Dokter perlu mengantisipasi kemungkinan kesulitan setiap akan melakukan intubasi. Terdapat berbagai fitur klinis yang dapat membantu mengidentifikasi jalan napas yang berpotensi sulit diintubasi. Intubasi sulit dapat diartikan sebagai kondisi dimana dibutuhkan lebih dari 3 kali percobaan atau dibutuhkan waktu lebih dari 10 menit agar visualisasi glottis baik dan pipa endotrakeal dapat dimasukan dengan tepat.
Apabila tindakan intubasi mengalami kegagalan, maka terapi ventilasi yang diberikan pun menjadi terhambat. Padahal, tindakan ini seringkali memerlukan kecepatan karena kondisi yang mengancam nyawa.
Mengenali ciri pasien yang berisiko sulit diintubasi dapat membantu tenaga medis lebih waspada dan mencari bantuan lebih cepat kepada klinisi dengan kemampuan lebih baik atau segera menyiapkan peralatan lain yang dibutuhkan untuk membantu proses pemasangan pipa endotrakeal.[1-3]
Memprediksi Intubasi Sulit
Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menilai kemungkinan intubasi sulit. Dengan mengenali potensi kesulitan, operator dapat memiliki waktu untuk menyiapkan peralatan, meminta bantuan, hingga mencari alternatif jika intubasi gagal.[1-3]
Kriteria Sukses Laringoskopi
Ada 3 faktor yang mempengaruhi kesuksesan laringoskopi, yaitu:
- Pasien dapat membuka mulut secara adekuat sebagai jalan masuk blade dan dapat terlihat bagian dalam rongga mulut
- Posisi aksis 3 jalan napas, berada dalam satu garis, sehingga cukup membuat laring terlihat dengan jelas
- Terdapat ruangan yang cukup untuk menggeser lidah ke atas, menjauhi glotis
Jika tidak memenuhi ketiga kondisi di atas, maka lapang pandang selama menggunakan laringoskop akan terbatas dan proses pelaksanaan intubasi pun akan sulit.[2-5]
Evaluasi Jalan Napas Awal
Evaluasi jalan napas terhadap tanda klinis yang berpotensi menyebabkan kesulitan intubasi perlu dilakukan sesegera mungkin pada pasien dengan distres napas. Evaluasi cepat dilakukan terhadap defek anatomi kongenital atau didapat. Perhatian ekstra juga perlu diberikan pada pasien yang mengalami trauma wajah, kepala, atau leher; pasien dengan perdarahan oral; adanya regurgitasi konten gaster; dan mulut berbusa.[6]
Evaluasi Mallampati
Pada pasien yang kooperatif, dapat dilakukan evaluasi Mallampati. Minta pasien membuka mulut dan evaluasi kavitas oralnya. Lihat ukuran lidah, lebar bukaan mulut, dan apakah ada gangguan medis pada gigi dan uvula. Semakin jelas uvula terlihat di belakang lidah, umumnya semakin mudah pula intubasi dilakukan.[3,6]
Pemeriksaan Regio Leher
Lakukan pemeriksaan jarak tiromental. Semakin dekat dagu ke dinding dada dengan kepala pada mid-position, umumnya intubasi akan semakin sulit. Kondisi overbite yang drastis juga bisa menyulitkan dokter memposisikan laringoskop.
Selain itu, trauma leher dapat menyebabkan kepala tidak dapat digerakkan secara optimal, sehingga intubasi bisa menjadi sulit dilakukan karena posisi pasien yang tidak optimal.[1,6]
Obesitas
Obesitas juga bisa menyulitkan intubasi. Banyaknya lipatan kulit pada area bukal dan peningkatan jaringan lemak di sekitar faring posterior bisa menyulitkan visualisasi korda vokalis. Ukuran dada yang besar juga bisa menyulitkan manuver laringoskop, sehingga mungkin diperlukan ukuran lebih kecil atau laringoskop video pada pasien-pasien ini.[3,6]
Faktor Klinis Lain
Ruang yang sempit dalam orofaring akan mengganggu kemudahan manipulasi pipa endotrakeal. Hal ini bisa disebabkan berbagai hal, misalnya adanya tumor laring, vocal cord palsy, dan stenosis subglotis. Kecurigaan terkait kondisi-kondisi ini diperlukan terutama bila pasien mengalami stridor, bahkan jika tidak ada tanda distres napas.[3]
Basis Bukti Ilmiah Untuk Menilai Airway Sebelum Intubasi
Pada tahun 2018, gabungan peneliti Cochrane mempublikasikan tinjauan sistematik yang mengevaluasi 133 studi (127 kohort dan 6 kasus kontrol) dengan total sampel 844.206 partisipan. Tinjauan ini mencoba mengevaluasi akurasi diagnostik dari pemeriksaan Mallampati dan berbagai teknik evaluasi klinis lain yang umum digunakan untuk memprediksi intubasi sulit.
Berdasarkan tinjauan Cochrane dapat disimpulkan bahwa teknik evaluasi klinis, yang umum digunakan untuk skrining ini, memiliki sensitivitas yang rendah, variabilitas yang tinggi, dan belum didukung basis ilmiah yang adekuat.[7]
Tinjauan sistematik yang lebih baru dilakukan oleh Detsky et al, melibatkan 62 studi dengan total 33.559 partisipan, yang 10% di antaranya mengalami kesulitan intubasi. Hasil studi ini mengemukakan bahwa temuan pemeriksaan fisik dengan kemampuan prediksi intubasi sulit terbaik adalah:
Upper lip bite test kelas 3: insisivus bawah tidak dapat mencapai bibir bagian atas
- Jarak hyomental pendek: jarak <3 hingga 5,5 cm
- Retrognathia: pengukuran mandibula <9 cm yaitu jarak antara sudut rahang ke ujung dagu atau secara penampakan terlihat pendek[1]
Skor LEMON
Perhitungan skor LEMON dapat membantu memprediksi kemungkinan terjadinya intubasi sulit. Skor LEMON adalah singkatan dari Look, Evaluate the 3-3-2 rule, Mallampati evaluation, Obstruction, and Neck mobility.
Semakin tinggi hasil perhitungan, dengan nilai maksimum 10, maka kemungkinan intubasi menjadi semakin sulit pula. Tetapi, sebaiknya klinisi tidak semata-mata mengandalkan perhitungan skor LEMON tanpa menilai kondisi lain yang dimiliki pasien.[2-5]
Tabel 1. Skor LEMON
Kriteria | Skor | Alasan penyebab Intubasi Sulit |
Look (Lihat penampakan luar) | ||
Trauma Wajah | 1 | Perubahan anatomi meningkatkan kemungkinan gangguan jalan napas, kemungkinan terjadinya perdarahan di jalan napas |
Insisivus besar | 1 | Menghalangi jalan masuknya pipa endotrakeal. Dapat mempengaruhi kebebasan gerak laringoskop yang memicu terjadinya cedera gigi |
Kumis atau janggut | 1 | Menghalangi alat terpasang secara baik |
Lidah besar | 1 | Menutupi laring yang akan meningkatkan kejadian obstruksi jalan napas |
Evaluate (Evaluasi 3:3:2) | ||
Bukaan mulut ≤3 jari | 1 | Kesulitan dalam menggunakan blade laringoskop dan pemasangan pipa endotrakeal karena akses yang sempit |
Jarak hyomental ≤3 jari | 1 | Menyulitkan mengangkat lidah menjauhi laring |
Jarak tiroid ke dasar mulut ≤2 jari | 1 | Laring letak tinggi, membuat ujung blade dapat menekan valecula sehingga epiglottis menutup |
Evauasi Mallampati | ||
Skor=3 atau 4 | 1 | Kesulitan untuk melihat uvula dan palatum sehingga akan sulit mengangkat lidah ke arah atas |
Obstruction (Obstruksi) | ||
Keberadaan obstruksi jalan napas | 1 | Tindakan ventilasi akan sulit dilakukan karena glottis tidak terlihat, terhalang, atau bahkan terganggu posisinya |
Neck Mobility (Mobilitas leher) | ||
Mobilitas leher menurun | 1 | Ketidakmampuan kepala dan leher untuk ekstensi sehingga letak jalan napas tidak bisa sejajar dalam satu garis. |
Sumber: Wendy Damar, 2020
Kesimpulan
Kemungkinan tindakan intubasi yang sulit bisa diprediksi menggunakan berbagai fitur klinis. Kondisi yang bisa mengganggu masuknya laringoskop, misalnya kesulitan membuka mulut atau retrognathia, dapat menghambat intubasi. Selain itu, adanya defek anatomi jalan napas yang didapat atau kongenital, adanya trauma kepala atau leher, regurgitasi isi lambung, dan mulut berbusa juga bisa menyulitkan proses intubasi.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jarak tiromental, jarak hyomental, mobilitas leher, adanya obesitas, dan skor Mallampati. Tetapi, perlu diingat bahwa fitur-fitur klinis ini tidak serta merta dapat dijadikan patokan. Oleh karenanya, dokter yang melakukan intubasi perlu menyiapkan rencana dan peralatan yang mungkin dibutuhkan jika ternyata proses intubasi mengalami kendala.
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri