Penghentian antidepresan secara bertahap terkadang diperlukan, misalnya ketika muncul efek paradoksikal. Dokter perlu memahami waktu dan cara menghentikan antidepresan yang tepat sehingga dapat menghindari pemberian obat yang tidak perlu dan sindroma putus obat. Bagi sebagian pasien, penggunaan antidepresan dalam jangka lama memang diperlukan. Namun bagi sebagian lainnya hanya diberikan dalam periode waktu tertentu, terlebih jika terdapat kondisi ketika perlu dipertimbangkan untuk dihentikan [1]
Dokter harus mengerti bagaimana cara menghentikan antidepresan yang tepat untuk mencegah terjadinya sindroma putus obat. Hal ini tidak hanya berlaku untuk psikiater namun juga bagi para dokter umum. [2]
Saat yang Tepat untuk Menghentikan Antidepresan
Antidepresan bagi sebagian pasien hanya perlu diberikan dalam periode waktu tertentu. Pertimbangan untuk menghentikan antidepresan ini adalah adanya pertimbangan medis, kehamilan dan menyusui, efek paradoksikal, efektivitas antidepresan yang rendah atau berkurang, perbaikan kondisi klinis, atau permintaan pasien.
Perbaikan Kondisi Klinis atau Kondisi Klinis tidak Membaik
Perbaikan kondisi klinis merupakan pertimbangan utama untuk menghentikan antidepresan. Studi menunjukkan bahwa pasien depresi yang menunjukkan perbaikan klinis dapat diberikan psikoterapi dan dikurangi dosis antidepresannya secara perlahan hingga berhenti. Pada gangguan mood atau gangguan cemas menyeluruh, antidepresan juga dapat dihentikan secara bertahap dan digantikan dengan terapi perilaku.
Sebaliknya, antidepresan jenis tertentu mungkin tidak efektif sejak awal atau kehilangan efektivitasnya setelah periode tertentu. Dengan demikian, kondisi klinis yang tidak membaik juga dapat menjadi indikasi penghentian antidepresan. [4]
Efek Samping Obat
Pengobatan jangka panjang dengan antidepresan generasi terbaru dapat mengakibatkan beberapa efek samping signifikan (gangguan gastrointestinal, peningkatan berat badan, masalah kardiovaskular, disfungsi seksual, perdarahan) sehingga antidepresan dapat dihentikan dan harus dilakukan monitoring ketat pada efek samping yang terjadi. Berikut adalah jenis antidepresan dan efek samping yang umum terjadi:
-
Selective serotonin reuptake inhibitor / SSRI (misalnya fluoxetine dan sertraline) dan serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor / SNRI (misalnya duloxetine dan venlafaxine): gejala gastrointestinal, disfungsi seksual, risiko perdarahan serta (khusus venlafaxine) hipertensi
-
Monoamine oxidase inhibitors / MAOI (misalnya phenelzine dan tranylcypromine): hipotensi ortostatik, agitasi
-
Antidepresan tetrasiklik (misalnya mirtazapine dan maprotiline): glaukoma sudut tertutup
-
Antidepresan trisiklik (Tricyclic antidepressant / TCA) (misalnya amitriptyline, amoxapine, dan imipramine): gejala kardiovaskular berupa pemanjangan interval QT pada EKG dengan gejala aritmia, hipotensi[3]
Kehamilan dan Menyusui
Terdapat semakin banyak penelitian yang menyatakan efek buruk antidepresan pada ibu hamil dan menyusui. Pada ibu hamil, penggunaan antidepresan berhubungan dengan risiko gangguan perkembangan janin atau kelahiran prematur, serta neonatal abstinence syndrome. Pada ibu menyusui, antidepresan dikeluarkan melalui ASI sehingga dapat menyebabkan bayi mengalami gejala iritabel atau sedasi.
Walau demikian, keputusan untuk menghentikan obat harus mempertimbangkan manfaat dan kerugiannya, terlebih dengan risiko terjadinya depresi postpartum. Sebagai pengganti farmakoterapi, disarankan untuk meningkatkan frekuensi psikoterapi serta melibatkan dukungan sosial dari pihak anggota keluarga pasien. Namun, apabila sangat diperlukan (timbulnya ide bunuh diri, adanya penurunan kemauan yang sangat mengganggu kualitas hidup), dapat diberikan antidepresan golongan SSRI yang dinilai paling aman.[3]
Efek Paradoksikal
Bila mood secara drastis berubah menjadi hipomania atau mania, apatis atau timbulnya ide bunuh diri, dapat dipertimbangkan untuk menghentikan antidepresan. Dalam sebuah studi kasus, Fux et al. mengamati munculnya gejala depresi pada 7 dari 80 pasien (9%) selama pengobatan gangguan panik dengan fluvoxamine. Pasien-pasien ini tidak memiliki riwayat gangguan mood, dan tidak menunjukkan gejala depresi sebelum perawatan dengan fluvoxamine. Gejala depresi mereda ketika fluvoxamine dihentikan dan antidepresan trisiklik atau clonazepam diresepkan, namun muncul kembali ketika fluoxetine diberikan. [4]
Permintaan Pasien
Hal ini sangat penting terutama dalam model hubungan dokter-pasien jenis deliberatif, yaitu bila tindakan yang diberikan merupakan keputusan bersama. Jika seorang pasien ingin menghentikan antidepresan dan alasannya masuk akal, tentu akan lebih baik bila dokter yang memantau dan mengatur prosesnya, daripada membiarkan pasien melakukannya sendiri. [4]
Gejala Putus Obat pada Penghentian Antidepresan secara Mendadak
Sekitar 20% pasien mengalami gejala putus obat antidepresan setelah penghentian mendadak antidepresan yang diminum terus-menerus selama satu bulan. [5] Gejala biasanya ringan dan dapat terjadi pada semua jenis antidepresan. Dokter disarankan untuk melakukan psikoedukasi pada pasien tentang efek yang dapat terjadi bila antidepresan dihentikan secara mendadak atau tanpa pengawasan dokter untuk mencegah risiko terjadinya gejala putus obat maupun relaps dari depresi. [6]
Gejala putus obat timbul dalam dua hingga empat hari setelah putus obat dan biasanya bertahan satu hingga dua minggu (kadang-kadang dapat bertahan hingga satu tahun). Jika jenis obat yang sama atau serupa dimulai kembali, gejalanya akan hilang dalam satu hingga tiga hari. Faktor sosiodemografi dan klinis yang terkait dengan peningkatan kerentanan belum teridentifikasi. [6]
Di antara jenis SSRI, paroxetine dikaitkan dengan kejadian tertinggi gejala putus obat dan yang terendah adalah fluoxetine. Untuk venlafaxine, karena memiliki masa paruh pendek, risiko terjadinya gejala putus obat lebih tinggi dan gejalanya dapat lebih parah. [7]
Gejala FINISH
Kegagalan untuk mengenali gejala putus obat antidepresan dapat menyebabkan misdiagnosis medis atau psikiatris. [8] Berikut gejala sindrom putus obat antidepresan yang disingkat FINISH:
-
Flu-like symptoms: lesu, kelelahan, sakit kepala, pegal-pegal, berkeringat
-
Insomnia: disertai lucid dream atau mimpi buruk
-
Nausea/mual: kadang hingga muntah
-
Imbalance/ketidakseimbangan: pusing, vertigo, rasa kepala seperti melayang
-
Sensory Disturbances/gangguan sensorik: rasa seperti terbakar, kesemutan, sensasi seperti tersengat listrik
-
Hyperarousal: kecemasan, mudah tersinggung, agresivitas, mania[9]
Cara Menghentikan Antidepresan
Secara umum, penurunan dosis obat antidepresan dengan waktu paruh yang singkat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan yang memiliki waktu paruh lebih panjang. Direkomendasikan untuk menurunkan dosis sebesar 25% setiap bulan atau 12,5% setiap dua minggu dalam periode waktu empat bulan. Rekomendasi spesifik per jenis obat dapat dilihat pada tabel 1.[10]
Tabel 1. Rekomendasi Cara Menghentikan Antidepresan
Jenis Antidepresan | Rekomendasi Penghentian Dosis |
Phenelzine atau tranylcypromine | Diturunkan secara bertahap selama minimal 4 minggu; kurangi 15 mg untuk phenelzine atau 10 mg untuk tranylcypromine setiap 2 minggu, atau kurangi 10% setiap minggu |
Duloxetine | Dosis diturunkan secara bertahap selama minimal 1-2 minggu; disarankan diturunkan 50% pada minggu ke-1 dan kemudian 50% pada minggu ke-2 |
Venlafaxine | Diturunkan secara bertahap selama minimal 4 minggu; dengan cara pengurangan 75 mg setiap 4 hari dan pengurangan 25 mg setiap 5 hingga 7 hari hingga dosis akhir 25-50 mg; untuk produk extended release, pengaturan yang diusulkan adalah 37,5-75 mg per minggu hingga dosis akhir 37,5 mg sebelum berhenti |
Citalopram | Diturunkan secara bertahap selama minimal 4 minggu |
Escitalopram | Diturunkan secara bertahap selama minimal 1-2 minggu |
Fluoxetine | Karena waktu paruh yang panjang, pengaturan dosis biasanya tidak diperlukan; dapat dikurangi secara bertahap selama minimal 2 minggu jika dosis ≥ 40 mg/hari |
Fluvoxamine | Diturunkan secara bertahap minimal 1-2 minggu; 50 mg setiap 5-7 hari hingga dosis akhir 25-50 mg |
Paroxetine | Diturunkan secara bertahap selama minimal 4 minggu; 5-10 mg / minggu hingga dosis akhir 5-20 mg |
Sertraline | Diturunkan secara bertahap selama minimal 4 minggu; 50 mg setiap 5-7 hari hingga dosis akhir 25-50 mg |
Kelas antidepresan trisiklik | Diturunkan secara bertahap selama minimal 4 minggu |
Bupropion | Diturunkan secara bertahap selama 1 minggu, meskipun gejala putus obat jarang terjadi |
Mirtazapine | Diturunkan secara bertahap selama minimal 4 minggu, meskipun gejala putus obat jarang terjadi |
Sumber: Nikki R. O & Shawn R.A, 2013.[11]
Kesimpulan
Selain psikoterapi dan dukungan sosial, farmakoterapi berupa antidepresan terbukti efektif dalam mengatasi gangguan depresi. Penggunaan antidepresan serta kapan dan bagaimana cara menghentikannya dengan tepat perlu lebih dipahami karena terdapat sekitar 20% pasien mengalami gejala putus obat setelah penghentian mendadak antidepresan.
Beberapa kondisi tertentu seperti alasan medis, kehamilan dan menyusui, timbulnya efek paradoksikal hingga efektivitas yang berkurang dapat dipertimbangkan sebagai saat yang tepat untuk menghentikan antidepresan secara perlahan. Secara umum, penghentian antidepresan secara bertahap dengan cara menurunkan dosis sebesar 25% setiap bulan atau 12,5% setiap dua minggu dalam periode empat bulan dilaporkan memberi hasil yang baik.
Sangat dianjurkan untuk melakukan psikoedukasi pada pasien tentang efek yang dapat terjadi bila antidepresan dihentikan secara mendadak atau tanpa pengawasan dokter untuk mencegah risiko terjadinya gejala putus obat maupun relaps dari depresi.