Diagnosis of Acute Aortic Syndromes with Ultrasound and D-dimer: The PROFUNDUS Study
Fulvio Morello, Paolo Bima, Matteo Castelli, et al. Diagnosis of Acute Aortic Syndromes with Ultrasound and D-dimer: The PROFUNDUS Study. European Journal of Internal Medicine. 2024 Oct;128:94-103. PMID: 38871565.
Abstrak
Latar Belakang: Pada pasien-pasien yang mengeluhkan gejala umum seperti nyeri dada atau nyeri abdomen atau nyeri punggung atau sinkop, sindrom aorta akut merupakan penyebab yang jarang. Diagnosis sindrom aorta akut (SAA) memerlukan pencitraan aorta lanjutan yang urgent, paling sering berupa computed tomography angiography (CTA). Namun, proses seleksi pasien mana yang memerlukan pencitraan memiliki risiko misdiagnosis dan overtesting.
Tujuan: Peneliti hendak menilai keamanan dan efisiensi protokol diagnostik yang mengintegrasikan data klinis dengan point-of care ultrasound (POCUS) dan kadar D-dimer (dengan cut-off tunggal atau yang disesuaikan dengan usia), untuk seleksi pasien mana yang memerlukan pencitraan CTA.
Metode: Penelitian prospektif ini melibatkan 12 Instalasi Gawat Darurat (IGD) dari 5 negara. Penemuan POCUS diintegrasikan dengan skor klinis sesuai pedoman, yang akan menentukan probabilitas pre-test terintegrasi (integrated pre-test probability atau iPTP) untuk pencitraan aorta lanjutan. Jika iPTP tinggi, pencitraan aorta lanjutan darurat diperlukan. Jika iPTP rendah dan D-dimer negatif, SSA dikesampingkan. Pasien dalam penelitian ini menjalani follow-up sampai 30 hari untuk menilai outcome.
Hasil: Dari total 1979 pasien, 176 (9%) mengalami SSA. Bila dibandingkan dengan skor klinis saja, penggunaan POCUS bisa mengarahkan ke perbaikan reklasifikasi sebesar 20% (24%/-4% untuk kejadian/non-kejadian, P<0,001). Waktu median untuk diagnosis SAA adalah 60 menit jika POCUS positif vs. 118 menit jika negatif (P=0,042).
Pada 941 pasien yang memenuhi kriteria eksklusi untuk diagnosis SAA, insiden SAA 30 hari adalah 0% (95% CI 0–0,41%). Tanpa POCUS, 2 kejadian SAA berpotensi terlewat. Efisiensi protokol pengecualian adalah 48% (95% CI 46–50%) dan CTA dihindari pada 41% pasien. Dengan menggunakan D-dimer yang disesuaikan dengan usia, efisiensi eksklusi diagnosis SAA adalah 54% (perbedaan 6%, 95% CI 4–9%, vs. cut-off standar).
Kesimpulan: Algoritme terintegrasi ini memungkinkan triase cepat pada pasien dengan probabilitas tinggi, sekaligus memberikan metode rule-out SSA yang aman dan efisien. D-dimer yang disesuaikan dengan usia bisa semakin memaksimalkan efisiensi.
Ulasan Alomedika
Sindrom aorta akut (SAA), yang meliputi diseksi aorta, hematoma aorta intramural, dan ulkus aorta tembus, dialami oleh 5–7/100.000 orang per tahun. Kondisi ini adalah kegawatdaruratan yang bisa menyebabkan 1–2% kematian per jam jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat.
SAA menyebabkan gejala yang tidak spesifik seperti nyeri dada, nyeri perut, nyeri punggung, sinkop, defisit neurologis, dan iskemia ekstremitas. Sejumlah besar pasien dievaluasi di IGD untuk gejala-gejala umum ini, tetapi hanya sedikit dari mereka yang benar memiliki SAA, yaitu 1 dari 980 dengan nyeri dada. Diagnosis konklusif SAA biasanya didasarkan pada pencitraan tingkat lanjut menggunakan CTA dengan kontras pada toraks dan abdomen.
CTA mempunyai risiko terkait radiasi, anafilaksis, dan cedera ginjal, serta berhubungan dengan keterbatasan sumber daya, biaya yang tinggi, dan waktu rawat di IGD yang lebih lama. Oleh sebab itu, diperlukan cara seleksi pasien untuk pemeriksaan CTA, yang aman dan efisien.
Penilaian probabilitas pre-test (PTP) berfungsi untuk mengarahkan diagnosis awal. Alat PTP utama untuk SAA adalah skor deteksi diseksi aorta (Aortic Dissection Detection atau ADD). Pencitraan dilakukan untuk membantu diagnosis SAA. Salah satunya adalah point-of-care ultrasound (POCUS), yang bisa dilakukan oleh dokter di samping tempat tidur saat evaluasi klinis. POCUS dapat membantu dalam triase pasien dengan probabilitas tinggi dan meningkatkan akurasi diagnostik.
Kadar D-dimer yang bersirkulasi meningkat pada sebagian besar pasien dengan SAA. Penelitian ini mencoba mengevaluasi efisiensi eksklusi SAA dengan menggunakan PTP terintegrasi POCUS (iPTP) dan pemeriksaan D-dimer, sehingga dapat menentukan pasien mana yang memerlukan CTA lebih lanjut dan mana yang tidak.
Ulasan Metode Penelitian
Penelitian ini melibatkan 12 IGD dari 5 negara dengan rata-rata sensus adalah 60.000 kunjungan per tahun, dan 83% adalah pusat rujukan aorta (aortic hub center). Pasien yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah pasien dengan kecurigaan SAA tetapi yang belum diputuskan untuk menjalani CTA.
Kriteria inklusi adalah adanya minimal 1 gejala yang kompatibel dengan SAA (nyeri dada atau punggung atau perut, sinkop, atau defisit perfusi organ seperti adanya defisit neurologis fokal atau iskemia ekstremitas) yang berlangsung hingga 14 hari. Kriteria eksklusi adalah usia <18 tahun, diagnosis alternatif yang jelas, trauma primer, riwayat SAA sebelumnya, tidak dapat diaksesnya pasien untuk follow-up, serta penolakan pasien untuk berpartisipasi.
Dokter IGD melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta menghitung skor ADD untuk PTP. Skor ini didasarkan pada 12 item dan berkisar dari 0–3, tergantung pada jumlah atau kategori risiko. EKG juga dilakukan dan sampel darah vena diambil. Dokter IGD atau dokter lain (seperti konsultan kardiologi) yang ahli untuk POCUS melakukan pemeriksaan selama kunjungan.
POCUS digunakan untuk mengidentifikasi tanda-tanda langsung SAA, yang meliputi: adanya intimal flap yang memisahkan kedua lumen aorta, adanya penebalan melingkar atau bulan sabit (>5 mm) pada dinding aorta, dan adanya tonjolan mirip kawah yang dengan tepi bergerigi di dinding aorta. Dokter juga mencari tanda-tanda tidak langsung SAA, yang meliputi: dilatasi aorta toraks (diameter ≥40 mm), efusi perikardial, dan regurgitasi katup aorta pada Doppler warna.
Pasien didefinisikan iPTP rendah jika tidak ada tanda-tanda langsung pada POCUS dan jika skor ADD 0–1. Pasien didefinisikan iPTP tinggi jika ada tanda langsung pada POCUS atau jika skor ADD 2–3. Dokter juga bisa mendefinisikan pasien sebagai iPTP tinggi jika hanya ada tanda tidak langsung pada POCUS dan skor ADD 0–1 tetapi pasien tidak stabil atau tidak memiliki kemungkinan diagnosis lain.
Pemeriksaan D-dimer dilakukan sebelum pencitraan lanjutan. Hasil tes dianggap positif jika hasilnya ≥500 ng/mL fibrinogen equivalent unit (FEU) dan negatif jika <500 ng/mL. Dalam analisis sekunder, hasil pemeriksaan D-dimer diinterpretasikan menggunakan cut-off yang disesuaikan dengan usia (Dage-adj). Dage-adj dihitung sebagai usia pasien dalam tahun dikalikan 10, dengan nilai minimal 500 ng/mL.
Pencitraan aorta lanjutan (CTA) dilakukan pada pasien dengan iPTP tinggi terlepas dari kadar D-dimer, dan pada pasien dengan iPTP rendah tetapi kadar D-dimer ≥500 ng/mL. Eksklusi diagnosis SAA tanpa melakukan CTA diindikasikan pada pasien dengan iPTP rendah dan D-dimer <500 ng/mL. Pasien selanjutnya diinstruksikan untuk kembali ke IGD jika gejalanya tidak membaik atau timbul gejala baru. Semua pasien lakukan follow up selama 30 hari melalui pemeriksaan data rumah sakit dan kontak telepon.
Ulasan Hasil Penelitian
Dari Januari 2019 hingga Desember 2022, sejumlah 3022 pasien dengan kecurigaan SAA diskrining dan 1979 didaftarkan dalam penelitian. Skor ADD ≤1 ditemukan pada 1690 (85%) pasien dan skor ADD ≥2 ditemukan pada 289 (15%) pasien. POCUS dilakukan oleh dokter IGD pada 90% kasus dan konsultan kardiologi pada 10% kasus.
Sebanyak 398 (20%) pasien diklasifikasikan pada iPTP tinggi untuk SAA. Angka ini termasuk 109 (6%) pasien dengan skor ADD ≤1, di mana klasifikasi iPTP tinggi dibuat karena temuan pada POCUS. Sebanyak 1581 (80%) pasien diklasifikasikan pada iPTP rendah dan diuji untuk D-dimer. Sebanyak 941 (48%) pasien memiliki iPTP rendah dan D-dimer <500 ng/mL.
Sejumlah 1975 pasien menyelesaikan follow-up selama 30 hari dan 4 pasien hilang. Sebanyak 636 (32%) pasien dirawat di rumah sakit, 148 (8%) menjalani kunjungan ulang ke IGD, dan 61 (3%) meninggal (17 selama kunjungan indeks). SAA ditetapkan pada 176 (9%) pasien dan diagnosis alternatif ditetapkan pada 1799 (91%) pasien. Lima pasien yang didiagnosis sementara SAA di IGD ditetapkan sebagai eksklusi SAA pada masa follow-up.
Skor ADD mempunyai AUC 0,8 untuk SAA. Skor ADD ≥2 mempunyai sensitivitas dan spesifisitas 55,7% (95% CI 48,3–63 %) dan 89,4% (95% CI 88-90,6 %). Untuk POCUS, sensitivitas dan spesifisitas keseluruhan adalah 44,3% dan 98,4% baik dengan tanda langsung maupun tak langsung.
D-dimer memiliki AUC 0,91 (95% CI 0,89–0,94) untuk SAA. Bila menggunakan 500 ng/mL sebagai batas, sensitivitas dan spesifisitas D-dimer adalah 96,5% (95% CI 93,5-99,5) dan 58,9% (95% CI 56,6–61,2). Bila menggunakan batas yang disesuaikan dengan usia, sensitivitasnya dan spesifisitas D-dimer adalah 95,1% (95% CI 9,6–98,6) dan 66,9% (95%CI 64,6–69,1).
Dari 398 pasien dengan iPTP tinggi (2 hilang dari follow-up dan 49 meninggal, dalam 30 hari), insiden SAA yang sesuai adalah 35% (95% CI 31–40%) bila menggunakan analisis intention to diagnose, dan 41% (95% CI 35–46%) bila menggunakan analisis per-protokol. Waktu median untuk menyimpulkan pencitraan SAA adalah 60 menit.
Pada 640 pasien dengan iPTP rendah dan D-dimer ≥500 ng/mL (1 hilang dari follow-up dan 12 orang meninggal, dalam 30 hari), insiden SAA yang sesuai adalah 6% (95% CI, 4-8%) bila menggunakan analisis intention-to-diagnose, dan 8% (95 % CI, 6–11%) bila menggunakan analisis per-protokol. Waktu median untuk menyimpulkan diagnosis SAA adalah 122 menit.
Pada 941 pasien dengan iPTP rendah dan D-dimer <500 ng/mL (1 hilang dari follow-up) tidak ada yang menderita SAA dan tidak ada yang meninggal dalam waktu 30 hari. Insiden SAA yang sesuai adalah 0% (95% CI, 0–0,41%) dengan menggunakan analisis intention-to diagnose dan 0% (95 % CI, 0–0,47%) menggunakan analisis per-protokol.
Kelebihan Penelitian
Penelitian ini adalah studi pertama yang mengevaluasi penerapan POCUS dikombinasi dengan penilaian klinis dan pemeriksaan D-dimer untuk eksklusi diagnosis SAA, yang dilakukan dengan jumlah sampel yang besar.
Protokol berasal dari hasil studi observasi sebelumnya di mana PTP didasarkan pada skor ADD saja atau data POCUS saja yang dianalisis secara retrospektif. Protokol ini meningkatkan triase pasien menuju ke pencitraan tingkat lanjut dan memungkinkan eksklusi diagnosis SAA yang aman dan efisien, yang selanjutnya dapat mengurangi risiko permintaan CTA yang tidak diperlukan.
Limitasi Penelitian
Penelitian ini tidak melakukan CTA pada semua pasien yang biasanya dilakukan dalam studi diagnostik emboli paru dan infark miokard. Oleh karena itu, penelitian ini mungkin meremehkan risiko bentuk SAA yang lebih ringan. Selain itu, POCUS memiliki akurasi yang lebih rendah untuk bentuk robekan atau hematoma intramural atau ulkus aorta tembus dan diseksi aorta tipe B. Risiko kesalahan diagnosis bisa lebih tinggi pada pasien dengan subtipe ini, sehingga pemindaian aorta abdominalis harus dilakukan untuk tambahan protokol POCUS.
Meskipun jumlah dokter yang terlibat banyak, penilaian POCUS tidak dicatat atau dievaluasi secara terpusat, sehingga membatasi kemampuan generalisasi. Selain itu, hasil pengujian D-dimer yang sebelumnya telah terbukti sedikit berbeda sensitivitas dan spesifisitasnya, yang dapat menyebabkan perbedaan dalam akurasi protokol.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Sindrom aorta akut (SAA) merupakan kegawatdaruratan medis yang memerlukan pertolongan segera. Bentuk yang paling umum adalah diseksi aorta, di mana jika tidak segera ditangani, sekitar 50% pasien akan meninggal dalam 48 jam. Modalitas yang tersedia untuk pencitraan definitif meliputi computerized tomography angiography (CTA), magnetic resonance imaging (MRI), transesophageal echocardiography (TEE) atau transthoracic echocardiography (TTE).
Pencitraan CTA saat ini menjadi modalitas yang utama, tetapi mungkin terkendala oleh ketersediaan sumber daya, waktu, dan biaya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa protokol sederhana yang mengintegrasikan POCUS dan kadar D-dimer dengan skor ADD bisa membantu rule-out SAA secara aman dan efisien, sehingga bisa mengurangi permintaan CTA yang tidak diperlukan. Hal ini mungkin bermanfaat di daerah di mana fasilitas pencitraan tingkat lanjut tidak tersedia.
Namun, untuk aplikasi yang baik, diperlukan pelatihan keterampilan dokter IGD untuk POCUS dan diperlukan pengaturan sistem pelayanan yang baik agar jangan sampai protokol ini justru memakan waktu yang lebih lama dari seharusnya.