Red Flag Nyeri Tenggorokan

Oleh :
Meili Wati

Red flag atau tanda bahaya nyeri tenggorokan penting untuk mengenali etiologi yang mengancam nyawa. Pada kebanyakan kasus, nyeri tenggorokan berkaitan dengan kondisi yang jinak, seperti tonsilofaringitis. Meski demikian, nyeri tenggorokan juga dapat berkaitan dengan kondisi yang serius dan mengancam nyawa, seperti angina Ludwig dan sindrom Lemierre.[1-4]

Sekilas Tentang Kemungkinan Etiologi Nyeri Tenggorokan

Nyeri tenggorokan merupakan alasan paling umum pasien mengunjungi layanan kesehatan primer. Pada mayoritas kasus, nyeri tenggorokan akut disebabkan oleh infeksi virus pada faring yang bersifat swasirna. Patogen bakteri, seperti streptokokus, terdeteksi menyebabkan tonsilofaringitis hanya pada 20,2–34% kasus. Dalam sebuah penelitian di Jerman yang dilakukan pada 61 layanan kesehatan primer menemukan infeksi streptokokus grup A (GAS) hanya pada 15% pasien dengan nyeri tenggorokan.

Red Flag Nyeri Tenggorokan-min

Sementara itu, nyeri tenggorokan disebut sebagai kronis jika keluhan berlangsung selama lebih dari 14 hari. Dalam hal ini, penyebab noninfeksi perlu dipertimbangkan. Dari perspektif diagnostik diferensial, dokter harus mempertimbangkan faktor fisikokimia seperti status pasca intubasi, kebiasaan merokok, mendengkur, dan adanya refluks. Pikirkan juga adanya penggunaan berlebihan suara, penyakit penyerta, dan efek samping obat.[1-3]

Tonsilofaringitis

Sebagian besar infeksi pada tonsilofaringitis disebabkan oleh virus dan sebagian kecil lainnya disebabkan oleh bakteri. Virus adenovirus, influenza, rhinovirus, dan coronavirus adalah beberapa patogen viral yang dapat menyebabkan keluhan nyeri tenggorokan pada tonsilofaringitis. Beberapa virus lain yang cukup jarang namun juga dapat berhubungan dengan tonsilofaringitis adalah virus Epstein Barr, HIV, dan herpes simpleks.

Bakteri utama penyebab tonsilofaringitis adalah bakteri golongan Group A Streptococcus (GAS). Bakteri lain yang jarang namun dapat juga menyebabkan tonsilofaringitis adalah Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumonia, Haemophilus influenzae, dan Corynebacterium diphtheria.[1,3,5]

Abses Leher Dalam

Abses pada area leher dalam dapat terjadi pada area faringeal dan epiglotis.  Umumnya abses terjadi akibat infeksi bakteri Streptococcus. Kondisi ini perlu segera diidentifikasi untuk mencegah terjadinya komplikasi sepsis dan gangguan patensi jalan napas.[6]

Infeksi Sistemik

Nyeri tenggorokan juga dapat timbul bersama dengan keluhan lain pada kasus infeksi sistemik, seperti pada penderita HIV dan penyakit Kawasaki.[1,3]

Keganasan Area Kepala Leher

Adanya keganasan di area kepala dan leher, seperti kanker orofaring dan limfoma, dapat menyebabkan nyeri tenggorokan yang sifatnya kronis. Nyeri tenggorokan biasanya disertai dengan keluhan penyerta lainnya seperti demam, penurunan berat badan, pembesaran kelenjar getah bening, hingga timbulnya keringat malam.[3,7,9]

Obstruksi Jalan Napas dan Trauma

Riwayat memasukkan benda asing ke dalam mulut dapat menimbulkan trauma pada tenggorokan hingga menimbulkan nyeri pada tenggorokan. Biasanya nyeri akan berkurang bila obstruksi atau trauma sudah tertangani.[3]

Lainnya

Penyebab nyeri tenggorokan lain adalah angina Ludwig dan epiglotitis. Angina Ludwig adalah selulitis progresif berpotensi fulminan yang melibatkan rongga sublingual, submental, dan submandibular pada dasar mulut. Infeksi ini dapat menyebar ke daerah mediastinum.

Epiglotitis mengacu pada peradangan dan pembengkakan epiglotis. Penyebab paling umum adalah infeksi bakteri. Gejala epiglotitis meliputi nyeri saat menelan, sakit tenggorokan yang parah, dan kesulitan bernapas.[2,3,8]

Red Flags Nyeri Tenggorokan

Walaupun sebagian besar kasus nyeri tenggorokan bersifat ringan, namun perlu tetap dipikirkan juga kemungkinan penyebab signifikan nyeri tenggorokan Pasien dengan red flags atau tanda bahaya nyeri tenggorokan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengonfirmasi etiologinya dan mendapatkan penanganan. Berikut red flags nyeri tenggorokan:

  • Terdapat tanda gangguan pernapasan seperti sesak napas, stridor, dan sianosis
  • Air liur berlebih dan kesulitan menelan atau disfagia

  • Perubahan suara (hot potato voice)
  • Tampak pembengkakan di area faring dan leher
  • Trismus, yakni kesulitan membuka mulut akibat spasme otot
  • Kaku leher
  • Penurunan keadaan umum (tampak lemas, dehidrasi, dan penurunan kesadaran)
  • Nyeri tenggorokan persisten yang diikuti dengan tanda sistemik lain seperti penurunan berat badan, perdarahan, nyeri dada atau leher, dan demam lebih dari 2 minggu[1,3,4,9]

Manajemen Pasien dengan Red Flags Nyeri Tenggorokan

Manajemen pasien dengan red flags nyeri tenggorokan dimulai dari anamnesis serta pemeriksaan fisik dan penunjang yang terarah untuk menentukan etiologi dan tata laksana yang sesuai.

Anamnesis

Anamnesis sangat membantu untuk mengetahui kemungkinan penyebab nyeri tenggorokan. Waktu timbulnya keluhan, frekuensi, lama durasi keluhan, faktor pencetus, faktor peringan, gejala penyerta yang dirasakan, riwayat pengobatan, riwayat bepergian dan riwayat penyakit penyerta lainnya juga harus ditanyakan.[2,3,5]

Pada kasus angina Ludwig, pasien umumnya memiliki riwayat infeksi odontogenik, cedera penetrasi di dasar mulut, osteomyelitis atau fraktur rahang, otitis media, tindik lidah, sialadenitis, atau silaolithiasis kelenjar submandibular. Sementara itu, sindrom Lemierre merupakan komplikasi langka dari nyeri tenggorokan akibat Fusobacterium necrophorum. Gejala awal sindrom Lemierre serupa dengan tonsilofaringitis viral pada umumnya, tetapi demam dan status klinis akan memburuk dengan cepat dalam 1-2 minggu.[4,8]

Pada pasien dengan difteri, nyeri tenggorokan biasanya disertai dengan anoreksia dan malaise. Pada kasus yang ringan, membran keabuan yang terbentuk di faring akan hilang dengan sendirinya. Namun, pada kasus yang berat dapat terjadi adenopati servikal yang menyebabkan “bullneck”, serta paralisis laring, palsy diafragma, ataupun miokarditis.[3,9]

Presentasi klasik dari GAS adalah demam mendadak dan nyeri tenggorokan. Gejala penyerta mencakup nyeri kepala, malaise, nyeri perut, mual, dan muntah. Sementara itu, batuk, rinore, konjungtivitis, stridor, diare, lesi ulserasi diskrit, dan suara serak lebih sering berkaitan dengan etiologi virus.[9]

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tanda vital seperti tekanan darah, frekuensi nadi, suhu dan frekuensi pernapasan penting dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kegawatan atau adanya komplikasi seperti sepsis dan gangguan patensi jalan napas. Pemeriksaan fisik secara menyeluruh ditambah dengan evaluasi secara detail terutama pada bagian telinga, hidung dan tenggorokan harus dilakukan pada kasus nyeri tenggorokan dengan red flags.

Pasien dengan difteri akan menunjukkan bullneck, adanya membran keabuan pada dinding faring, paralisis palatal, paralisis laring, palsy okular, palsy diafragma, dan miokarditis. Sementara itu, pada kasus GAS, bisa didapatkan eritema faring yang jelas, petekie pada palatum, pembesaran tonsil dengan eksudat, strawberry tongue, dan pembesaran nodus limfa servikal anterior.[2,3,5,6,9]

Pemeriksaan Penunjang

Rapid antigen detection tests (RADT) dapat digunakan untuk mengevaluasi GAS. RADT dilaporkan memiliki spesifisitas lebih dari 95% dengan sensitivitas 75% atau kurang. Pilihan pemeriksaan lainnya adalah PCR dan kultur dari sampel apus tenggorok.

Pada pasien yang dicurigai mengalami sindrom Lemierre, dapat dilakukan CT scan kepala-leher. Pemeriksaan ini juga berguna untuk mengevaluasi nyeri tenggorokan yang diduga berkaitan dengan abses leher dalam.

Untuk difteri, diagnosis klinis biasanya sudah cukup. Konfirmasi diagnosis dapat dilakukan dengan mengisolasi bakteri C. diphtheriae dengan melakukan kultur dari sediaan di bawah membran faringeal. Produksi toksin difteri dari bakteri yang diisolasi akan mengonfirmasi diagnosis.[2,3,5,6,9]

Penatalaksanaan

Pada pasien dengan kegawatdaruratan, seperti gangguan patensi jalan napas atau instabilitas hemodinamik, penanganan harus difokuskan pada stabilisasi. Pasien yang berisiko mengalami obstruksi jalan napas karena pembengkakan tenggorokan harus tetap dalam posisi tegak sampai intervensi jalan napas definitif dilakukan, yang mungkin mencakup intervensi seperti krikotiroidotomi Selain daripada itu, penanganan disesuaikan dengan etiologi.

Pada mayoritas kasus, nyeri tenggorokan disebabkan oleh virus dan bersifat swasirna. Pada kasus GAS, pemberian antibiotik diperlukan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Antibiotik yang direkomendasikan antara lain amoxicillin, penicillin V, dan benzathine penicillin G.

Pada kasus difteri, pasien akan memerlukan antitoksin difteri. Sementara itu, pada kasus sindrom Lemierre dan angina Ludwig, banyak ahli menggunakan antibiotik spektrum luas seperti metronidazole, clindamycin, ampicillin-sulbactam, atau carbapenem, yang mungkin dibarengi dengan drainase bedah.[2,3,5,6,9]

Referensi