Testosterone replacement therapy atau terapi pengganti testosteron diduga bermanfaat untuk mengatasi disfungsi ereksi. Sebelumnya, terapi ini hanya umum digunakan untuk tata laksana hipogonadisme pria. Namun, dalam dekade terakhir, uji klinis mulai banyak mempelajari peran testosteron dalam tata laksana disfungsi ereksi, baik sebagai terapi tunggal maupun terapi kombinasi dengan obat lain.[1,2]
Disfungsi ereksi adalah salah satu disfungsi seksual pada pria, yang diartikan sebagai berkurangnya kemampuan penis untuk mencapai atau menjaga kekerasan ketika ereksi untuk memenuhi kehidupan seksual. Pria dengan hipogonadisme umumnya mengalami disfungsi ereksi. Namun, tidak semua pria yang mengalami disfungsi ereksi menderita hipogonadisme. Fungsi seksual dipengaruhi oleh banyak sistem organ, yaitu sistem endokrin, sistem reproduksi, sistem kardiovaskular, dan sistem saraf.[1,2]
Disfungsi ereksi bisa mengganggu kualitas hidup dan menimbulkan masalah psikologis seperti kecemasan dan depresi. Terapi utama yang digunakan selama ini adalah obat golongan inhibitor phosphodiesterase-5 (inhibitor PDE-5) seperti sildenafil dan tadalafil. Namun, sebagian pasien tidak responsif terhadap terapi inhibitor PDE-5, sehingga terapi lain yang dapat memperbaiki luaran klinis terus dipelajari.[3,4]
Penyebab Disfungsi Ereksi dan Prinsip Manajemennya
Segala bentuk patologi yang memengaruhi arteri, saraf, jaringan otot, endotel korpus, dan tunika albuginea bisa menyebabkan disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi diketahui berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular, diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi. Selain itu, disfungsi ereksi juga berkaitan dengan masalah psikologis dan level hormon testosteron endogen.[5-7]
Beberapa studi melaporkan bahwa konsentrasi total testosteron menurun pada dekade ke-3 kehidupan dan terus menurun seiring pertambahan usia. Etiologi hormonal pada kasus disfungsi ereksi dapat diketahui dengan mengukur kadar testosteron pagi.[5-7]
Prinsip manajemen disfungsi ereksi yang optimal adalah manajemen masalah medis yang menjadi penyebab, perubahan gaya hidup, pemberian obat inhibitor PDE-5, dan manajemen hipogonadisme untuk pasien yang mengalaminya.[5,8]
Kombinasi Testosterone Replacement Therapy dan Inhibitor PDE-5 untuk Terapi Disfungsi Ereksi
Penggunaan inhibitor PDE-5 saja pada pasien yang mengalami disfungsi ereksi akibat defisiensi testosteron dilaporkan kurang efektif. Defisiensi testosteron menyebabkan defisiensi relatif PDE-5, sehingga mengurangi sensitivitas terhadap inhibitor PDE-5.[5,9]
Dalam suatu uji klinis acak terkontrol, terapi kombinasi sildenafil dan testosteron terlihat lebih efektif daripada monoterapi sildenafil pada pria yang memiliki kadar testosteron <400 ng/dL. Pria yang mendapat kombinasi testosteron dan inhibitor PDE-5 mengalami perbaikan skor IIEF (International Index of Erectile Function) sebesar 4,4 selama 4 minggu. Perbaikan tersebut lebih besar daripada perbaikan IIEF sebesar 2,1 saja pada pria yang mendapat monoterapi inhibitor PDE-5 (p=0,029).[5]
Namun, uji klinis acak terkontrol Spitzer, et al. terhadap 140 pria yang mendapatkan inhibitor PDE-5 (sildenafil) melaporkan bahwa pemberian testosteron menjadi kurang efektif jika level testosteron normal telah tercapai. Peningkatan fungsi ereksi yang baik tampak pada grup yang memiliki kadar testosteron rendah. Namun, ketika konsentrasi testosteron sudah normal, pemberian testosteron lebih lanjut tidak akan meningkatkan fungsi ereksi.[5]
Testosterone Replacement Therapy sebagai Monoterapi Disfungsi Ereksi
Pada kasus disfungsi ereksi ringan, beberapa penelitian melaporkan bahwa testosteron dapat bermanfaat sebagai monoterapi. Corona, et al. melakukan meta analisis pada 14 uji klinis acak untuk melihat efek terapi testosteron pada fungsi ereksi pria dengan hipogonadisme onset lambat. Meta analisis ini membandingkan skor IIEF sebelum dan sesudah terapi.[5,8]
Secara keseluruhan, ketika dibandingkan dengan plasebo, terapi testosteron hanya menunjukkan peningkatan yang sedang pada skor IIEF, dengan perbedaan rerata skor antar grup sebesar 2,3. Namun, rerata terlihat lebih tinggi ketika grup distratifikasikan berdasarkan level baseline testosteron. Pada studi dengan threshold testosteron <8 nM (231 ng/dL), skor IIEF meningkat sebesar 2,95. Sementara itu, pada threshold <12 nM (346 ng/dL), peningkatan skor IIEF hanya sebesar 1,47.[5,8]
Temuan di atas mengisyaratkan bahwa testosterone replacement therapy lebih efektif sebagai monoterapi pada disfungsi ereksi yang ringan daripada yang sedang-berat. Bukti dari studi lain juga menunjukkan bahwa efek testosterone replacement therapy tidak signifikan pada disfungsi ereksi sedang-berat. Suatu uji klinis terhadap 790 pria dengan hipogonadisme onset lambat dan disfungsi ereksi tingkat sedang menunjukkan bahwa setelah 1 tahun terapi testosteron, peningkatan skor IIEF tidak signifikan.[5]
Risiko Testosterone Replacement Therapy
Meskipun defisiensi testosteron diduga berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, hubungannya masih belum jelas. Bukti terbaru justru menunjukkan bahwa terapi testosteron dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.[10,11]
Panduan-panduan yang ada setuju bahwa terapi testosteron sebaiknya dihindari pada pasien yang memiliki:
Gagal jantung kronis berat (New York Heart Association kelas IV)
- Infark miokard
- Trombofilia
Stroke dalam 6 bulan terakhir
- Kanker prostat
- Kanker payudara
Obstructive sleep apnea (OSA)
- Hematokrit >48% atau >50% untuk orang yang tinggal di ketinggian[10,11]
Bila testosterone replacement therapy tetap diberikan, pria hipogonadisme yang juga mengalami gagal jantung harus dimonitor secara berhati-hati, yakni dengan observasi klinis, pemeriksaan kadar testosteron, dan pemeriksaan hematokrit berkala.[10,11]
Pasien dengan kanker prostat dan kanker payudara memiliki risiko komplikasi yang serius, sehingga penggunaan testosteron dihindari. Berdasarkan Endocrine Society dan beberapa asosiasi medis lain, terapi testosteron juga tidak dianjurkan pada pria dengan:
- Nodul dan indurasi prostat
Prostate-specific antigen (PSA) >4 ng/mL
Prostate-specific antigen (PSA) >3 ng/mL dengan risiko kanker prostat[10,11]
Terapi testosteron hanya memperburuk luaran OSA secara sementara. Oleh sebab itu, terapi dikontraindikasikan hanya jika OSA yang dialami berat dan tidak terobati.[10,11]
Terapi testosteron juga dikontraindikasikan pada pasien dengan peningkatan hematokrit karena studi jantung Framingham melaporkan bahwa risiko penyakit kardiovaskular meningkat pada pria dengan kadar hematokrit tinggi.[10,11]
Kesimpulan
Pada pasien yang mengalami disfungsi ereksi yang berkaitan dengan defisiensi hormon testosteron, pemberian testosterone replacement therapy sebagai kombinasi dengan inhibitor PDE-5 dilaporkan lebih efektif daripada pemberian inhibitor PDE-5 saja. Selain itu, testosteron juga dilaporkan bisa digunakan sebagai monoterapi jika disfungsi ereksi yang dialami bersifat ringan.
Pemberian testosteron pada pasien yang sudah mencapai kadar testosteron normal tidak akan memperbaiki fungsi ereksi lebih lanjut. Selain itu, terapi testosteron memiliki beberapa risiko yang tetap harus diwaspadai, seperti risiko penyakit kardiovaskular, perburukan OSA secara sementara, dan komplikasi pada penderita kanker prostat atau kanker payudara.
Ke depannya, studi yang berskala lebih besar masih diperlukan untuk mengonfirmasi manfaat dan keamanan testosterone replacement therapy, threshold testosteron untuk memulai terapi, dan durasi terapi.