Tata Laksana Awal Spinal Cord Injury Berdasarkan Panduan American College of Surgeons 2022

Oleh :
dr.Christian Permana

Panduan tata laksana spinal cord injury dari American College of Surgeons (ACS) telah diperbaharui pada tahun 2022.  Artikel ini akan terfokus pada pembahasan tata laksana  spinal injury sebelum masuk rumah sakit (pre-hospital) dan juga penanganan di instalasi gawat darurat (IGD).[1]

Fraktur pada tulang belakang hanya 4‒23% dari keseluruhan fraktur akibat trauma, tetapi dampak terhadap disabilitas dan kualitas hidup pasien sangat signifikan. Spinal cord injury (SCI) dapat menyebabkan gangguan fungsi motorik, sensorik, dan otonom yang bersifat permanen. Proses patologi pada spinal cord injury bersifat unik, sehingga setiap fase pada tata laksananya sangat penting dan saling berhubungan. Time is spine bermakna bahwa tata laksana spinal cord injury harus dilakukan dengan cepat dan tepat dimulai dari pre-hospital.[1]

spinalcordinjury comp

Tata Laksana Pre-Hospital Spinal Cord Injury

Meskipun kecepatan tindakan operasi dekompresi sejak onset trauma penting, tetapi tata laksana pasien mulai dari pre-hospital dan di IGD juga sangat penting untuk dapat meningkatkan luaran terapi dan mencegah perburukan cedera neurologis pasien.[1]

Spinal Motion Restriction (SMC)

Korban kecelakaan lalu lintas, jatuh, atau penyebab trauma lainnya ada yang wajib dilakukan pembatasan gerak pada tulang belakang, atau spinal motion restriction (SMC). Beberapa tanda pada korban yang harus dilakukan SMC adalah:

  • Penurunan kesadaran, yaitu Glasgow Coma Scale (GCS) <15 dan/atau terdapat tanda intoksikasi
  • Nyeri di midline leher atau punggung
  • Tanda dan gejala defisit neurologis, misalnya kesemutan, baal, atau kelemahan anggota gerak
  • Deformitas bentuk pada tulang belakang
  • Lingkungan atau cedera yang membuat pasien tidak kooperatif, seperti kondisi fraktur tulang panjang, nyeri hebat, dan pasien histeris atau tidak dapat diajak komunikasi[1,2]

Rekomendasi alat yang dapat digunakan sebagai SMR adalah adalah backboard, scoop stretcher, vacuum splint, atau ambulance cot. Tujuan SMR adalah untuk mencegah pergerakan yang tidak diharapkan pada tulang belakang. Pemasangan SMR harus sepanjang tulang belakang pada posisi supine, di mana posisi kepala, leher, dan punggung berada pada satu garis lurus. Saat melakukan evakuasi pasien harus meminimalisir gerakan fleksi, ekstensi, dan rotasi dari tubuh pasien.[1,2]

Cervical Collar

Berdasarkan panduan ACS, collar wajib digunakan pada semua pasien trauma yang akan dilakukan transportasi ke rumah sakit. Keputusan apakah pemakaian cervical collar terus dilanjutkan selama perawatan di rumah sakit atau dapat dilepas tergantung dari kondisi pasien. Faktor penentu tersebut adalah kesadaran dan gejala neurologis pasien.[1]

Namun, banyak pedoman internasional lainnya yang tidak lagi merekomendasikan cervical collar. Hal ini karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa collar tidak baik dalam mempertahankan spinal alignment, bahkan dapat menyebabkan komplikasi seperti meningkatkan tekanan intrakranial sehingga akan memperburuk kondisi pasien cedera kepala, mempersulit manajemen saluran napas dan cedera tekanan. Oleh karena itu, imobilisasi tulang belakang dengan metode lain lebih dipilih daripada penggunaan cervical collar.[6,7]

Pasien Sadar dan Tanpa Gejala Neurologis:

Pada pasien yang sadar dan tanpa defisit neurologis, umumnya mekanisme trauma bukan mekanisme risiko tinggi. Jika tidak ada nyeri di leher dan pasien dapat menggerakan leher ke segala arah tanpa hambatan, maka cervical collar dapat dilepas dan pasien tidak memerlukan pemeriksaan tambahan radiologis.[1]

Pasien Sadar dengan Gejala Neurologis:

Jika pasien memiliki gejala neurologis, maka cervical collar tidak boleh dilepas hingga kondisi tulang leher dinyatakan aman. Pasien membutuhkan pemeriksaan tambahan radiologis, yaitu CT scan dan/atau MRI cervical. CT scan leher lebih direkomendasikan sebagai pemeriksaan radiologis awal daripada rontgen polos. Sensitivitas CT scan mencapai 98,5‒100% yang lebih tinggi daripada sensitivitas rontgen yang hanya 45‒64%.[1,5]

Jika pasien memiliki defisit neurologis tetapi hasil pemeriksaan CT scan negatif atau tidak ditemukan adanya kelainan, maka dianjurkan untuk pemeriksaan MRI cervical. Namun, MRI pasca pemeriksaan CT scan negatif ini belum menjadi panduan wajib. Sebuah meta analisis dari 23 studi menunjukkan hanya 16 missed injury dari 5.286 pasien yang tidak terlihat pada CT scan tetapi terlihat pada MRI.[1,5]

Indikasi pemeriksaan MRI adalah untuk melihat kerusakan ligamen cervical, atau adanya kecurigaan kelainan degeneratif atau patologis yang dapat dipicu akibat trauma.[1]

Pasien Tidak Sadarkan Diri:

Pada pasien yang tidak sadarkan diri, sebelum dilakukan pelepasan cervical collar wajib dilakukan pemeriksaan CT scan terlebih dahulu. Jika hasil CT scan negatif, maka cervical collar dapat dilepaskan.[1]

Tata Laksana Awal Spinal Cord Injury di IGD

Tata laksana awal pasien spinal injury di IGD dilakukan berdasarkan panduan advanced trauma life support (ATLS), yang terdiri dari primary survey dan secondary survey.

Primary Survey

Primary survey fokus pada airway, breathing, circulation (kontrol perdarahan), disability dan exposure  (ABCDE). Saat melakukan primary survey, SMR dan cervical collar harus tetap terpasang, hingga penilaian evaluasi tulang belakang yang dilakukan pada secondary survey.[1,3]

Tujuan utama pemeriksaan disability adalah menilai angka GCS, pemeriksaan pupil (respon refleks dan ukuran pupil), dan tanda lateralisasi yang dilakukan dengan pemeriksaan cepat fungsi motorik dan refleks di seluruh ekstremitas.[1,3]

SCI sekunder banyak terjadi akibat manuver leher saat mempertahankan airway. Oleh karena itu, mempertahankan airway harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh dokter yang sudah berpengalaman dan cervical collar tetap terpasang untuk meminimalisir pergerakan pada leher. Namun, SMR dapat diabaikan atau ditunda pada keadaan mendesak, misalnya pada kondisi kesulitan menjaga airway, hipoksemia, tension pneumotoraks, atau tamponade jantung.[1, 2]

SCI cervical dapat dicurigai pada pasien takipnea dengan pernafasan diafragma yang lebih dominan. Pasien SCI dapat mengalami syok, antara syok neurogenik atau syok hemoragik, yang harus dipastikan penyebabnya.[1,3]

Secondary Survey

Secondary survey terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, yang dapat dilakukan setelah hasil primary survey menunjukkan pasien stabil dan tidak ada kondisi yang mengancam jiwa. Pada secondary survey, dilakukan penilaian kondisi tulang belakang dan saraf spinal secara keseluruhan.[1,3]

Pemeriksaan Secara Keseluruhan

Untuk menilai kondisi spinal setelah trauma, harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara lengkap. Pemeriksaan penunjang radiologi dapat dilakukan jika ada indikasi.

Anamnesis

Pada anamnesis, harus ditanyakan mekanisme trauma, apakah mekanisme high energy atau low energy. Mekanisme high energy misalnya kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi, jatuh dari ketinggian, atau cedera karena tekanan axial pada kepala, seperti saat diving atau tertimpa barang jatuh. Sedangkan mekanisme low-energy di antaranya terjatuh ke lantai, tetapi mekanisme ini jika terjadi pada lansia >65 tahun tetap harus dicurigai trauma pada spine.[1,3]

Pemeriksaan Fisik

Pasien sadar penuh dapat ditanyakan apakah terasa nyeri di leher atau punggung, serta kesemutan/baal atau kelemahan motorik pada tangan dan kaki. Harus diperhatikan juga lokasi trauma di tempat lain, seperti cedera kepala, trauma maksilofasial kompleks, fraktur pelvis, dan trauma toraks dapat.[1,3]

Pemeriksaan fisik spine dilakukan dengan posisi pasien dimiringkan ke salah satu sisi, dengan posisi cervical dan thoracolumbal dalam satu garis lurus (log-rolled). Kemudian, pasien diminta untuk jangan menggerakan lehernya. Inspeksi dilakukan dengan melihat apakah ada luka terbuka, kontusio, dan hematoma di sepanjang spine. Palpasi dilakukan di prosesus spinosus dari cervical hingga thoracolumbal, apakah terdapat nyeri saat palpasi dan tanda step-off. Palpasi juga dilakukan di otot paraspinal.[1,3]

Kondisi sindrom cauda equina ditentukan dengan pemeriksaan colok dubur, untuk menentukan kekuatan tonus sfingter ani dan mengetahui apakah pasien masih bisa merasakan sentuhan di daerah perianal. Setelah pemeriksaan selesai, pasien dikembalikan ke posisi supine dengan teknik log-rolled kembali.[1,3]

Pemeriksaan Fungsi Neurologis

Pemeriksaan fungsi neurologis dilakukan khusus pada pasien yang dicurigai mengalami SCI. Untuk pemeriksaan ini, dapat menggunakan rekomendasi American Spinal Injury Association (ASIA), yang juga digunakan untuk menentukan level/derajat SCI.

ASIAscore

Gambar 1. Pemeriksaan Standar untuk Menilai Spinal Cord Injury Menggunakan ASIA Score[1]

Pemeriksaan neurologis meliputi:

  • Pemeriksaan sensorik, terdiri dari sentuhan dan pin-prick sesuai dermatome. Berikan skor 0 jika absen, skor 1 jika terdapat perubahan (menurun atau meningkat), serta skor 2 jika normal.

  • Pemeriksaan motorik pada otot-otot kunci, dengan skor 0 jika total paralisis, skor 1 jika teraba atau terlihat adanya kontraksi otot, skor 2 jika terdapat pergerakan aktif tetapi tidak dapat melawan gravitasi, skor 3 jika terdapat gerakan aktif dan mampu melawan gravitasi tetapi tidak mampu melawan resistensi ringan, skor 4 jika terdapat gerakan aktif yang mampu melawan gravitasi tetapi tidak mampu melawan resistensi sedang, serta skor 5 jika terdapat gerakan aktif yang mampu melawan gravitasi tetapi tidak mampu melawan resistensi kuat.[1,4]

Kemudian, hasil pemberian skor pada pemeriksaan di atas dimasukan ke dalam klasifikasi ASIA, yang terdiri dari 5 klasifikasi.[1,4]

Tabel 1. Klasifikasi Spinal Cord Injury Menggunakan ASIA Score 

Klasifikasi Hasil Pemeriksaan Neurologis

ASIA A (complete)

Tidak terdapat fungsi sensorik maupun motorik pada segmen S4‒5 

ASIA B (sensory incomplete)

Masih terdapat fungsi sensorik, tetapi tidak ada fungsi motorik di bawah level neurologis segmen S4‒5

ASIA C (motor incomplete)

Fungsi motorik di bawah level neurologis, tetapi lebih dari setengah otot kunci di bawah level neurologis memiliki kekuatan <3

ASIA D (motor incomplete)

Fungsi motorik di bawah level neurologis, dengan lebih dari setengah otot kunci di bawah level neurologis memiliki kekuatan ≥3
ASIA E (normal) Motorik dan sensorik normal

Sumber: Permana C., 2022.[1]

Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis untuk spine injury yang direkomendasikan adalah noncontrast multidetector computerized tomography (MDCT), sebagai pemeriksaan awal untuk menilai tulang belakang cervical dan thoracolumbalNon-contrast MDCT memiliki angka sensitivitas 98% pada cervical dan 100% pada thoracolumbal.[1]

Rekomendasi MDCT cervical menggunakan ketebalan irisan minimal 3 mm, sedangkan MDCT thoracolumbal dengan ketebalan minimal 5 mm. Walaupun MDCT memiliki angka sensitivitas yang tinggi dalam melihat abnormalitas pada tulang, tetapi interpretasinya akan lebih sulit jika pasien memiliki osteopenia atau kelainan degeneratif yang berat sebelumnya. MDCT juga tidak dapat menilai struktur ligamen.[1]

Magnetic resonance imaging (MRI) hanya sebagai pemeriksaan tambahan dan pelengkap dari MDCT. Keunggulan MRI adalah dapat menilai struktur spinal cord, radiks saraf, diskus, ligamen, dan jaringan lunak lainnya. Pemeriksaan MRI diperlukan jika ada pertimbangan khusus dari dokter spesialis spine, dan jika pasien direncanakan untuk tindakan operasi.[1]

Pilihan Farmakologi pada Spinal Cord Injury

Pemberian analgesik pada pasien SCI sangat penting, karena pasien mengalami kondisi nyeri campuran dari nociceptive somaticnociceptive visceral, dan neuropatik. Dianjurkan untuk memberikan analgesik multimodal, yaitu kombinasi golongan opioid, paracetamol, dan/atau obat antiinflamasi nonsteroid (OINS). Untuk nyeri neuropatik, dapat ditambahkan obat antikonvulsan (gabapentin atau pregabalin), dan antidepresan (amitriptilin).[1]

Hingga panduan American College of Surgeons tahun 2022 dipublikasikan, belum ada farmakologi yang terbukti bermanfaat  secara langsung pada SCI.[1]

Hasil penelitian dari National Spinal Cord Injury Studies (NASCIS), pada tahun 1980-an hingga 1990-an, menyatakan bahwa pemberian metilprednisolon dalam waktu 8 jam sejak trauma dapat memberikan perbaikan fungsi motorik pada pasien selektif. Namun, sayangnya pemberian metilprednisolon banyak memberikan efek samping, seperti infeksi, perdarahan saluran cerna, hiperglikemia, dan kematian. Oleh karena itu, penggunaan metilprednisolon tidak dianjurkan untuk sebagian besar pasien cedera tulang belakang.[1,4]

Kesimpulan

Tata laksana spinal cord injury berdasarkan panduan American College of Surgeons (ACS) 2022 menekankan bahwa time is spine, di mana penanganan yang cepat dan tepat saat pre-hospital dan di IGD sangat penting untuk mengurangi risiko perburukan neurologis. Tata laksana awal harus mewaspadai risiko secondary spine injury akibat tindakan yang diberikan, sehingga keputusan menggunakan dan melepas spinal motion restriction atau cervical collar harus berdasarkan kesadaran dan gejala neurologis pasien.

Luaran pasien spinal cord injury (SCI) sangat dipengaruhi oleh kecepatan tata laksana awal dan tindakan definitif, seperti operasi dekompresi jika diperlukan. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan untuk kasus SCI adalah CT scan spine, daripada foto rontgen maupun MRI. Terapi farmakologi untuk pasien SCI terutama adalah analgesik kombinasi, yaitu golongan opioid, paracetamol, dan/atau obat antiinflamasi nonsteroid (OINS). Nyeri neuropatik, dapat diberikan juga obat antikonvulsan (gabapentin atau pregabalin) dan antidepresan (amitriptilin).

Pedoman ACS secara keseluruhan untuk penatalaksanaan cedera tulang belakang akut dapat diterapkan dalam praktik klinis di Indonesia. Namun, pedoman ini masih merekomendasikan penggunaan cervical collar pada semua pasien dengan kegawatdaruratan cedera tulang belakang sebelum sampai ke rumah sakit, hingga kondisi tulang leher dinyatakan aman. Padahal terdapat kekhawatiran peningkatan komplikasi akibat penggunaan alat penyangga leher inisehingga banyak pedoman yang telah merekomendasikan alat lain yang lebih memadai untuk imobilisasi tulang leher dan seluruh tulang belakang.

Referensi