Perdarahan pasca tonsilektomi merupakan komplikasi yang jarang terjadi, tetapi bisa bersifat mengancam nyawa akibat perdarahan aktif yang banyak. Pada kebanyakan kasus, perdarahan pasca tonsilektomi terjadi dalam 2 minggu pascaoperasi. Meski mayoritas perdarahan pasca tonsilektomi dapat ditangani secara konservatif tanpa perlu intervensi bedah, keperluan readmisi tinggi dan akan menyebabkan morbiditas tambahan bagi pasien.[1-3]
Cara Evaluasi Perdarahan Pasca Tonsilektomi
Perdarahan pasca tonsilektomi terbagi menjadi perdarahan primer yang terjadi dalam 24 jam setelah prosedur, dan perdarahan sekunder yang terjadi lebih dari 24 jam setelah prosedur, biasanya pada hari ke-5 hingga ke-10 pasca tindakan. Perdarahan yang terjadi dapat berupa perdarahan ringan, seperti saliva yang tercampur dengan darah, hingga perdarahan aktif terus menerus.
Untuk menentukan derajat keparahan dari perdarahan dan sumber perdarahan, diperlukan pemeriksaan fosa dari tonsil. Temuan pemeriksaan orofaring biasanya berupa bekuan darah pada rongga tonsil, pus, atau perdarahan aktif. Anak usia sekolah biasanya memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami perdarahan berat pasca prosedur tonsilektomi. Dalam kasus perdarahan aktif yang terus menerus, akan dibutuhkan penanganan operatif lebih lanjut.[1]
Pada kasus di mana pasien datang dengan perdarahan minor, seperti tetesan, perdarahan tonsil tetap harus dianggap sebagai perdarahan yang dapat berubah menjadi lebih parah. Dalam kasus ini, lakukan konsultasi secara cepat dengan konsultan THT, terutama jika perdarahan sudah berlangsung selama lebih dari beberapa jam.[2]
Faktor Risiko Perdarahan Pasca Tonsilektomi
Faktor risiko perdarahan pasca-tonsilektomi meliputi usia yang lebih tua dan jenis kelamin laki-laki, yang terbukti sebagai faktor risiko independen dalam beberapa studi besar. Selain itu, beberapa penelitian menyebutkan bahwa tonsilektomi karena sleep apnea atau tonsilitis kronis dapat meningkatkan risiko, meskipun hasilnya tidak konsisten.
Obesitas juga disebut sebagai faktor risiko yang meningkatkan perdarahan pasca tonsilektomi. Teknik operasi seperti intracapsular tonsillectomy dilaporkan cenderung menurunkan risiko perdarahan dibanding teknik lainnya, meskipun efek samping jangka panjangnya perlu dipertimbangkan.[4]
Alur Tata Laksana Perdarahan Pasca Tonsilektomi
Hingga 50% pasien dengan perdarahan pasca tonsilektomi dapat ditangani secara konservatif tanpa perdarahan berulang. Namun, jika diperlukan intervensi bedah, tindakan pertama biasanya berhasil menghentikan perdarahan pada 90% kasus. Jika perdarahan berulang, tingkat keberhasilan intervensi selanjutnya menurun secara signifikan.[4]
Ketika mendapat pasien dengan perdarahan pasca tonsilektomi, pastikan pasien duduk dengan posisi tegak dan nyaman untuk mencegah terjadinya aspirasi dan untuk memudahkan pemeriksa. Pemeriksaan pada rongga mulut harus dilakukan, termasuk pada rongga tonsil. Hasil pemeriksaan akan menentukan apakah perdarahan aktif atau tidak dan apakah ada bekuan darah pada rongga tonsil.[2,3]
Pasien dengan perdarahan pasca tonsilektomi yang terjadi lebih dari 24 jam pasca operasi, bahkan jika perdarahan tersebut tampak kecil, stabil, dan membaik di UGD, memerlukan konsultasi dengan THT untuk penanganan definitif. Untuk mengendalikan perdarahan sementara sembari menunggu konsul, dapat digunakan kain kasa yang telah diberikan epinefrin atau asam traneksamat. Selain itu, dapat juga diberikan asam traneksamat nebulisasi atau intravena.[2]
Pasien dengan perdarahan pasca tonsilektomi rekuren memiliki 4 kali kemungkinan lebih besar untuk memerlukan intervensi bedah, dan 8 kali kemungkinan lebih besar untuk memerlukan transfusi darah dibandingkan dengan pasien yang hanya pernah mengalami perdarahan satu kali.[5]
Manajemen Konservatif
Manajemen konservatif dapat dilakukan pada kasus dengan perdarahan minimal atau sekadar terdapat bekuan. Manajemen konservatif bisa dilakukan dengan kompresi transoral menggunakan kasa atau jari, yang dapat menekan sumber perdarahan dan melindungi jalan napas. Perak nitrat juga dapat digunakan sebagai agen kauterisasi kimia. Tindakan berkumur dengan air juga sering digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan perdarahan ulang setelah bekuan lepas.[4]
Manajemen Jalan Napas pada Perdarahan Pasca Tonsilektomi
Jika pasien mengalami aspirasi atau jika perdarahan yang terjadi cukup parah hingga menyebabkan gangguan hemodinamik, seperti desaturasi atau perubahan kesadaran, maka intubasi mungkin perlu dilakukan. Perdarahan pada jalan napas bisa disedot dengan suction, sambil orang kedua membantu mengelola jalan napas.[2]
Perdarahan dapat ditangani dengan ligasi, tetapi kauterisasi lebih sering dilakukan saat ini. Kauterisasi menghasilkan waktu tindakan yang lebih pendek dan jumlah kehilangan darah bisa lebih sedikit. Kauterisasi lokal dapat dicoba dengan kauterisasi bipolar atau perak nitrat.[3]
Pemeriksaan Laboratorium dan Pengobatan Lain
Pada kasus perdarahan yang hebat, lakukan pemeriksaan laboratorium untuk menilai kehilangan darah seperti hemoglobin dan crossmatch untuk mempersiapkan kebutuhan transfusi darah. Kadar fibrinogen juga perlu diperiksakan pada perdarahan masif, karena konsetrat fibrinogen mungkin diperlukan pada situasi transfusi masif.
Pertimbangkan desmopresin intravena 0,3 mcg/kg pada pasien dengan perdarahan cepat yang berkelanjutan. Hal ini karena pasien bisa saja memiliki penyakit von Willebrand yang tidak terdiagnosis tetapi berkontribusi pada perdarahan.[2]
Pendekatan Bedah dan Penanganan Pada Perdarahan Masif
Penatalaksanaan bedah diperlukan pada perdarahan aktif atau bila pendekatan konservatif gagal. Persiapan ruang operasi harus mencakup pemasangan dua suction, retraktor, dan elektrokauter siap pakai. Intubasi cepat dengan rapid sequence induction disarankan untuk mengamankan jalan napas, dan risiko aspirasi menjadi prioritas sekunder. Jika sumber perdarahan teridentifikasi, maka kauterisasi ulang atau ligasi jahitan permanen dilakukan.
Pendekatan endovaskular menjadi alternatif ketika pembedahan tidak berhasil atau tidak memungkinkan. Teknik ini dilakukan dengan embolisasi partikel melalui kateter femoralis, yang diarahkan ke arteri-arteri yang menyuplai tonsil, misalnya arteri tonsillaris dan lingualis. Meskipun pendekatan ini memiliki tingkat keberhasilan tinggi dan memperpendek lama rawat inap, risikonya mencakup migrasi partikel ke sistem arteri karotis interna atau oftalmika, perforasi vaskular, serta komplikasi di lokasi akses femoralis.
Ligasi arteri karotis eksterna merupakan pilihan terakhir untuk kasus yang tidak responsif terhadap tindakan konservatif, pembedahan, maupun embolisasi. Prosedur ini melibatkan diseksi leher untuk mengidentifikasi dan meligasi percabangan arteri karotis eksterna yang menyuplai fosa tonsilaris. Identifikasi dan proteksi terhadap struktur vital seperti nervus vagus dan hipoglosus penting untuk mencegah komplikasi. Ligasi terhadap arteri karotis komunis tidak dianjurkan karena tingginya risiko stroke.[4]
Kesimpulan
Perdarahan pasca tonsilektomi bisa terjadi dalam kasus yang ringan dan berat. Pada kasus ringan, kewaspadaan tetap diperlukan dan tetap dianggap dapat sewaktu-waktu berubah menjadi perdarahan berat. Manajemen konservatif dengan kompresi transoral atau kauterisasi kimia bisa dilakukan, tetapi observasi pasien juga masih akan diperlukan.
Pada kasus perdarahan berat, lakukan resusitasi dan patensi jalan napas jika diperlukan, misalnya pada kondisi di mana pasien mengalami gangguan hemodinamik atau perubahan kesadaran. Tindakan pembedahan mencakup evaluasi ulang fosa tonsiler, dengan kauterisasi atau jahitan ulang pada area yang menjadi sumber perdarahan. Jika pendekatan bedah gagal, maka pilihan terapi selanjutnya adalah terapi endovaskular ataupun ligasi arteri karotis eksterna.