Pemberian probiotik pada pasien yang mengonsumsi antibiotik diduga bisa mengurangi risiko diare akibat antibiotik atau antibiotic-associated diarrhea. Umumnya, pengguna antibiotik berisiko mengalami diare karena antibiotik mempunyai efek samping berupa gangguan keseimbangan mikrobiota usus, yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi Clostridioides difficile atau infeksi agen lain yang tidak spesifik.[1]
Pada pengguna antibiotik yang mengalami gangguan keseimbangan mikrobiota usus atau disbiosis, terjadi penurunan jumlah dan diversitas mikrobiota yang memberikan kesempatan bagi mikroorganisme patogen untuk berkembang biak dan menyebabkan infeksi. Pemberian probiotik yang merupakan mikroorganisme hidup diharapkan dapat memperbaiki keseimbangan mikrobiota usus, sehingga mencegah antibiotic-associated diarrhea (AAD).[1,2]
Mekanisme Terjadinya Diare Akibat Konsumsi Antibiotik
Antibiotic-associated diarrhea (AAD) didefinisikan sebagai diare yang terjadi dalam rentang waktu ketika konsumsi antibiotik dimulai hingga 6–8 minggu setelah antibiotik dihentikan, yang tidak disebabkan oleh kausa diare yang lain. Semua antibiotik berisiko menyebabkan AAD. Namun, ampicillin, amoxicillin, clindamycin, fluoroquinolone, dan sefalosporin terutama berisiko tinggi menyebabkan AAD.[3]
Diare akibat konsumsi antibiotik dapat terjadi karena dua mekanisme berbeda yang dapat terjadi secara bersamaan. Mekanisme pertama adalah berkurangnya jumlah dan diversitas mikrobiota yang berperan dalam metabolisme dan absorpsi nutrisi di saluran cerna (seperti Bifidobacterium spp. dan Lactobacillus spp.), sehingga pasien mengalami diare osmotik.[4]
Mekanisme yang kedua adalah berkurangnya colonization resistance dari mikrobiota di saluran cerna, yang memudahkan kolonisasi dan overgrowth dari bakteri patogen yang akhirnya menyebabkan infeksi dan diare. Clostridioides difficile, Clostridium perfringens, Klebsiella oxytoca, dan Staphylococcus aureus merupakan patogen yang sering terkait dengan AAD.[4]
Cara Probiotik Mengurangi Risiko Diare Akibat Konsumsi Antibiotik
Menurut WHO, probiotik adalah sediaan yang mengandung mikroorganisme hidup nonpatogen yang memberikan efek menguntungkan pada host yang mengonsumsinya bila diberikan dalam jumlah yang cukup (minimal 106 CFU/ml).[5]
Strain bakteri dalam probiotik memiliki ketahanan terhadap pH rendah, asam empedu, dan sekresi pankreas. Selain itu, strain bakteri dalam probiotik memiliki kemampuan perlekatan dan invasi pada sel epitel usus untuk bertahan dalam perjalanannya di saluran cerna menuju tempat kolonisasi yang diharapkan.[5]
Bakteri dalam probiotik mengkolonisasi epitel saluran cerna dan berkompetisi dengan patogen untuk melekat ke sel epitel usus dan memperoleh nutrisi. Probiotik juga akan memproduksi berbagai antimicrobial peptide yang menghalangi pertumbuhan patogen lebih lanjut. Probiotik juga mengembalikan fungsi pencernaan yang merupakan peran dari mikrobiota sebelum disbiosis terjadi.[5,6]
Bukti Klinis tentang Pemberian Probiotik untuk Mengurangi Risiko Diare Akibat Antibiotik
Walaupun penelitian terkait penggunaan probiotik dalam pencegahan penyakit saluran cerna telah banyak dilakukan, penelitian menunjukkan hasil yang sangat bervariasi sehingga menimbulkan kesulitan untuk penerapan klinis. Mayoritas penelitian memakai spesies dan strain probiotik yang berbeda, dosis dan durasi yang berbeda, outcome yang berbeda, dan karakteristik subjek yang berbeda.[7-9]
Efektivitas Probiotik
Suatu tinjauan sistematik dan meta analisis tahun 2021 yang menganalisis 42 studi terhadap 11.305 subjek dewasa mengungkapkan bahwa koadministrasi probiotik dan antibiotik mengurangi risiko AAD hingga 37%. Metaanalisis lain yang hanya melibatkan pasien lansia menemukan penurunan risiko AAD hingga 65% jika probiotik diberikan dalam 48 jam pertama setelah konsumsi antibiotik.[5,10]
Tinjauan sistematik lain yang melibatkan subjek anak-anak usia 0–18 tahun melaporkan bahwa insiden AAD pada kelompok anak yang mendapatkan probiotik adalah 12% dibandingkan dengan insiden AAD pada kelompok kontrol sebesar 19%.[11]
Suatu uji klinis terhadap 313 anak usia 3 bulan sampai 18 tahun memberikan probiotik dengan total dosis 1010 CFU/ml per hari selama terapi antibiotik hingga 7 hari setelah terapi. Hasil menunjukkan bahwa jika dibandingkan plasebo, pemberian probiotik tidak berpengaruh terhadap risiko AAD (RR=0,81; CI 95% 0,49–1,33) tetapi mengurangi angka kejadian diare (RR=0,65; CI 95% 0,44–0,94) dan mengurangi durasi diare.[12]
Dosis Probiotik
Studi yang melibatkan subjek anak menemukan bahwa pemberian probiotik dosis tinggi (>1011 CFU/ml) lebih efektif mengurangi risiko AAD daripada dosis rendah (<1011 CFU/ml). Akan tetapi, hal serupa tidak ditemukan pada studi yang melibatkan subjek dewasa dan lansia.[5,10,11]
Waktu dan Durasi Pemberian Probiotik
Studi mengungkapkan pemberian probiotik sejak awal konsumsi antibiotik (dalam 2 hari pertama) penting untuk meningkatkan efek proteksi probiotik terhadap mikrobiota dan mencegah kolonisasi bakteri patogen. Durasi pemberian probiotik masih menjadi kontroversi. Beberapa studi menyarankan pemberian probiotik diperpanjang hingga 5–7 hari setelah konsumsi antibiotik, tetapi ada studi yang menyatakan bahwa probiotik cukup diberikan selama periode konsumsi antibiotik saja.[5,10,11]
Pemberian Probiotik pada Kondisi Khusus
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa pemberian probiotik pada pasien yang mengonsumsi antibiotik jangka panjang untuk eradikasi Helicobacter pylori dapat meningkatkan kesuksesan eradikasi dan mengurangi risiko efek samping (termasuk AAD). Saccharomyces boulardii dan Lactobacillus spp. merupakan strain probiotik yang menunjukkan hasil menjanjikan.[3]
Efek Samping Probiotik
Efek samping yang dapat terjadi adalah mual, perut kembung, produksi gas berlebih, dan konstipasi. Namun, efek-efek samping ini jarang dialami. Efek samping serius yang lebih jarang terjadi adalah infeksi sistemik oleh strain probiotik yang mungkin terjadi pada pasien imunodefisiensi, terutama bila mengonsumsi dalam jangka waktu panjang. Penggunaan pada pasien penyakit kritis dan imunodefisiensi perlu berhati-hati karena adanya risiko bakteri probiotik menjadi patogenik.[13]
Rekomendasi tentang Pemberian Probiotik
Hingga saat ini masih ada perbedaan rekomendasi dari berbagai institusi di dunia. American Gastroenterological Association merekomendasikan salah satu dari opsi-opsi probiotik berikut pada pasien anak dan dewasa yang mendapatkan terapi antibiotik untuk mencegah infeksi C. difficile:
- Penggunaan 1 strain: Saccharomyces boulardii
- Kombinasi 2 strain: Lactobacillus acidophilus CL1285 dan Lactobacillus casei LBC80R
- Kombinasi 3 strain: Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus, dan Bifidobacterium bifidum
- Kombinasi 4 strain: Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus, Bifidobacterium bifidum, dan Streptococcus salivarius subsp. thermophilus
Sementara itu, European Society of Clinical Microbiology and Infectious Diseases tidak menyarankan pemberian probiotik untuk pencegahan AAD karena masih terbatasnya data klinis yang mendukung rekomendasi, serupa dengan rekomendasi dari Infectious Diseases Society of America.[7-9]
Kesimpulan
Konsumsi antibiotik dapat mengganggu keseimbangan mikrobiota usus dan memicu terjadinya diare (antibiotic-associated diarrhea) akibat perkembangbiakan mikroba yang patogen, terutama Clostridioides difficile. Probiotik yang merupakan mikroorganisme hidup diharapkan bisa memperbaiki keseimbangan mikrobiota usus, sehingga dapat mengurangi risiko antibiotic-associated diarrhea.
Bukti klinis yang ada saat ini memang menunjukkan bahwa probiotik berpotensi untuk mengurangi risiko antibiotic-associated diarrhea. Namun, studi-studi yang ada masih sangat heterogen, sehingga rekomendasi jenis probiotik, dosis probiotik, dan waktu serta durasi pemberian probiotik masih belum bisa dipastikan. Studi lebih lanjut dengan strain probiotik, dosis, dan durasi pemberian yang lebih terstandar masih diperlukan untuk konfirmasi.