Beberapa intervensi diduga dapat mencegah cerebral palsy (CP) akibat asfiksia neonatorum. Asfiksia neonatorum menyebabkan hipoksia jaringan otak dan merupakan salah satu etiologi utama CP.
Cerebral palsy (CP) adalah kelainan gerak dan postur nonprogresif yang terjadi akibat gangguan saat proses perkembangan janin, proses persalinan, atau setelah kelahiran yang menyebabkan gangguan otak permanen. CP adalah penyebab utama disabilitas di usia anak-anak dan secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup penderita dan juga keluarganya. [1]
Asfiksia neonatorum dilaporkan menyebabkan 45% neonatus meninggal dan 25% mengalami defisit neurologis CP dengan atau tanpa retardasi mental, sisanya mengalami gangguan penglihatan, pendengaran, dan gangguan belajar. [2] Tinjauan Cochrane yang dipublikasikan pada tahun 2018 melaporkan bahwa ada beberapa intervensi yang dapat mencegah CP pada neonatus yang mengalami asfiksia. [3]
Hipotermia Terapeutik
Hipotermia terapeutik merupakan salah satu intervensi standar yang bersifat neuroprotektif dan diindikasikan untuk neonatus dengan hypoxic ischaemic encephalopathy (HIE) sedang-berat yang timbul akibat asfiksia neonatorum. Hipoksia jaringan otak dapat menyebabkan cedera otak, sedangkan reperfusi jaringan otak yang iskemik tersebut dapat menimbulkan cedera otak tambahan akibat terbentuknya radikal bebas yang bersifat toksik.[4]
Cedera akibat proses reperfusi dapat dicegah dengan hipotermia terapeutik. Prinsip hipotermia terapeutik adalah tubuh neonatus didinginkan hingga 3-4 C di bawah suhu tubuh normal dengan tujuan mengurangi laju metabolisme, mengurangi permeabilitas vaskular dan edema, menurunkan apoptosis dan gangguan pada fungsi sawar darah otak, serta mengurangi pelepasan neurotransmiter eksitatorik sehingga mengurangi proses cedera.[5]
Hipotermia terapeutik mengurangi risiko CP pada neonatus dengan HIE dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan perawatan standar pada 881 subjek penelitian. Tidak ada perbedaan bermakna antara teknik hipotermia terapeutik yang dilakukan hanya pada kepala atau seluruh tubuh.[3,6]
Pada penelitian oleh Tagin et al, hipotermia terapeutik dapat mencegah CP pada 1 pasien di antara 8 pasien dengan HIE (number needed to treat = 8).[7]
Penelitian oleh Garfinkel et al melaporkan penggunaan terapi hipotermia pada kasus asfiksia neonatorum dapat mencegah 5% komplikasi CP. Hipotermia terapeutik diberikan ke seluruh tubuh, dimulai 6 jam setelah pasien lahir. Kondisi hipotermia dibuat dengan meletakkan neonatus dalam selimut khusus yang disambung dengan perangkat Blanketrol II atau III Hyper-Hypotermia.
Suhu diatur menjadi 33,5 C dengan durasi 72 jam, yang kemudian akan kembali dinaikkan hingga 36,5 C dengan kecepatan 0,5 C per jam. [8] Namun, pada penelitian-penelitian yang dilakukan di negara berpendapatan rendah, hipotermia terapeutik tidak menunjukkan efikasi yang sama seperti di negara dengan fasilitas kesehatan yang maju dan memadai. [9]
Dilaporkan bahwa 1 dari 7 pasien CP memiliki riwayat kelahiran prematur (32-35 minggu) dan asfiksia, insidensi ini lebih kurang sama dengan insidensi CP pada bayi aterm. Namun, untuk sementara ini hipotermia terapeutik hanya disarankan pada neonatus dengan usia gestasi ≥36 minggu. Penggunaan terapi hipotermia pada bayi prematur berpotensi menimbulkan efek samping perdarahan intraserebral. Efikasi dan keamanan hipotermia terapeutik terhadap neonatus prematur dengan usia gestasi 32-35 minggu masih dalam penelitian. [10,11]
Kafein
Pada kasus neonatus prematur dengan asfiksia, pencegahan CP dapat dilakukan dengan pemberian obat golongan methylxanthine, yakni kafein secara intravena. Kafein merupakan penghambat nonselektif reseptor adenosin A2A dan A1 di otak. Penelitian menunjukkan kafein memiliki efek antiinflamasi neuroprotektif terhadap cedera dan efek dari hipoksia pada periventrikular substansia alba neonatus prematur. [12] Pemberian agen profilaksis berupa methylxanthine (kafein) pada ekstubasi endotrakeal di bayi prematur selain mengurangi mortalitas juga dapat mengurangi risiko CP dibandingkan kelompok plasebo.[3]
Insidensi CP pada kelompok yang diberikan kafein secara dini (dalam 48 jam pertama kehidupan) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang diberikan kafein lebih lambat (3,9% vs 7,9%). [12] Sebuah penelitian melaporkan terapi kafein pada bayi prematur dengan asfiksia atau apnea of prematurity dapat menurunkan kejadian CP pada pengamatan di usia 18 bulan. [13]
Allopurinol
Allopurinol merupakan inhibitor xantin-oksidase yang diduga dapat menghambat kematian sel pada asfiksia neonatorum. Allopurinol menurunkan produksi radikal bebas dan pada dosis yang tinggi dapat mengikat dan menetralkan radikal bebas. Penelitian terhadap hewan percobaan menunjukkan bahwa allopurinol menurunkan pembentukan radikal bebas dan mengurangi derajat kerusakan otak pasca asfiksia.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi allopurinol pada neonatus dengan asfiksia tidak menghasilkan luaran yang signifikan dalam menurunkan angka mortalitas atau gangguan perkembangan di kemudian hari. Namun, beberapa data penelitian terkini melaporkan bahwa allopurinol menurunkan risiko komplikasi tersebut pada subjek yang di follow-up pada usia 4-8 tahun. [4,14]
Pemberian allopurinol diduga kurang efektif karena diberikan pada median 3 jam setelah kelahiran, sementara proses reperfusi dan reoksigenasi jaringan otak yang dapat menimbulkan pembentukan radikal bebas terjadi dalam 30-60 menit pertama. Pada sebuah penelitian, peneliti menganjurkan pemberian profilaksis allopurinol intravena secara dini kepada ibu hamil dengan gawat janin sehingga dosis terapeutik allopurinol dapat dicapai saat bayi lahir. Penelitian dengan skala sampel yang lebih besar diperlukan untuk membuktikan allopurinol dapat menjadi terapi tambahan untuk mencegah CP. [15]
Fenobarbital
Fenobarbital digunakan sebagai pencegahan kejang yang sering kali mengikuti asfiksia neonatorum. Kejang dapat menimbulkan cedera neuron sekunder. Selain efek anti kejang, fenobarbital dalam dosis tinggi memiliki efek vasokonstriktif yang menyebabkan penurunan sirkulasi darah otak dan edema serebri, menurunkan laju metabolik otak, menetralkan radikal bebas, dan menekan respon glutamat di jaringan otak. Oleh karena itu peneliti menduga bahwa pemberian fenobarbital dapat mencegah cedera neuron sekunder akibat reperfusi jaringan otak dan HIE yang mengikuti kejadian asfiksia pada neonatus. [16]
Pada penelitian oleh Young et al, tidak didapatkan perbedaan kejadian CP di tahun ketiga dan keenam antara kelompok pasien yang diberikan fenobarbital dengan kelompok pasien terapi standar pada kasus asfiksia neonatorum. Namun, penelitian tersebut menunjukkan adanya penurunan angka kematian atau disabilitas perkembangan saraf di tahun ketiga pada kelompok yang diberikan barbiturat. [17]
Penelitian lain di Bangladesh melaporkan bahwa profilaksis fenobarbital dengan dosis 20mg/kgBB intravena yang diberikan secara perlahan >20 menit, tidak mencegah kejang secara signifikan dibandingkan dengan kelompok yang mendapat terapi standar untuk asfiksia neonatorum (8% vs 12%). Hasil penelitian berupa kelainan neurologis misalnya hipotonia, refleks yang buruk, dan mortalitas juga tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok yang mendapatkan fenobarbital dengan yang tidak. Follow-up setelah 3 bulan–1 tahun menunjukkan tidak ada perbedaan insidensi CP maupun epilepsi pada kelompok yang diberikan profilaksis fenobarbital dan yang tidak (14% vs 18%). [16]
Selain efek positif, fenobarbital juga diketahui memiliki efek samping yang dapat menimbulkan gangguan perilaku, hiperaktivitas, sedasi, dan gangguan kognitif. Potensi hepatotoksisitas yang dimiliki oleh fenobarbital juga perlu dipertimbangkan, khususnya pada neonatus yang sudah mengalami cedera hepar akibat kejadian asfiksia. [18] Hasil penelitian-penelitian yang inkonsisten dan potensi efek samping tersebut menunjukkan bahwa masih diperlukan penelitian lanjutan mengenai efikasi dan keamanan fenobarbital profilaksis pada kasus asfiksia neonatus. [16]
Kesimpulan
Asfiksia neonatorum dapat menimbulkan kelainan neurologis menetap seperti cerebral palsy (CP). Selain resusitasi dan terapi standar untuk mencegah mortalitas pada kasus-kasus tersebut, berbagai intervensi tambahan dapat dipertimbangkan untuk mencegah terjadinya CP di kemudian hari.
Hipotermia terapeutik merupakan salah satu terapi yang sudah banyak diteliti. Berbagai studi menunjukkan bahwa hipotermia terapeutik efektif dalam mencegah CP pada neonatus dengan asfiksia. Namun, penerapannya bagi neonatus prematur masih membutuhkan penelitian lanjutan.
Penerapan terapi lain seperti pemberian kafein, allopurinol, dan barbiturat sebagai profilaksis CP pada asfiksia neonatorum masih terbatas dalam konteks penelitian saja. Hasil penelitian yang inkonsisten belum cukup membuktikan efikasi dan keamanan terapi-terapi tersebut untuk diterapkan dalam praktik klinis.