Single-Dose Tafenoquine to Prevent Relapse of Plasmodium vivax Malaria
Lacerda MVG, Llanos-Cuentas A, Krudsood S, et al. N Engl J Med, 2019. 380:215-28. DOI: 10.1056/NEJMoa1710775
Abstrak
Latar Belakang: Penanganan Plasmodium vivax mensyaratkan eradikasi parasit aseksual, namun relaps hanya dapat dicegah jika hipnozoit yang dorman telah dibersihkan dari hepar (disebut juga “penyembuhan radikal”). Tafenokuin adalah senyawa 8-aminoquinoline dosis tunggal, yang baru-baru ini terdaftar untuk penanganan radikal P.vivax.
Metode: Studi ini adalah uji klinis multicenter, double-blind, double-dummy, grup paralel, acak, dan terkontrol plasebo yang dilakukan di Etiopia, Peru, Brasil, Kamboja, Thailand, dan Filipina. Studi ini merekrut 522 pasien yang terinfeksi P.vivax dengan konfirmasi secara mikroskopik (>100 hingga <100.000 parasit per mikroliter) dan aktivitas enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) normal (didefinisikan sebagai ≥ 70% dari nilai median berdasarkan pemeriksaan pada 36 sukarelawan pria sehat yang tidak diikutsertakan pada studi di setiap negara). Semua pasien mendapatkan klorokuin selama 3 hari (dosis total 1500 mg). Selain itu, pasien dikelompokkan untuk mendapat 300 mg dosis tunggal tafenokuin pada hari pertama atau hari kedua (260 pasien), plasebo (133 pasien), atau 15 mg primakuin sekali sehari selama 14 hari (129 pasien). Luaran primer penelitian adalah estimasi persentase Kaplan-Meier pada pasien-pasien yang bebas rekurensi (relaps) dalam waktu 6 bulan, didefinisikan sebagai klirens P.vivax tanpa rekurensi parasitemia.
Hasil: Pada populasi intention-to-treat, persentase pasien yang bebas dari rekurensi 6 bulan masing-masing sebanyak 62,4% di grup tafenokuin, 27,7% di grup plasebo, dan 69,6% di grup primakuin. Hazard ratio untuk risiko rekurensi sebesar 0,30 pada grup tafenokuin jika dibandingkan dengan plasebo (P<0,001) dan 0,26 di grup primakuin jika dibandingkan dengan plasebo (P<0,001). Ditemukan hubungan antara penurunan kadar hemoglobin asimptomatik dengan tafenokuin, kondisi tersebut pulih sendiri tanpa intervensi.
Kesimpulan: Tafenokuin dosis tunggal mampu menurunkan risiko rekurensi P.vivax secara signifikan jika dibandingkan dengan plasebo pada pasien-pasien dengan aktivitas G6PD fenotipik normal. (Didanai oleh GlaxoSmithKline and Medicine for Malaria Venture; DETECTIVE ClinicalTrial.gov number, NCT01376167)
Ulasan Alomedika
Penanganan malaria yang disebabkan oleh infeksi Plasmodium vivax mempunyai tantangan tersendiri, karena potensi relaps/ rekurensi setelah pengobatan awal akibat adanya hipnozoit dormant pada hati. Pedoman saat ini hanya mengandalkan primakuin untuk pencegahan rekurensi. Namun, pemberian dalam waktu 14 hari seusai pedoman meningkatkan risiko ketidakpatuhan pasien dan bisa menurunkan efikasi terapi secara keseluruhan.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari solusi terhadap penanganan relaps Malaria P.vivax selain dari primakuin.
Ulasan Metode Penelitian dan Analisis Statistik
Metode penelitian ini dilakukan secara multisenter, multinasional (6 negara endemik malaria), metode acak menggunakan komputer, double-blind (baik bagi pasien dan staf peneliti), double-dummy, dan grup paralel. Meskipun disponsori oleh pihak GlaxoSmithKline, namun dalam uraian dijelaskan bahwa pada tahap pemrosesan data hasil penelitian dirahasiakan baik bagi pihak peneliti maupun pihak sponsor, sehingga potensi bias dapat diminimalisir.
Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini turut diuraikan secara detail, mulai dari pengukuran hasil utama hingga analisis dampak merugikan dari masing-masing grup.
Ulasan Hasil Penelitian
Penelitian ini sukses merekrut 522 pasien, namun yang berhasil menyelesaikan penelitian hanya sebanyak 502 pasien (96,2%). Karakteristik baseline masing-masing grup serupa.
Hasil utama penelitian menemukan bahwa pada populasi intention-to-treat, persentase pasien yang bebas dari rekurensi 6 bulan masing-masing sebanyak 62,4% di grup tafenokuin, 27,7% di grup plasebo, dan 69,6% di grup primakuin. Hasil ini konsisten dengan analisis pada populasi per protocol.
Hazard ratio untuk risiko rekurensi sebesar 0,30 pada grup tafenokuin jika dibandingkan dengan plasebo, dan 0,26 di grup primakuin jika dibandingkan dengan plasebo.
Pada analisis efek samping, ditemukan adanya hubungan antara penurunan kadar hemoglobin asimptomatik di grup tafenokuin, namun kondisi tersebut pulih sendiri tanpa intervensi. Tidak ditemukan bukti bahwa tafenokuin mengeksaserbasi efek samping klorokuin.
Kelebihan Penelitian
Kualitas metode penelitian, analisis statistik yang digunakan, dan pemeriksaan menyeluruh untuk menganalisis efek samping yang bisa timbul berkontribusi menghasilkan data lengkap dan berkualitas dengan kemungkinan bias yang minimal. Pada studi ini, analisis efek samping dilakukan mulai dari pemeriksaan aktivitas enzim G6PD, metabolisme CYP2D6, pemeriksaan elektrokardiogram untuk melihat interval QT, pemeriksaan mata, hingga pemeriksaan lengkap panel darah dan level methemoglobin,.
Limitasi Penelitian
Terlepas dari kelebihannya, ada beberapa keterbatasan penelitian. Pertama, genotyping P.vivax belum dapat membedakan antara rekrudesensi, relaps, dan reinfeksi. Semua tampak homolog atau heterolog dari infeksi awal. Penelitian ini dilakukan pada strain P.vivax tipe tropikal dimana relaps terjadi dalam waktu 17 hingga 45 hari sejak infeksi awal, sehingga bisa saja tidak semua relaps mampu diobservasi. Selain itu, studi ini dilakukan di area endemik, di mana pasien rentan untuk reinfeksi.
Kedua, ada laporan infeksi P.vivax yang resisten terhadap klorokuin, sehingga bisa saja rekurensi yang terjadi merupakan efek resisten dari klorokuin. Ketiga, masih kurangnya data pasien dengan aktivitas rendah metabolisme CYP2D6, sehingga bisa mempengaruhi data perbandingan efektivitas tafenokuin dengan primakuin. CYP2D6 berperan dalam mengubah primakuin ke bentuk aktif.
Keempat, power sample penelitian masih perlu ditingkatkan meskipun ini merupakan tantangan besar karena masih kurangnya data prevalensi di masing-masing negara endemik malaria dalam memprediksi power sample yang adekuat. Kelima, penelitian ini tidak menggunakan pemeriksaan kualitatif gangguan enzim G6PD yang lebih umum, sehingga berpotensi membatasi penerapannya pada kondisi riil di lapangan.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Penelitian ini memberikan hasil yang menjanjikan untuk diterapkan di Indonesia, apalagi Indonesia termasuk negara endemik malaria. Dosis tunggal tafenokuin bisa memberikan tingkat kepatuhan yang lebih tinggi dibanding dengan primakuin yang harus dikonsumsi hingga 14 hari.
Penggunaan tafenokuin yang tidak aman pada pasien dengan gangguan enzim G6PD mensyaratkan pemeriksaan awal enzim tersebut sebelum pemberian. Namun pemeriksaan ini masih belum tersedia merata di seluruh Indonesia.
Berhubung tafenokuin masih tergolong obat baru, diperlukan studi lanjutan guna menguji konsistensi efektivitas, efek samping, dan analisis biaya untuk perbandingan penggunaan tafenokuin dengan primakuin sebelum bisa diadopsi dalam kebijakan pedoman nasional.