajemen infeksi dengue pada ibu hamil. Bila intake secara oral memungkinkan, maka pemberian cairan dapat dilakukan secara oral. Pada infeksi dengue dengan tanda bahaya atau intake oral sulit karena ibu mual muntah, maka dilakukan pemberian cairan intravena sesuai dengan pedoman penatalaksanaan dengue oleh WHO. Pemantauan pada kecukupan cairan dan tanda-tanda kebocoran plasma harus dilakukan secara ketat.
Infeksi dengue bukanlah indikasi terminasi kehamilan. Apabila terminasi tidak dapat dihindari, makan risiko perdarahan harus sudah diantisipasi, dengan cara menyiapkan darah yang diperlukan untuk transfusi dan pencegahan perdarahan post partum. Neonatus yang lahir dari ibu dengan infeksi dengue harus dipantau secara ketat agar transmisi vertikal dapat didiagnosis sedini mungkin.