Pilihan terapi pada tata laksana fraktur basis cranii diputuskan berdasarkan manifestasi klinis ukuran diameter defek fraktur serta durasi kebocoran liquido cerebrospinal (LCS). Selain itu, adanya parese nervus fasialis dapat mempengaruhi keputusan klinis untuk melakukan tindakan operatif pada pasien dengan fraktur basis cranii.
Sekitar 4 sampai 30% pasien dengan cedera kepala disertai dengan fraktur basis cranii. Fraktur basis cranii dapat diklasifikasikan menjadi tiga lokasi, yaitu fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior.[1]
Insiden untuk fraktur basis cranii berdasarkan lokasinya adalah sebesar 58% pada fossa anterior, 40% fossa media,15% fossa posterior, dengan 13% kasus mengalami fraktur basis cranii multipel. Fraktur basis cranii juga berhubungan dengan lesi intrakranial seperti perdarahan subaraknoid, perdarahan intraserebral, cedera aksonal difus, cedera saraf kranial, hilangnya pendengaran dan vertigo, kebocoran LCS lewat rhinorrhea atau otorrhea dengan meningitis.[2]
Gejala Klinis Fraktur Basis Cranii
Gejala klinis dari fraktur basis cranii bervariasi tergantung dari lokasi fraktur. Lokasi fraktur memberikan gambaran klinis yang khas, dimana pada fossa anterior ditemukan racoon's eyes dan/atau rhinorrhea. Sedangkan pada fossa media dapat ditemukan battle sign dan/atau otorrhea. Pada fossa posterior sering ditemukan cedera craniovertebral junction dan cedera cervical.
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa karakteristik tersebut seringkali baru muncul 1 sampai 3 hari setelah trauma. Maka dari itu, di luar dari karakteristik yang ada, setiap pasien dengan cedera kepala harus selalu dipertimbangkan adanya kemungkinan fraktur basis cranii.[1,3]
Fraktur Basis Cranii di Fossa Anterior
Gejala klinis yang ditemukan pada fraktur basis cranii yang terjadi di fossa anterior adalah rhinorrhea, periorbital ecchymosis (raccoon’s eyes), hilangnya penciuman, gangguan penglihatan akibat kerusakan dari nervus optikus atau struktur orbita lainnya.[2,4]
Racoon’s eyes biasanya tidak langsung muncul setelah trauma, namun umumnya muncul setelah 1 sampai 3 hari pasca trauma. Selain itu, jika ditemukan bilateral, maka kemungkinan fraktur basis cranii semakin tinggi.[4]
Pemeriksaan yang menjadi standar baku untuk rhinorrhea adalah dengan pemeriksaan kadar beta-2 transferrin atau protein Tau dengan angka sensitivitas 99% dan spesifisitas 97%. Akan tetapi, pemeriksaan ini belum tentu ada di rumah sakit di Indonesia.[5]
Pemeriksaan saraf kranial harus dilakukan pada semua pasien dengan fraktur basis cranii. Pada keadaan ini, temuan yang mungkin ada adalah anosmia karena cedera saraf kranial I (olfaktori), penurunan penglihatan bila terdapat cedera saraf kranial II (optik), maupun diplopia apabila melibatkan saraf kranial III, IV, dan VI.
Fraktur Basis Cranii di Fossa Media
Fraktur basis cranii di fossa media akan menimbulkan gejala klinis berupa otorrhea, ecchymosis retroauricular atau mastoid (battle sign), hematotimpanum, gangguan pendengaran dan parese nervus fasialis. Battle sign umumnya baru muncul setelah 1-3 hari pasca trauma.[4]
Apabila tidak ditemukan adanya otorrhea tidak menutup kemungkinan terjadinya fraktur basis cranii fossa media, karena jika membran timpani intak, adanya bekuan darah dan pembengkakan mukosa bisa menyebabkan otorrhea tidak ditemukan.[1]
Keadaan ini dapat melibatkan fraktur temporal yang mungkin menyebabkan cedera saraf kranial VII dan VIII. Parese nervus fasialis (saraf kranial VII) terjadi pada 4 sampai 7% kasus fraktur basis cranii dengan 94% kasus parese parsial dari nervus fasialis akan membaik dengan terapi non-operatif. Jika parese nervus fasialis total, maka memerlukan tindakan operatif untuk dilakukan dekompresi saraf, reanastomosis atau graf saraf.[1]
Cedera saraf kranial VIII dapat menyebabkan kehilangan pendengaran tipe konduktif atau sensorineural yang mungkin disertai gangguan vestibular. Penurunan pendengaran tipe konduktif biasanya terjadi karena hemotimpanum atau gangguan tulang-tulang pendengaran dan seharusnya dapat sembuh dengan sendirinya. Sedangkan untuk penurunan pendengaran tipe sensorineural, penyembuhannya akan bervariatif dari 4-6 bulan tergantung derajat kerusakan. Hal ini karena biasanya pada keadaan ini, saraf kranial VIII tidak terpotong.[4,6]
Fraktur Basis Cranii di Fossa Posterior
Fraktur basis cranii di fossa posterior lebih jarang menimbulkan gejala klinis, namun umumnya lebih bersifat fatal karena sering berhubungan dengan cedera pada craniovertebral junction dan cedera cervical. Pada fraktur basis cranii fossa posterior, walaupun paling jarang terjadi, namun memiliki angka mortalitas paling tinggi sebesar 44.4%, karena sering disertai dengan cedera pada batang otak dan arteri vertebrobasilar. [4,5]
Tata Laksana Fraktur Basis Cranii
Tata laksana fraktur basis cranii tergantung berdasarkan gejala klinis, ukuran defek fraktur dan juga durasi dari kebocoran liquido cerebrospinal (LCS). Pada fraktur basis cranii dengan diameter defek kurang dari 1 cm hampir 95% kasus akan menutup secara spontan dengan terapi non-operatif.[1,5]
Fraktur Basis Cranii dengan Diameter Defek sampai dengan 1 cm
Fraktur basis cranii dengan diameter defek sampai dengan 1 cm yang dilihat dari pemeriksaan CT scan kepala bone window dapat dilakukan terapi non-operatif dengan prinsip terapi mencegah terjadinya peningkatan tekanan tinggi intrakranial, sehingga defek duramater dapat menutup spontan.[1,5]
Terapi non-operatif dapat dilakukan dengan cara meninggikan posisi kepala 30o, mengontrol tekanan darah tetap dalam batas normal, pemberian pelunak feses untuk mencegah pasien mengejan, sehingga dapat mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Terapi ini memiliki angka keberhasilan sebesar 39.5 sampai 68% dalam waktu 2 sampai 3 hari dan meningkat hingga 85% setelah 7 hari.[1,5]
Jika masih terdapat kebocoran LCS yang ditandai dengan rhinorrhea dan otorrhea masih menetap setelah 7 hari, maka perlu dilakukan pemasangan lumbar drain. Lumbar drain dipasang hingga kebocoran LCS berhenti yang dapat dilihat dari manifestasi klinis rhinorrhea dan otorrhea sudah berhenti. Batas waktu pemasangan lumbal drain maksimal 7 hari untuk mencegah kemungkinan infeksi dari lumbar drain.
Angka keberhasilan kebocoran LCS menutup spontan dengan terapi non-operatif pada ukuran diameter defek di bawah 1 cm sebesar 78 sampai 95% dalam waktu 7 sampai 10 hari.[1,5]
Fraktur Basis Cranii dengan Diameter Defek Lebih dari 1 sampai 2 cm
Pada fraktur basis cranii dengan diameter defek lebih dari 1 sampai 2 cm, kecil kemungkinan dapat menutup secara spontan, sehingga diindikasikan untuk menjalankan tindakan operasi. Selain itu, pada fraktur basis cranii dengan diameter defek sampai dengan 1 cm, tetapi kebocoran LCS tidak berhenti dalam waktu 2 minggu memerlukan tindakan operasi untuk menutup defek pada duramater yang menjadi sumber kebocoran LCS. Hal ini karena, tanda kebocoran LCS masih ada, sehingga menunjukkan bahwa, defek tidak menutup secara spontan.[1]
Pada pasien dengan kecurigaan fraktur basis cranii dengan adanya kebocoran LCS, yang tidak berhenti spontan maka perlu dilakukan pemeriksaan MRI sisternografi untuk mengetahui lokasi dari defek di duramater yang menjadi sumber kebocoran LCS. Setelah lokasi defek duramater diketahui, baru dilakukan tindakan operasi untuk menutup defek tersebut. Pemeriksaan MRI sisternografi memiliki angka sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi dalam mendeteksi kebocoran LCS sebesar 87%, 57%, dan 78%.[1,5]
Indikasi relatif untuk tindakan operatif pada kebocoran LCS akibat fraktur basis cranii sebagai berikut:
- Adanya lesi intrakranial lain seperti benda asing, fraktur impresi yang memerlukan tindakan operatif, sehingga dilakukan penutupan defek duramater secara bersamaan dengan operasi tersebut
- Fraktur yang disertai dengan encephalocele atau meningocele pada hasil MRI yang dapat mencegah penutupan secara spontan
- Fraktur dengan diameter defek di atas 1 cm
- Fraktur pada bagian garis tengah/midline, karena berhubungan dengan risiko meningitis yang lebih tinggi
- Gagal terapi non-operatif
- Fraktur yang disertai dengan kebocoran LCS yang baru muncul pada onset lanjut, yaitu lebih dari 13 hari[5]
Parese Nervus Fasialis
Parese nervus fasialis juga terjadi pada 4 sampai 7% kasus fraktur basis cranii dengan 94% kasus parese parsial dari nervus fasialis akan membaik dengan terapi non-operatif. Jika terjadi parese nervus fasialis total, maka memerlukan tindakan operatif untuk dilakukan dekompresi saraf, reanastomosis atau graf saraf.[1]
Derajat parese nervus fasialis dapat dibedakan menurut klasifikasi House-Brackmann yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Grading House-Brackmann
Grade | Penjelasan |
Grade 1 | Fungsi otot simetris normal |
Grade 2 | Terdapat sedikit kelemahan jika dilihat dari dekat dan asimetris ringan saat tersenyum |
Grade 3 | Kelemahan asimetris semakin nyata saat tersenyum, mata masih dapat tertutup dengan sempurna |
Grade 4 | Kelemahan asimetris sudah terlihat tanpa pasien tersenyum, tidak dapat mengangkat alis, mata tidak dapat tertutup sempurna |
Grade 5 | Mata tidak dapat tertutup sempurna, hanya terdapat pergerakan sedikit pada sudut mulut |
Grade 6 | Tidak terdapat gerakan sama sekali |
Sumber: dr. Christian Permana, Sp.BS, 2022[5]
Parese nervus fasialis dikatakan total jika pada pemeriksaan fisik ditemukan grade 6 pada klasifikasi House-Brackmann.[5]
Komplikasi
Komplikasi paling sering pada fraktur basis cranii adalah meningitis akibat kebocoran LCS. Angka probabilitas meningitis semakin meningkat seiring dengan lamanya kebocoran LCS dari 0,62% pada 24 jam pertama, 5 sampai 11% pada 1 minggu pertama hingga 55 sampai 88% jika kebocoran LCS menetap lebih dari 1 minggu dengan angka mortalitas secara keseluruhan 1 sampai 25%.[1,5]
Kesimpulan
Manifestasi klinis khas pada pasien dengan fraktur basis cranii seperti racoon eye dan battle sign baru muncul saat hari ke 1-3 pasca trauma. Maka dari itu, setiap pasien dengan cedera kepala harus selalu dipertimbangkan akan kemungkinan adanya fraktur basis cranii, terutama dengan melakukan pemeriksaan fisik secara berkala.
Tata laksana fraktur basis cranii tergantung dari gejala klinis, ukuran defek fraktur dan durasi dari kebocoran liquido cerebrospinal (LCS). Tindakan non operatif dapat dipertimbangkan apabila diameter defek <1 cm, dengan catatan apabila rhinorrhea dan otorrhea masih terjadi sampai dengan 7 hari pasca trauma, maka operasi diindikasikan. Tata laksana yang cepat dan tepat dapat menurunkan angka komplikasi meningitis dan angka mortalitas.