Vitamin A, docosahexaenoic acid (DHA), dan lutein diperkirakan memiliki potensi memperlambat progresivitas retinitis pigmentosa. Retinitis pigmentosa adalah penyakit retina yang bersifat herediter yang ditandai dengan degenerasi fotoreseptor sel batang dan sel kerucut yang progresif.[1,2]
Penderita retinitis pigmentosa berpotensi mengalami kebutaan permanen, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk memperlambat progresivitas penyakit ini. Bagaimanakah efektivitas pemberian vitamin A, DHA, dan lutein dalam memperlambat progresivitas retinitis pigmentosa? Adakah efek samping dari terapi ini? [1,2]
Sekilas Mengenai Retinitis Pigmentosa
Penyakit retinitis pigmentosa (RP) diturunkan, baik secara autosomal dominant retinitis pigmentosa (ADRP), autosomal recessive retinitis pigmentosa (ARRP), maupun X-linked retinitis pigmentosa (XLRP). Selain itu, RP terbagi menjadi nonsyndromic retinitis pigmentosa (NSRP) dan syndromic retinitis pigmentosa (SRP).[1-4]
Manifestasi Klinis Retinitis Pigmentosa
Manifestasi klinis RP adalah penurunan tajam penglihatan, gangguan penglihatan pada malam hari (night blindness), gangguan lapang pandang perifer (tunnel vision) atau sentral, dan gangguan penglihatan warna. Pada pemeriksaan funduskopi ditemukan classic triad yaitu diskus optikus yang pucat (waxy pallor), attenuated retinal vessel, dan perubahan pigmen intraretina di daerah mid perifer (hipopigmentasi atau hiperpigmentasi berbentuk bone-spicule).[1,3-5]
Tanda lainnya dapat disertai vitreus sel, atrofi sel pigmen retina, katarak subkapsular posterior sentral, lesi kistik makular, dan gangguan refraksi miopia atau astigmatisma. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis di antaranya elektroretinogram (ERG), tes lapang pandang (perimetri), tes Optical Coherence Tomography (OCT), dan tes genetik.[1,3-5]
Pilihan Terapi Retinitis Pigmentosa
Saat ini, tidak ada pengobatan definitif untuk RP, tetapi beberapa modalitas dapat menunda perkembangan penyakit. Berbagai pilihan terapi untuk mengatasi RP adalah pemberian vitamin dan mineral, vasodilator, terapi jaringan ekstrak plasenta, kortison, simpatektomi servikal, injeksi yeast RNA, ultrasound, transfer factor, dimethyl sulfoxide, ozone, transplantasi otot, injeksi subretina sel retina fetus, terapi gen, ciliary neurotrophic factor, prostesa retina, sampai penanaman implan humanitarian device ARGUS II (chip elektroda epiretina).[1,3-5]
Mekanisme Antioksidan dalam Terapi Retinitis Pigmentosa
Hingga saat ini, belum ditemukan terapi definitif untuk RP karena mekanisme kematian sel kerucut pada RP belum diketahui pasti. Terdapat lebih dari 100 lokus gen yang menjadi penyebab RP.[1,3-5]
Salah satu teori penyebab kematian sel kerucut adalah akibat kerusakan oksidatif. Oleh karena itu, antioksidan diperkirakan dapat mencegah kematian sel kerucut saat bereaksi dengan radikal bebas, dan saat proses penyerapan cahaya dalam retina.[1,3-5]
Beberapa vitamin dan mineral diketahui bersifat antioksidan dan dapat berpotensi melindungi fotoreseptor retina, seperti vitamin A, vitamin E, lutein, dan DHA.[1,3-5]
Penelitian Terkait Penggunaan Antioksidan dalam Terapi Retinitis Pigmentosa
Terdapat kontroversi terhadap hasil penelitian yang menunjukkan dosis tinggi vitamin A, DHA, dan lutein dapat memperlambat progresivitas RP. Berson et al melakukan tiga large randomized, controlled, double-masked trial. Sedangkan Hoffman et al melakukan dua penelitian yang membandingkan efek DHA dengan plasebo.
Penelitian Berson et al Pertama Tahun 1993
Pada penelitian pertama, pasien RP dewasa sebanyak 601 pasien diacak menjadi 4 kelompok, yaitu selama 4 tahun menerima vitamin A 15.000 IU/hari ditambah vitamin E 3 IU/hari; vitamin A 75 IU/hari ditambah vitamin E 3 IU/hari; vitamin A 15.000 IU/hari ditambah vitamin E 400 IU/hari; dan vitamin A 75 IU/hari ditambah vitamin E 400 IU/hari.[6]
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok pasien yang menerima vitamin A dosis tinggi mengalami penurunan amplitudo ERG lebih lambat (8,3% penurunan per tahun) dibandingkan pasien yang menerima vitamin E dosis tinggi (11,8%), tetapi perbedaan ini tidak signifikan (p=0,03). Selain itu, tidak terdapat perbedaan penurunan tajam penglihatan chart ETDRS antara kedua kelompok (0,7 huruf per tahun).[6]
Penelitian Berson et al Kedua Tahun 2004
Pada penelitian kedua, Berson et al menguji acak 221 pasien RP yang telah diberikan vitamin A dosis tinggi sebelumnya menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok uji menerima kapsul DHA 1.200mg/hari selama 4 tahun, sementara kelompok kontrol menerima plasebo.[7,8]
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan penurunan lapang pandang per tahun (p=0.73), tidak terdapat perbedaan penurunan tajam penglihatan (p=0,88), dan tidak terdapat perbedaan amplitudo ERG antara kedua kelompok (p=0,64). Namun, analisis subgrup terpisah menunjukkan kelompok DHA mengalami laju penurunan lapang pandang dan penurunan amplitudo ERG yang lebih lambat pada tahun pertama (p=0,1) dan tahun kedua (p=0,3), tetapi tidak terjadi pada tahun ketiga dan keempat.[7,8]
Penelitian Berson et al Ketiga Tahun 2010
Penelitian ketiga mengevaluasi pemberian lutein 12 mg/hari dan vitamin A 15.000 IU/hari yang dibandingkan dengan pemberian plasebo dan vitamin A 15.000 IU/hari selama 4 tahun. Penelitian ini melibatkan total 240 pasien RP yang tidak merokok.[9]
Penelitian ini menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan penurunan tajam penglihatan pada perimeter Humphrey program 30-2, amplitudo ERG, atau tajam penglihatan logMAR (p=0,80). Namun, terdapat perlambatan penurunan lapang pandang Humphrey program 60-4 (secondary outcome, p=0,01) pada kelompok lutein.[9]
Penelitian Hoffman et al Pertama Tahun 2004 Mempelajari DHA
Pada penelitian pertama, Hoffman et al memberikan DHA 400 mg/hari selama 4 tahun pada 41 orang pasien XLRP. Dari hasil penelitian, tidak ditemukan perbedaan defek lapang pandang (p=0,29), dan tidak terdapat perbedaan penurunan tajam penglihatan yang signifikan pada kedua kelompok (rata-rata -0,01 unit logMAR, 95% CI -0,14-0,12).[10]
Namun, DHA memberikan efek pada amplitudo ERG sel batang pada anak usia di bawah 12 tahun (p=0,04), dan amplitudo ERG sel kerucut pada anak usia 12 tahun ke atas (p=0,038).[10]
Penelitian Hoffman et al Pertama Tahun 2014 Mempelajari DHA
Pada penelitian kedua, DHA diberikan 30 mg/kgBB/hari (sekitar 600− 3.600 mg/hari) pada 60 pasien XLRP. Hasilnya tidak ditemukan perbedaan pada cone functional loss (p=0,30), dan tidak terdapat perbedaan penurunan tajam penglihatan per tahun (p=0,19). Hasil OCT pada kedua kelompok juga tidak menunjukkan perbedaan konstriksi zona ellipsoid selama 2 tahun (p=0,87).[11,12]
Penelitian ini menyimpulkan bahwa DHA jangka panjang tidak efektif dalam memperlambat functional loss sel kerucut dan sel batang pada pasien XLRP. Namun, pada tahun 2015, Hoffman et al melakukan analisa lanjutan dan menemukan bahwa pemberian DHA dapat mengurangi progresivitas dark-adapted threshold (p=0,06) dan sensitivitas lapang pandang total (p<0.0001).[11,12]
Dampak Buruk Vitamin A Dosis Tinggi, DHA, dan Lutein
Di sisi lain, pemberian vitamin A dosis tinggi (15.000 IU), DHA, dan lutein dapat menyebabkan efek samping. Vitamin A dosis tinggi berisiko menyebabkan toksisitas vitamin A, walaupun kondisi ini jarang terjadi.[3,4,9,13]
Sedangkan pemberian DHA jangka panjang memberikan efek samping gangguan sistem pencernaan ringan, berupa nausea, flatulence, eructation, dan loose stools. Pada penelitian yang dilakukan Berson et al tahun 2010 ditemukan 2 pasien dari 110 subjek yang mengalami gangguan fungsi liver setelah menerima lutein dosis tinggi dan vitamin A.[3,4,9,13]
Toksisitas Vitamin A
Sebagai langkah awal pencegahan toksisitas vitamin A, maka setiap pasien sebaiknya melakukan pemeriksaan kadar serum vitamin A puasa dan fungsi liver sebelum terapi dan setiap tahunnya selama terapi. Beberapa gangguan yang dapat terjadi akibat toksisitas vitamin A adalah:
- Penurunan densitas tulang sehingga meningkatkan risiko fraktur panggul (1%), terutama pada wanita menopause dan pria usia di atas 49 tahun
- Peningkatan tekanan intrakranial, terutama jika vitamin A dosis tinggi diberikan bersamaan dengan terapi doksisiklin jangka panjang
- Efek teratogenik atau cacat janin, jika dikonsumsi pada pada wanita hamil
Pasien gagal ginjal atau transplantasi ginjal tidak direkomendasikan mengonsumsi vitamin A, karena dapat menyebabkan reabsorpsi ginjal yang berlebihan. Oleh karena pertimbangan berbagai efek samping serius tersebut dan potensi dalam progresivitas RP yang tidak signifikan, maka American Association of Ophthalmology (AAO) tidak merekomendasikan pemberian suplemen vitamin A dosis tinggi pada pasien RP.[3,4,9,13]
Kesimpulan
Pemberian vitamin A dosis tinggi (15.000 IU) tidak disarankan untuk penderita retinitis pigmentosa, karena manfaatnya yang tidak signifikan dan dapat menimbulkan banyak efek samping. Konsumsi vitamin A jangka panjang dapat meningkatkan risiko osteoporosis dan teratogenik.
Sedangkan pemberian DHA dan lutein dapat membantu memperlambat visual field loss pada RP, walaupun secara statistik tidak signifikan. Efek samping penggunaan DHA dan lutein umumnya adalah gangguan sistem pencernaan ringan.