Artificial Intelligence untuk Deteksi Retinopathy of Prematurity

Oleh :
dr. Anastasia Feliciana

Di era yang semakin modern, diagnosis dini retinopathy of prematurity (ROP) dapat diperoleh dengan bantuan artificial intelligence. Teknologi ini tentunya akan bermanfaat pada kondisi di mana sarana dan tenaga kesehatan terbatas, serta terdapat perbedaan atau variasi keahlian pemeriksa.

Kemajuan teknologi kesehatan membuat semakin banyak bayi yang lahir prematur dengan berat badan lahir sangat rendah dapat bertahan hidup. Hal ini secara langsung berdampak pada peningkatan kejadian retinopathy of prematurity. Oleh karena itu, skrining ROP perlu diperkuat dan dipertajam sehingga ROP dapat dideteksi lebih dini dan ditangani sebelum terjadi ablasio retina.[1]

AI Retinopathy of Prematurity

Berdasarkan Program Kerja Nasional untuk ROP, skrining ROP disarankan dilakukan pada bayi dengan berat badan lahir ≤1500 gram atau usia gestasi  ≤34 minggu. Selain itu, skrining ROP disarankan pada bayi dengan risiko tinggi seperti: riwayat mendapat terapi suplementasi dengan fraksi oksigen tinggi, bayi dengan kelainan jantung bawaansepsis, perdarahan otak, gangguan pernapasan, mendapat transfusi darah, dan gangguan pertumbuhan dalam rahim.[2]

Artificial Intelligence untuk Deteksi Retinopathy Of Prematurity (ROP)

Penggunaan artificial intelligence sudah pernah dilakukan untuk berbagai kondisi medis, termasuk untuk mendeteksi retinopati diabetik. Di awal tahun 2020 U.S. Food and Drug Administration (FDA) memberikan izin pada i-ROP Deep Learning (iROP DL), sebuah algoritma artificial intelligence, untuk mendeteksi ROP dari gambar retina, yang akurasinya dilaporkan setara atau lebih baik dibandingkan analisis dokter mata yang terlatih.[3,4]

Akurasi Diagnostik Artificial Intelligence untuk Deteksi Retinopathy of Prematurity

Sebuah studi oleh Redd et al. di beberapa rumah sakit di Amerika menilai kemampuan sistem deep learning (DL) dalam mendeteksi seluruh komponen diagnosis ROP, dengan fokus pada penggunaan skor i-ROP plus yang mengukur kelainan vaskular retina. Sistem ini dilatih khusus untuk mengenali penyakit melalui citra fundus dan menghasilkan skor kuantitatif dari 1 hingga 9.

Hasil menunjukkan bahwa iROP DL memiliki akurasi tinggi dalam mendeteksi ROP tipe 1, dengan area under the curve (AUC) sebesar 0,960. Dengan skor ambang sebesar 3, sistem ini menunjukkan sensitivitas 94% dan nilai prediktif negatif 99,7%, yang berarti sangat andal dalam menyaring kasus yang tidak perlu intervensi. Korelasi yang kuat (r=0,93) dengan penilaian ahli membuktikan bahwa sistem ini mampu mencerminkan tingkat keparahan penyakit secara objektif.[5]

Studi untuk evaluasi iROP DL juga dilakukan di Australia, dalam mendeteksi pre-plus dan plus disease. Studi tersebut menunjukkan sensitivitas 81,4%, spesifisitas 80,7%, dan nilai prediksi negatif 80,7%. Dengan identifikasi dan optimasi operating point, dilaporkan sensitivitas iROP DL 97% dan nilai prediksi negatif 97,8% dalam mendiagnosis plus disease.[4,6]

Hasil serupa juga didapatkan oleh berbagai studi lain yang mengevaluasi akurasi diagnostik artificial intelligence untuk ROP. Kebanyakan studi ini menunjukkan tingkat akurasi diagnostik artificial intelligence yang tinggi, yang bisa dianggap setara atau lebih baik dengan penilaian ahli sebagai pembanding. Studi lain yang meneliti DL bernama DeepROP memperoleh sensitivitas 96,62% dan spesifisitas 99,32% dalam mendeteksi ROP.[6-8]

Artificial Intelligence Akan Bermanfaat untuk Skrining Retinopathy Of Prematurity Secara Telemedicine

Tersedianya akses artificial intelligence (AI) menimbulkan kemudahan untuk menggambarkan retina pada neonatus sehingga membuka jalan bagi praktik telemedicine sebagai metode yang lebih efisien untuk menapis bayi berisiko ROP. Sebuah studi yang dilakukan Universitas Stanford menemukan bahwa kombinasi AI dan telemedicine memiliki sensitivitas 100%, spesifisitas 99,8%, nilai prediksi positif 93,8%, dan nilai prediksi negatif 100% untuk mendeteksi ROP.[6,9]

Studi lain melakukan penelitian retrospektif untuk evaluasi telemedicine dalam skrining ROP menggunakan AI. Sebanyak 81 neonatus (613 mata) menjalani analisis deep learning. Hasil studi menyatakan bahwa mata neonatus yang memerlukan rujukan (referral-requiring/RR ROP) memiliki skor mean vascular severity yang lebih tinggi dibandingkan tanpa RR ROP. Dalam studi ini, sensitivitas skrining telemedicine dilaporkan mencapai 100% dengan spesifisitas 90%.[10]

Hal ini serupa dengan hasil penelitian retrospektif lain yang menggunakan telemedicine untuk skrining ROP berat. Skrining RR ROP dengan RetCam Shuttle memiliki sensitivitas 100%, spesifisitas 97%, nilai prediksi positif 66,7%, dan nilai prediksi negatif 100%. Ketersediaan AI dan telemedicine diharapkan akan membantu satu spesialis mata (single provider) untuk melakukan skrining ROP dalam jangkauan geografis yang luas, terutama di lokasi yang minim dokter terlatih.[11]

Kelebihan dan Tantangan Penggunaan Artificial Intelligence (AI) untuk Deteksi Retinopathy Of Prematurity

Walaupun artificial intelligence memudahkan skrining dan diagnosis, penerapannya tetap memiliki tantangan.[12]

Kelebihan Artificial Intelligence

Kelebihan dari teknologi ini adalah pemeriksaan menjadi lebih objektif, mengurangi interobserver variability, dapat mengurangi pemeriksaan sehingga mengurangi risiko trauma (karena mayoritas merupakan kasus ringan) dan dapat memprioritaskan bayi-bayi yang membutuhkan terapi segera.

Para ahli sedang mengembangkan skor keparahan vaskular pada ROP secara berkelanjutan menggunakan sistem i-ROP DL. Dilaporkan bahwa skala 1-9 secara akurat mendeteksi ROP tipe 1, sehingga secara teori dapat menurunkan keperluan pemeriksaan oleh dokter mata sampai 80% (karena sebagian besar pasien mengalami penyakit yang ringan atau bahkan tidak ada). Penelitian lebih lanjut juga dibutuhkan untuk bisa mengevaluasi ambang terapi menggunakan skala kuantitatif.[6,12]

Tantangan Artificial Intelligence (AI)

Tantangan utama dalam penerapan AI untuk ROP adalah keterbatasan generalisasi data, di mana model deep learning bisa gagal mengenali pola jika terdapat perbedaan populasi pasien, kualitas gambar, sistem kamera, atau faktor teknis lain. Variasi fenotipe ROP antara negara maju dan berkembang juga memperkuat kebutuhan validasi lintas populasi agar sistem AI dapat bekerja secara andal dan universal.

Selain itu, penggunaan AI dalam praktik klinis ROP juga membawa risiko medikolegal, karena potensi kesalahan diagnosis dapat menimbulkan tanggung jawab hukum. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang jelas serta pemahaman yang kuat dari tenaga medis terhadap batasan dan tanggung jawab dalam penggunaan teknologi ini.[4,6,12]

Kesimpulan

Penggunaan artificial intelligence (AI) dalam deteksi retinopathy of prematurity (ROP) menunjukkan potensi signifikan sebagai alat skrining yang objektif, efisien, dan akurat, khususnya pada kondisi keterbatasan tenaga ahli dan akses pelayanan kesehatan. Studi-studi validasi telah mengindikasikan bahwa model AI yang tersedia saat ini, memiliki akurasi diagnostik tinggi dalam mendeteksi ROP, dengan korelasi kuat terhadap penilaian klinis oleh dokter spesialis.

Kombinasi AI dengan telemedicine juga telah dilaporkan memiliki akurasi diagnostik yang baik, sehingga berpotensi dimanfaatkan untuk menjangkau populasi neonatal di wilayah terpencil. Meski demikian, implementasi AI masih menghadapi tantangan terkait generalisasi data, variasi fenotipe antar populasi, dan risiko medikolegal, sehingga diperlukan validasi lintas populasi serta regulasi yang jelas untuk menjamin keamanan dan efikasi penggunaannya dalam praktik klinis.

 

Direvisi oleh: dr. Bedry Qintha

Referensi