Obat opioid, seperti methadone, sering digunakan dalam tata laksana nyeri pasien kanker. Methadone pada awalnya diperkenalkan sebagai analgesik, dan pada tahun 1960‒2000 methadone lebih lazim digunakan dalam program rehabilitasi opioid use disorder. Kemudian, dalam 20 tahun terakhir, methadone kembali dipergunakan sebagai analgesik.[1,2]
Methadone yang tersedia di pasaran saat ini tersedia dalam 2 bentuk, yaitu R-methadone dan S-methadone. R-methadone merupakan mu delta agonist, sedangkan S-methadone merupakan antagonis N-methyl-D-aspartate (NMDA), norepinefrin, dan serotonin reuptake inhibitor. Dengan adanya kedua bentuk tersebut, methadone tidak hanya dapat mengatasi nyeri neuropatik dengan lebih efektif, tetapi juga mengurangi potensi toleransi yang umum muncul pada jenis opioid lain.[1,2]
Kelebihan Methadone Secara Farmakologi
Secara farmakokinetik, methadone memiliki keuntungan karena tidak memiliki metabolit aktif, jarang menginduksi toleransi, serta minimal akumulasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Selain itu, harga methadone jauh lebih terjangkau dibandingkan opioid alami, sehingga dianggap cocok menjadi alternatif dalam manajemen nyeri kanker.[1,2]
Karena bersifat lipofilik, methadone dapat diberikan secara oral, rektal, maupun parenteral dan dapat diabsorpsi dengan baik. Methadone dimetabolisme di hati dan ginjal, untuk kemudian diekskresikan lewat urin dan feses.[1,2]
Methadone aman diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal karena dilaporkan tidak ada perubahan klirens obat. Namun, bioavailabilitas oral serta waktu paruh dilaporkan bervariasi antar pasien, sehingga berisiko menimbulkan efek samping dan delayed overdose.[1]
Pencegahan overdosis pada penggunaan methadone memerlukan titrasi dosis yang teliti serta pemberian dosis personal yang sesuai dengan kebutuhan opioid tiap pasien.[3]
Rekomendasi Dosis Methadone untuk Tata Laksana Nyeri pada Kanker
Protokol yang ada saat ini tidak menjelaskan secara memadai anjuran penggunaan methadone untuk tata laksana nyeri kanker. Berdasarkan critical literature review pada tahun 2021 yang mempelajari 24 uji klinis acak, rekomendasi methadone harian maksimal adalah 100 mg (3 dosis 30 mg atau 5 dosis 20 mg) untuk MEDD <500 mg (morphine equivalent daily dose). Dosis maksimal ini digunakan untuk penggunaan ad libitum (sesuai kebutuhan).[3]
Efikasi Methadone dalam Tata Laksana Nyeri pada Kanker
Tinjauan sistematis oleh Mercadante et al, pada tahun 2018, mencoba menganalisis bukti ilmiah yang tersedia tentang efikasi penggunaan methadone sebagai terapi lini pertama dalam manajemen nyeri pasien kanker. Mereka melakukan analisis pada 10 studi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.[4]
Hasil analisis dilaporkan tidak adekuat untuk menarik kesimpulan yang pasti. Namun, studi open label yang dianalisis menunjukkan potensi methadone sebagai terapi lini pertama nyeri kanker dengan efek analgesik dan profil efek samping yang tidak jauh berbeda dengan opioid lain. Mercadante et al menyatakan bahwa studi lebih lanjut masih diperlukan.[5]
Pada tahun 2021, tinjauan sistematis terhadap 40 uji klinis oleh Hanna et al menyimpulkan bahwa penggunaan methadone pada nyeri pascaprosedur dan nyeri terkait kanker mungkin tergantung pada prosedur dan jenis kanker. Efek samping yang dialami umumnya tidak berbeda dengan penggunaan morfin atau fentanil. Metadon juga berguna sebagai analgesik tambahan untuk kontrol nyeri yang adekuat, serta pada pasien dengan gangguan ginjal. Keunggulan methadone adalah biaya yang lebih rendah.[6]
Mercadante et al tahun 2022 melakukan studi untuk menilai efikasi dan efek samping methadone sebagai terapi lini pertama pada pasien dengan nyeri kanker. Studi ini melibatkan 82 pasien yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pasien naif opioid (kelompok L) yang mendapat metadhone dosis awal 6 mg/hari dan kelompok pasien yang sebelumnya telah mengonsumsi opioid lemah atau analgesik lainnya (kelompok-H) yang mendapat dosis awal methadone 9 mg/hari.[7]
Dosis metadon diubah sesuai dengan kebutuhan klinis untuk mendapatkan keseimbangan yang paling menguntungkan antara efek analgesik dan efek samping. Hasil studi menunjukkan methadone memberikan efek analgesik yang baik dengan efek samping yang terbatas dan toleransi yang diinduksi opioid minimal.[7]
Perbandingan Efikasi Methadone dan Morfin dalam Tata Laksana Nyeri pada Kanker
Sebuah randomized controlled trial (RCT) yang melibatkan 103 pasien kanker mencoba membandingkan efikasi dan tolerabilitas methadone dengan morfin dalam manajemen nyeri kanker. Dalam studi ini, morfin diberikan dalam dosis 15 mg sustained release setiap 12 jam dan 5 mg setiap 4 jam jika perlu. Sementara itu, methadone diberikan dalam dosis 7,5 mg setiap 12 jam dan 5 mg setiap 4 jam jika perlu. Durasi studi adalah 4 minggu.[4]
Hasil studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara pemberian morfin daripada methadone dalam menurunkan nyeri kanker. Pola peningkatan dosis opioid pada kedua kelompok juga serupa. Jumlah pasien yang melaporkan respons positif pada nyeri yang dirasakan setelah pemberian terapi juga relatif sama pada kedua kelompok.[4]
Namun, angka drop out pada kelompok yang mendapatkan methadone lebih tinggi signifikan dibanding kelompok yang mendapatkan morfin. Peneliti menyimpulkan bahwa methadone tidak superior terhadap morfin dalam tata laksana nyeri pasien kanker.[4]
Tingginya angka drop out pada kelompok yang mendapatkan terapi methadone menunjukkan kemungkinan efek toksik dari methadone yang lebih kuat dibandingkan dengan morfin. Pada studi ini, sebagian besar pasien yang drop out beralasan timbulnya efek samping kurang dari 8 hari setelah pemberian terapi.[4,8]
Risiko dan Kondisi yang perlu Diperhatikan ketika menggunakan Methadone
Methadone dimetabolisme utamanya oleh enzim cytochrome P450 tipe 1 yakni CYP3A4 dan CYP1A2 dimana kedua enzim ini dapat diinduksi maupun dihambat bila diberikan bersamaan dengan obat-obat tertentu.[1,3]
Beberapa obat dapat menurunkan kadar methadone dengan meningkatkan cytochrome P450 pathways seperti obat antiretroviral nevirapine dan ritonavir. Selain itu, obat lain yang dapat menurunkan kadar methadone adalah phenytoin, carbamazepine, risperidone, rifampicin, dan asam fusidat. Selain obat, konsumsi alkohol kronik serta merokok dapat menurunkan kadar methadone dalam serum.[1,3]
Ada pula obat yang dapat meningkatkan kadar methadone yakni ketoconazole, fluconazole, erythromycin, dan metronidazole. Pemberian obat ini bersamaan dengan methadone dapat memicu perpanjangan interval QT, aritmia, bahkan kematian. Sedangkan kombinasi methadone dengan benzodiazepine dapat menyebabkan depresi nafas.[3,9]
Selain dari interaksi obat yang luas, methadone juga berkaitan dengan efek samping kardiak yaitu pemanjangan interval QT yang bisa memicu Torsade de Pointes (TdP). Beberapa studi menyatakan <30% pasien yang mendapat terapi methadone berisiko pemanjangan interval QT, dengan korelasi positif antara durasi kemunculan kelainan dengan dosis methadone yang dikonsumsi. Studi juga menunjukkan kembalinya gambaran EKG pada pasien yang sudah tidak lagi menggunakan methadone.[2,9]
Akan tetapi, signifikansi dari potensi toksisitas kardiak ini masih dipertanyakan. Meskipun sudah ada beberapa studi yang membuktikan korelasi antara penggunaan methadone terhadap gangguan irama jantung, studi-studi tersebut tidak menunjukkan tingkat keparahannya. Rata-rata studi tersebut melaporkan pemanjangan interval QT kurang dari 40 ms yang tidak memiliki signifikansi klinis.[3,9]
Kesimpulan
Secara farmakologi, methadone memiliki kelebihan dibandingkan opioid lain karena tidak memiliki metabolit aktif, jarang menginduksi toleransi, serta relatif aman digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Selain itu, harga methadone juga lebih murah dibandingkan morfin ataupun fentanyl.
Beberapa studi telah menunjukkan potensi dari methadone dalam tata laksana nyeri pasien kanker. Namun, penelitian yang membandingkan methadone dengan morfin tidak menunjukkan superioritas methadone. Oleh karena itu, walaupun methadone berpotensi digunakan dalam manajemen nyeri kanker, masih dibutuhkan studi lebih lanjut untuk mengetahui efikasi, tolerabilitas, dan risiko jangka panjang.
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini