Memahami Siklus Tungau Skabies untuk Menjamin Terapi dan Mencegah Rekurensi

Oleh :
dr. Novianti Rizky Reza, Sp.KK

Penyakit skabies seringkali rekuren bahkan terlantar. Siklus tungau skabies harus dipahami oleh dokter, agar dapat menentukan pilihan terapi yang tepat dan mencegah rekurensi. Skabies merupakan infeksi parasit Sarcoptes scabiei yang sering ditemukan pada daerah beriklim hangat seperti di Indonesia.[1,2]

Skabies merupakan penyakit lebih umum ditemukan pada masyarakat sosioekonomi menengah ke bawah. Diagnosis skabies dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis, yaitu keluhan gatal di malam hari (pruritus nocturnal) yang juga dirasakan oleh orang yang kontak erat dengan pasien, seperti anggota keluarga atau teman sekamar, lesi kulit berupa kanalikuli berbentuk garis lurus atau berkelok, berwarna putih atau abu-abu, dengan ujung papul atau vesikel.[2]

SiklusTungauSkabies

Lesi dapat disertai infeksi sekunder, seperti pustul dan ekskoriasi. Pemberian terapi topikal permetrin 5% masih merupakan pilihan pertama di Indonesia. Namun, beberapa kasus masih tidak mengalami perbaikan setelah terapi. Pada artikel ini akan dibahas siklus hidup parasit/tungau skabies dan faktor-faktor yang dapat memengaruhi kegagalan terapi skabies.[2]

Siklus Hidup Skabies

siklushidupskabies

Gambar 1. Siklus Hidup Sarcoptes scabiei.

Tungau S. scabiei memiliki empat stase hidup, yaitu telur yang berkembang menjadi larva, nimfa, dan dewasa. Telur akan menetas dalam 2‒3 hari, sedangkan stase larva sampai dewasa berlangsung selama 9‒17 hari.[2,3]

S. scabiei dapat hidup, serta bertahan hidup di luar tubuh manusia dan memiliki kemampuan untuk menginfeksi individu lain, selama rata-rata 24‒36 jam pada kondisi ruangan (21°C dan kelembapan relatif 40–80%). Pada keadaan yang lebih menguntungkan, seperti lingkungan yang dingin dan lembab, S. scabiei dapat bertahan hidup lebih lama sampai 19 hari.[2,3,5]

Namun, daya infeksi S. scabiei akan menurun seiring waktu setelah tidak berada di tubuh pejamu. Masa inkubasi infestasi tungau skabies berkisar 3‒6 minggu. Pasien yang belum memiliki gejala tetapi sudah mengalami infestasi tungau dapat menularkan kepada individu lain.[2,3,5]

Penularan Skabies

Skabies terutama ditularkan melalui kontak langsung dari kulit ke kulit. Tungau skabies hanya membutuhkan waktu 10‒15 menit untuk melompat pindah ke tubuh pejamu lain. Pada satu tubuh pasien skabies, mungkin memiliki populasi tungau antara 10‒15 organisme.[2,5,7]

Selain kontak langsung, penularan skabies juga dapat secara tidak langsung melalui kontak dengan bahan yang terkontaminasi (fomites), misalnya pakaian, sprei, tempat tidur, dan handuk. Meskipun penularan melalui barang-barang pribadi tidak terjadi dengan mudah, hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus pada reinfestasi dan gejala klinis yang menetap.[2,5,7]

Pengobatan Skabies

Ada berbagai perawatan yang tersedia untuk skabies, baik topikal maupun sistemik. Perlu dipahami bahwa tidak semua obat skabies dapat efektif untuk keempat stase tungau. Terapi yang ada di Indonesia adalah:

  • Topikal permetrin 5%: untuk pasien usia >2 bulan. Efektif untuk membunuh seluruh stase hidup scabiei. Pemakaian 2 kali dengan jarak 1 minggu, di mana obat dioleskan didiamkan semalaman (8‒12 jam).
  • Topikal sulfur presipitatum 5‒10%: aman untuk bayi <2 bulan. Tidak efektif bekerja pada stadium telur, sehingga membutuhkan pemakaian selama 3 hari berturut-turut. Obat dioleskan setiap malam setelah mandi, dan biarkan selama 24 jam.
  • Sistemik ivermectin 200 μg/kg peroral, yang dapat diberikan pada pasien usia >10 tahun. Obat ini tidak memengaruhi stase telur, sehingga dianjurkan untuk diberikan 2 kali dengan jarak 2 minggu, di mana dosis pertama bersifat skabiestatik dan dosis kedua untuk membunuh tungau yang menetas setelah dosis pertama.[2,8]

Kegagalan Pengobatan Skabies

Pada skabies, meskipun pemilihan obat sudah dilakukan dengan benar, tetapi  rekurensi atau kegagalan terapi cukup sering terjadi. Hal ini dapat diakibatkan oleh reexposure atau reinfestasi parasit. Tanda keberhasilan terapi skabies adalah perbaikan gejala klinis dan keluhan gatal pada bulan ketiga follow-up.[1]

Beberapa alasan kegagalan pengobatan adalah:

  • Terdapat kasus kontak skabies di sekitar pasien yang tidak mendapat pengobatan secara bersamaan
  • Proses dekontaminasi fomites, seperti tempat tidur dan pakaian pada saat pengobatan yang tidak adekuat
  • Ketidakpatuhan pasien dalam aplikasi pengobatan
  • Penggunaan obat topikal yang tidak merata seluruh tubuh[1,2,5]

Untuk membunuh tungau skabies, isolasi kamar tidur dan pakaian pasien harus dilakukan selama 48 jam pada suhu kamar. Semua pakaian, sprei, dan handuk yang digunakan oleh pasien dan kontak harus dicuci dengan mesin, dan menggunakan air bersuhu >50°C atau dengan proses dry clean.[1,2,5]

Studi oleh Nemecek et al. (2020) menunjukkan bahwa sebagian besar pasien telah mengoleskan krim secara menyeluruh ke semua permukaan tubuh, tetapi uji oles dengan menggunakan fluoresen menunjukkan sebanyak 30% permukaan tubuh terlewatkan. Studi ini juga menunjukkan bahwa predileksi area yang terlewat dioles oleh pasien adalah pergelangan kaki, sela jari kaki, dan sakral.[4]

Aplikasi Obat Topikal Skabies yang Sesuai

Pilihan pengobatan skabies didasarkan pada efektivitas, potensi toksisitas, riwayat komorbid, dan usia pasien. Selain itu, saat penggunaan obat untuk pasien dan kontak erat harus bersamaan dengan proses sanitasi fomites dalam waktu 36‒48 jam pada suhu kamar.[2]

Penggunaan permetrin krim harus ke seluruh tubuh, dari kepala/leher hingga ujung kaki. Setelah itu, dibiarkan dan kemudian dibilas. Aplikasi terkadang diulangi sekali, yaitu +1‒2 minggu kemudian.[6]

Studi oleh Golant et al. tidak menemukan alasan yang jelas mengapa krim permetrin tidak dioleskan di area wajah atau kulit kepala. Studi ini menganjurkan agar krim dioles pada seluruh bagian tubuh, termasuk wajah, kelopak mata, dahi, kulit kepala, di dalam dan belakang telinga luar, inguinal, punggung, serta bawah kuku.[3]

Selain cara aplikasi yang kurang sesuai, durasi juga perlu diperhatikan. Studi invitro yang dilakukan oleh Pallesen et al. menunjukkan bahwa setelah 8 jam tungau yang masih hidup pada kelompok krim permetrin 5% sebanyak 65%, sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 75%. Hal ini menunjukkan aplikasi permetrin selama 8 jam tidak membunuh tungau secara signifikan.[5]

Setelah 12 jam, tungau yang hidup adalah 25% pada kelompok permetrin dan 60% pada kelompok kontrol. Bahkan, observasi hingga hari ke-3 menemukan satu tungau yang bertahan hidup, dan pada hari ke-4 semua tungau telah mati. Data ini dapat menjadi dasar kemungkinan resistansi tungau terhadap permetrin, sehingga anjuran aplikasi adalah selama 12 jam dan diulang pada hari ke-4.[5]

Kesimpulan

Terapi skabies kadang masih gagal, di mana pasien masih mengalami gejala klinis setelah pengobatan atau mengalami rekurensi. Pengobatan yang disertai edukasi yang tepat, mengenai cara pemakaian obat topikal pada pasien dan kontak, serta tata laksana pada lingkungan merupakan kunci untuk mencapai hasil terapi yang optimal.

Krim permetrin 5‒10% dapat menjadi pilihan untuk pasien usia >2 bulan, di mana harus diaplikasikan pada seluruh tubuh, termasuk area wajah, kulit kepala, di dalam dan belakang telinga luar, inguinal, punggung, serta bawah kuku. Kemudian, krim harus dibiarkan selama 12 jam, dan diulang setelah 1 minggu.

Siklus hidup tungau skabies perlu dipahami, karena tidak semua pengobatan yang dapat efektif pada semua stase tungau. Jika diperlukan, terapi perlu diulang dalam jangka waktu 1‒2 minggu setelah terapi pertama, untuk membunuh tungau yang baru menetas. Selain itu, tungau dapat hidup di luar tubuh pejamu selama 24‒36 jam, sehingga isolasi kamar tidur, pakaian, dan fomites lainnya milik pasien harus dilakukan selama 48 jam pada suhu kamar.

Tungau dapat berpindah dari tubuh pasien ke tubuh pejamu lainnya hanya dalam waktu 10‒15 menit. Oleh karena itu, pengobatan pasien harus disertai dengan pengobatan kontak, termasuk keluarga atau teman sekamar di asrama.

Referensi