Potensi vaksin HPV atau human papillomavirus untuk mencegah kanker kulit pernah dipelajari oleh beberapa studi karena infeksi HPV diduga berhubungan dengan kanker kulit. Jenis kanker kulit yang terutama banyak dipelajari karena sering terjadi adalah karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamosa.
Di Amerika Serikat, berdasarkan data American Cancer Society, setiap tahunnya ada 5,4 juta kasus karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamosa yang terdiagnosis. Dua jenis kanker kulit ini diderita oleh sekitar 3,3 juta orang Amerika, dengan beberapa orang menderita >1 kasus.[1]
Sekilas tentang Faktor Risiko Kanker Kulit
Populasi yang berisiko mengalami kanker kulit adalah pasien transplantasi organ yang menjalani terapi imunosupresan. Sekitar 40% pasien transplantasi (seperti transplantasi ginjal atau transplantasi hati) akan mengalami karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamosa dalam 10 tahun setelah transplantasi organ. Bahkan, jumlahnya diperkirakan bisa mencapai 80% dalam 20 tahun setelah transplantasi organ.[2]
Faktor risiko karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamosa yang juga sudah banyak diteliti dan dibuktikan adalah radiasi sinar ultraviolet. Namun, beberapa tahun terakhir, semakin banyak penelitian menyatakan bahwa infeksi cutaneous human papillomavirus (HPV) dapat meningkatkan risiko terjadinya karsinoma sel skuamosa.[3-6]
Human papillomavirus (HPV) memiliki beragam genus dan tipe. Genus yang diduga menjadi faktor risiko karsinoma sel skuamosa adalah genus β human papillomavirus. Namun, tipe genus β yang lebih spesifik belum dapat ditentukan karena hasil penelitian masih kurang konsisten.[7]
Hipotesis tentang Peran Papillomavirus dalam Patofisiologi Kanker Kulit
Suatu penelitian pada tahun 2017 menggunakan tikus Mastomys coucha yang sudah terinfeksi Mastomys Natalensis Papillomavirus (MnPV) untuk memahami mekanisme Papillomavirus menginduksi karsinoma sel skuamosa.[8]
Seperti manusia yang immunocompetent dan terpapar infeksi cutaneous HPV sejak dini, tikus dalam penelitian ini juga immunocompetent dan secara alami sudah terpapar MnPV sejak dini. Tikus dibagi ke dalam dua kelompok, yakni tikus yang sudah terinfeksi MnPV dan tikus yang tidak terinfeksi MnPV (sebagai kelompok kontrol).[8]
Dua kelompok tikus tersebut diberi radiasi sinar UVB dengan dosis awal 150 mJ/cm2 sebanyak 3 kali/minggu dan dosis ditingkatkan sebanyak 50 mJ/cm2 setiap minggunya sampai mencapai dosis yang final (450, 600, atau 800 mJ/cm2).[8]
Hasil menyatakan bahwa paparan radiasi UVB pada tikus yang sudah terinfeksi MnPV menimbulkan lesi kulit karsinoma sel skuamosa yang lebih sering (secara signifikan) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (virus free rodents).[8]
MnPV diduga menginfeksi lapisan epitelial basal tikus melalui luka-luka kecil pada kulit. Kulit yang terkena paparan UVB menjadi hyperproliferative, sehingga replikasi virus dan pembentukan virion lebih mudah terjadi.[8]
Pada sel yang tidak terinfeksi, kerusakan yang diinduksi UVB dapat ditangani. Namun, pada sel yang sudah terinfeksi, stabilitas kromosom terganggu dan perbaikan DNA terhambat. Akumulasi mutasi pada sel lalu berujung pada neoplasma.[8]
Bukti tentang Peran Vaksin Quadrivalent HPV untuk Mencegah Kanker Kulit
Mengacu pada penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa ada hubungan antara infeksi cutaneous HPV dengan karsinoma sel skuamosa, Nichols et al. mengadakan observasi terhadap dua pasien yang beriwayat karsinoma sel skuamosa dan karsinoma sel basal berulang. Pasien pertama adalah laki-laki berusia 70-an, sedangkan pasien kedua adalah perempuan berusia 80-an. Keduanya tidak memiliki kelainan imun.[9]
Observasi dilakukan sejak bulan Oktober 2011 sampai bulan Juni 2014. Kedua pasien mendapatkan injeksi vaksin quadrivalent HPV (Gardasil) pada waktu 0, 2, dan 6 bulan. Full-body skin examination dilakukan tiap 3 bulan selama 16 bulan sejak injeksi vaksin pertama untuk pasien ke-1 dan dilakukan 13 bulan sejak injeksi vaksin pertama untuk pasien ke-2.[9]
Lesi pada kulit yang terbukti merupakan karsinoma (melalui biopsi) ditangani dengan operasi, sedangkan actinic keratoses ditangani dengan cryotherapy. Selama observasi, pasien tidak mengonsumsi oral nicotinamide dan tidak memakai krim fluorouracil topikal ataupun krim imiquimod topikal.[9]
Sebelum vaksinasi, pasien pertama memiliki rata-rata 12,0 karsinoma sel skuamosa baru dan 2,25 karsinoma sel basal baru per tahun. Setelah vaksinasi, jumlah rata-rata karsinoma sel skuamosa baru yang timbul menurun menjadi 4,4 per tahun dan rata-rata karsinoma sel basal baru yang timbul menjadi 0 per tahun.[9]
Hasil tersebut merepresentasikan penurunan sebanyak 62,5% pada karsinoma sel skuamosa dan penurunan sebanyak 100% pada karsinoma sel basal dalam rentang waktu observasi 16 bulan sebelum vaksinasi dan 16 bulan setelah vaksinasi.[9]
Pasien ke-2 memiliki rata-rata 5,5 karsinoma sel skuamosa baru per tahun dan 0,9 karsinoma sel basal baru per tahun. Setelah vaksin, rata-rata karsinoma sel skuamosa baru menurun menjadi 1,8 dan rata-rata karsinoma sel basal menurun menjadi 0 per tahun.[9]
Hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan sebanyak 66,5% pada karsinoma sel skuamosa dan penurunan 100% pada karsinoma sel basal dalam rentang waktu observasi 13 bulan sebelum vaksinasi dan 13 bulan setelah vaksinasi.[9]
Vaksin quadrivalent HPV (Gardasil) yang dipakai dalam studi ini memberikan proteksi terhadap α-HPV tipe 6, 11, 16, dan 18. Berdasarkan teori, vaksin quadrivalent HPV (Gardasil) tidak memiliki sifat protektif terhadap β-HPV yang dilaporkan berhubungan dengan karsinoma sel skuamosa. Namun, studi oleh Nichols et al. menunjukkan ada penurunan kasus karsinoma sel skuamosa dan karsinoma sel basal yang signifikan.[9]
Salah satu hipotesis yang mungkin dapat menjelaskan perbedaan antara teori dan hasil studi tersebut adalah timbulnya reaksi imun nonspesifik dan produksi sel T sitotoksik serta cross-protective immunoglobulins akibat vaksinasi quadrivalent HPV.[9]
Kesimpulan
Efektivitas vaksin HPV untuk mencegah karsinoma sel skuamosa dan sel basal masih belum terbukti secara ilmiah. Saat ini, baru terdapat uji pada hewan dan uji observasi. Hal ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk dilakukannya uji kontrol terkendali di masa depan dengan sampel yang lebih besar.
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur