Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang paling ditakutkan pada katarak anak yang banyak terjadi pada pasien dengan pascaoperasi katarak kongenital. Sedangkan prosedur operasi diperlukan untuk memperbaiki fungsi penglihatan dari pasien dengan katarak kongenital. Beberapa faktor risiko diduga meningkatkan risiko terjadinya glaukoma pascaoperasi.
Indikasi Operasi pada Katarak Kongenital
Tidak semua anak dengan katarak memerlukan tata laksana pembedahan. Namun, pada beberapa kasus, indikasi pembedahan perlu dilakukan. Beberapa indikasi operasi katarak pada anak adalah:
- Katarak tebal yang menghalangi pemeriksaan red reflex pada bayi atau anak preverbal
- Timbulnya strabismus pada katarak unilateral
- Terdapat nistagmus pada katarak bilateral
- Katarak bilateral dengan visus < 6/12[1,2]
Operasi katarak pada anak penderita katarak kongenital (infantil) sangat penting dilakukan karena berkaitan perkembangan fungsi penglihatan. Onset dilakukannya operasi pun sangat berpengaruh terhadap fungsi penglihatan tersebut. Tindakan operasi katarak sebaiknya dilakukan pada awal tahun pertama untuk mengoptimalkan fungsi penglihatan. Namun, operasi katarak kongenital (infantil) memiliki risiko glaukoma sebanyak 15-30% seperti dilaporkan banyak studi.[3–5]
Glaukoma yang terjadi menyebabkan semakin menurunnya fungsi penglihatan pada anak. Mekanisme glaukoma pascaoperasi katarak kongenital masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa teori diantaranya ialah anyaman trabekular yang masih imatur sehingga mengganggu outflow cairan akuos, peradangan di bilik mata depan akibat stres operasi yang mengakibatkan pembentukan peripheral anterior synechiae (PAS), peradangan di anyaman trabekula karena vitreus, serta dorongan lensa intraokular (IOL) pada anyaman trabekular.[3-7]
Faktor Risiko Glaukoma Sekunder Pascaoperasi Katarak Kongenital
Studi retrospektif yang dilakukan oleh Chen et al. (Tahun 1970 - 2003) dan Haggard et al. (tahun 1977 - 2001) melaporkan faktor yang dapat meningkatkan risiko glaukoma pascaoperasi katarak kongenital (infantil) yaitu:
- Operasi katarak pada usia < 1 tahun
- Diameter kornea < 10 mm
- Mikroftalmus
- Jenis katarak tertentu (nuclear, lamellar)
-
Persistent fetal vasculature
- Inflamasi kronik
- Ditemukannya tanda komplikasi intra operatif (ruptur kapsul posterior, sisa lensa)
- Komplikasi pascaoperasi (inflamasi hebat pada bilik mata depan, hifema, membran pupil)
- Riwayat keluarga dengan afakia glaukoma
- Tindakan reoperasi (akibat komplikasi, misalnya operasi katarak sekunder)[3,6,8,9]
Glaukoma pascaoperasi katarak kongenital (infantil) dilaporkan dapat terjadi pada 1 bulan – 15 tahun pascaoperasi dan insidensinya meningkat seiring bertambahnya tahun follow-up. Penelitian infant aphakia treatment study (IATS) yang dilakukan pada tahun 2004 dan 2008 adalah suatu penelitian randomized controlled trial (RCT) yang dilakukan untuk menilai hasil operasi katarak kongenital unilateral antara pemasangan lensa intraokular primer (primary IOL) dengan tanpa pemasangan lensa intraokular (afakia) pada bayi berusia 1-6 bulan.[4,5]
Kemudian Freedman et al. melakukan penelitian RCT untuk melaporkan insidens glaukoma pada kelompok IATS 5 tahun pascaoperasi. Berdasarkan studi tersebut insidens glaukoma terjadi pada 20 dari 113 (18%) bayi pada 5 tahun follow-up. Jumlah ini meningkat dari 10% saat 1 tahun follow up. Selain itu, pasien dengan diameter kornea lebih kecil (≤ 10 mm) meningkatkan risiko glaukoma dan glaukoma suspek sebanyak 2.5 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan diameter kornea > 10 mm (HR = 2.5 [95% CI:1.3-5.0]).[3-6,9-11]
Prosedur Operasi Katarak untuk Mengurangi Risiko Glaukoma
Terdapat tiga jenis prosedur operasi katarak pada anak, yaitu irigasi/aspirasi lensa (I/A lensa), aspirasi lensa dengan posterior continuous curvilinear capsulorhexis (I/A + PCCC), dan aspirasi lensa dengan posterior continuous curvilinear capsulorhexis dan vitrektomi anterior (I/A+PCCC+ Vx-A).[12]
Lin et al melakukan uji klinis tersamar ganda pada pasien katarak kongenital bilateral yang dilakukan operasi katarak dengan ketiga metode diatas pada usia 3 bulan dan 6 bulan. Sejumlah 57 pasien (114 mata) mengikuti penelitian tersebut. Hasil yang didapatkan adalah komplikasi pascaoperasi paling banyak terdapat pada kelompok operasi katarak 3 bulan dengan prosedur I/A (47.6%) dan I/A+PCCC+Vx-A (55%) dibandingkan dengan prosedur I/A+PCCC (14.3 %).[12]
Pemasangan Intraocular Lens pada Operasi Katarak Kongenital
Komplikasi yang dilaporkan pada penelitian tersebut yaitu posterior capsular opacity (PCO) dan glaukoma sekunder. Sayangnya, peneliti tidak mengevaluasi hubungan antara glaukoma sekunder dan prosedur operasi secara terpisah. Selain itu, terdapat perbedaan pendapat mengenai pengaruh pemasangan IOL primer terhadap glaukoma.[12]
Menurut IATS, pemasangan IOL primer vs afakia pascaoperasi tidak berpengaruh terhadap insidens glaukoma baik pada 1 tahun maupun 5 tahun follow up. Zhang et al. juga menyebutkan pemasangan IOL primer tidak berpengaruh terhadap insidensi glaukoma pada katarak unilateral (HR = 0.88 [95% CI: 0.45–1.72], p=0.710). Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Sahin et al, insidensi glaukoma sangat rendah pada kelompok pasien yang dilakukan pemasangan IOL primer dibandingkan dengan kelompok afakia.[4–6]
Penelitian metaanalisis terhadap 7 center yang dilakukan Mataftsi et al. menyatakan bahwa pemasangan IOL primer saat operasi katarak kongenital memiliki efek protektif terhadap glaukoma dengan HR 0.1 [95%CI: 0.01-0.76], p=0.03 [13]
Hal ini senada dengan laporan Zhang et al pada suatu metaanalisis terhadap 8 studi yang menyatakan insidensi glaukoma lebih rendah pada mata yang dilakukan pemasangan IOL primer dibandingkan dengan afakia pada kasus katarak bilateral. Selain itu, Mataftsi et al juga menyebutkan bahwa adanya prosedur operasi intraokular tambahan setelah operasi katarak menjadi faktor risiko independen terhadap glaukoma (HR= 2.25 [95%CI: 1.20-4.21], p=0.02).[4-6,12-14]
Waktu Tepat Tindakan Operatif Katarak Kongenital untuk Mengurangi Komplikasi
Operasi katarak kongenital dilakukan sedini mungkin untuk mencegah terjadinya ambliopia selama periode kritis pertumbuhan dan perkembangan penglihatan. Semakin muda umur pasien saat dilakukan operasi, semakin baik fungsi penglihatan yang dihasilkan.[3–6, 8]
Namun, semakin muda umur pasien, semakin tinggi risiko komplikasi pasca operasi. Freedman et al. menyatakan usia lebih muda saat operasi (4-7 minggu) meningkatkan risiko glaukoma 3,2 kali (HR=3.2 [95% CI = 1.2-8.3]) dibandingkan dengan usia lebih tua (7-30 minggu) pada 4.8 tahun pascaoperasi katarak.[3–6, 8]
Hal ini sesuai dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa bila operasi katarak dilakukan pada usia tahun pertama maka memiliki risiko glaukoma lebih besar. Menurut IATS, risiko glaukoma 1 tahun pascaoperasi dapat dikurangi 50% dengan memperlambat operasi katarak dari usia 4 minggu menjadi usia 8 minggu.[3–6, 8]
Namun demikian, tidak disarankan memperlambat tindakan operasi katarak kongenital hanya karena alasan untuk mencegah terjadinya glaukoma sekunder. Tujuan operasi katarak kongenital adalah untuk melakukan operasi katarak pada usia dengan hasil visual outcome terbaik dengan risiko terjadinya glaukoma seminimal mungkin di kemudian hari.[3-6,8]
Lambert menyarankan waktu terbaik untuk dilakukan operasi katarak kongenital adalah pada usia 4-6 minggu untuk katarak bilateral dan usia 6 minggu untuk katarak unilateral. Sedangkan Fatihoglu et al. menyebutkan usia 8 minggu untuk operasi katarak kongenital unilateral dan usia 12 minggu untuk katarak kongenital bilateral.[15,16]
Sementara itu, penelitian RCT yang dilakukan oleh Lin et al. di Guangzhou terhadap 114 mata menyatakan waktu yang tepat untuk operasi katarak kongenital bilateral adalah saat usia 6 bulan karena memiliki visual outcome yang baik dan sedikit komplikasi dibandingkan dengan usia 3 bulan saat operasi. Dengan demikian, kapan waktu yang tepat untuk melakukan operasi katarak masih menjadi perdebatan di antara kalangan pediatric ophthalmologist karena belum adanya suatu konsensus global mengenai hal tersebut. [12]
Kesimpulan
Glaukoma sekunder merupakan salah satu komplikasi pascaoperasi katarak kongenital yang paling ditakutkan karena mempengaruhi visual outcome dan dapat menyebabkan hilangnya penglihatan secara irreversible jika tidak ditangani dengan baik. Insidensi glaukoma sekunder sangat bervariasi (insidens dalam 5 tahun pascaoperasi mencapai 18%), tergantung usia saat operasi, keadaan anatomi mata, dan durasi follow-up. Menunda waktu operasi, selama masih berada dalam periode “aman” dari ambliopia, yaitu sebelum mencapai periode laten visual deprivation, dapat menjadi salah satu solusi.
Sedangkan peran pemasangan IOL primer terhadap insidensi glaukoma sekunder masih menjadi kontroversi. Penanganan katarak kongenital tidak bisa disamakan pada semua pasien, tindakan disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak. Selain itu, perlu dilakukan follow up rutin jangka panjang pada setiap pasien anak yang dilakukan operasi katarak dengan dan tanpa pemasangan IOL karena risiko glaukoma meningkat setiap tahunnya dan karena deteksi dini dan intervensi dini merupakan salah satu cara yang efektif dalam mengatasi glaukoma sekunder.