Pioglitazone selama ini telah digunakan untuk penatalaksanaan diabetes mellitus tipe 2. Namun, potensi obat ini untuk mencegah perkembangan diabetes mellitus tipe 2 pada orang yang memiliki faktor risiko dan orang pradiabetes juga mulai banyak dipelajari.
Pencegahan diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) dipandang sebagai hal penting karena penyakit ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan di seluruh dunia. Menurut International Diabetes Federation (IDF), jumlah pasien diabetes pada tahun 2019 mencapai 463 juta jiwa. Selain itu, sekitar 10% dari total pengeluaran (biaya) kesehatan global dilaporkan berasal dari kasus diabetes mellitus.[1-3]
Salah satu cara pencegahan primer DMT2 adalah dengan mengidentifikasi orang yang memiliki risiko tinggi DMT2, seperti orang dengan obesitas, orang pradiabetes, orang berusia lanjut, dan perempuan dengan riwayat diabetes gestasional. Setelah target diidentifikasi, intervensi preventif yang dilakukan dapat berupa modifikasi gaya hidup dan/atau pemberian obat antidiabetes tertentu.[4]
Efikasi Pioglitazone untuk Prevensi Diabetes Mellitus Tipe 2
Hingga saat ini, berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas pioglitazone dalam mencegah atau menunda perkembangan diabetes mellitus tipe 2 dan berbagai komplikasi yang terkait dengannya.
Studi oleh Bone et al
Bone et al melakukan uji klinis terhadap populasi perempuan post-menopause dengan pradiabetes. Partisipan dibagi menjadi grup plasebo dan grup intervensi. Partisipan grup intervensi menerima pioglitazone 30 mg/hari pada bulan pertama, lalu menerima pioglitazone 45 mg/hari pada bulan ke-2 hingga ke-12. Setelah itu, partisipan menjalani periode washout selama 6 bulan.
Luaran primer dari studi ini sebenarnya adalah efek samping pioglitazone terhadap densitas tulang. Namun, kontrol glikemik juga dipantau. Hasil studi ini menunjukkan bahwa penggunaan pioglitazone tidak berdampak negatif pada kepadatan tulang dan justru memperbaiki parameter glukosa darah secara signifikan. Hanya 1,3% partisipan dari grup intervensi akhirnya mengalami diabetes mellitus tipe 2. Persentase ini lebih rendah daripada partisipan dari grup plasebo (10,3%).[5]
Studi oleh Armato et al
Pada tahun 2018, Armato et al mempelajari populasi pradiabetes di Kalifornia, Amerika Serikat dan memberikan terapi preventif berdasarkan stratifikasi risiko DMT2. Grup dengan risiko tinggi diberikan terapi modifikasi gaya hidup, metformin, pioglitazone, dan agonis reseptor glucagon like peptide-1 (GLP-1).
Sementara itu, grup dengan risiko menengah diberikan terapi modifikasi gaya hidup, metformin, dan pioglitazone. Partisipan yang menolak terapi farmakologis dimasukkan ke dalam grup yang hanya menerima modifikasi gaya hidup. Semua partisipan diminta melakukan follow-up setiap 6 bulan dan tes toleransi glukosa oral diulang pada bulan ke-6, lalu diulang tiap 2 tahun setelahnya.
Dengan menggunakan diagnosis diabetes mellitus tipe 2 sebagai luaran, kombinasi metformin-pioglitazone-modifikasi gaya hidup (HR 0,29; 95% IC 0,11–0,78; p=0,0009) dan kombinasi modifikasi gaya hidup-metformin-pioglitazone-agonis reseptor GLP-1 (HR 0,12; 95% IC 0,02–0,94; p=0,04) dinyatakan memiliki efek preventif lebih baik daripada modifikasi gaya hidup saja.[6]
Studi oleh Ipsen et al
Suatu tinjauan sistematik di Cochrane mempelajari efikasi pioglitazone sebagai agen prevensi primer DMT2 pada populasi pradiabetes. Tinjauan ini melibatkan 27 uji acak klinis dengan total 4.186 partisipan.
Bila dibandingkan dengan metformin, insidensi DMT2 pada kelompok pioglitazone tidak berbeda bermakna. Insidensi DMT2 pada grup metformin adalah 9/163, sedangkan insidensi DMT2 pada grup pioglitazone adalah 9/168. Namun, bila grup pioglitazone dibandingkan dengan grup plasebo, insidensi DMT2 pada grup pioglitazone jauh lebih rendah (80/700 vs 131/695, RR 0,40; 95% IC 0,17–0,95; p=0,04).[7]
Efek Samping Pioglitazone
Hingga saat ini, efek samping pioglitazone bila digunakan sebagai agen prevensi primer DMT2 belum diketahui dengan pasti mengingat sedikitnya studi yang melaporkan efek samping pioglitazone sebagai agen pencegahan primer DMT2. Namun, beberapa studi telah melaporkan efek samping umum dari pioglitazone.[7]
Dalam penelitiannya, Attalah et al melaporkan bahwa efek samping pioglitazone umumnya ringan, yaitu edema ekstremitas inferior dan arthralgia. Bone et al juga melaporkan adanya edema perifer (11,5%), peningkatan berat badan (5,1%), dan gagal jantung kongestif (1,3%).[5,8]
Pada uji klinisnya, Armato et al melaporkan bahwa tidak ada kejadian hipoglikemia pada kelompok metformin-pioglitazone dan kelompok metformin-pioglitazone-agonis reseptor GLP-1. Insidensi edema hanya 1% pada semua kelompok yang mendapat pioglitazone dan hal tersebut adalah edema ringan. Selain itu, peningkatan berat badan dilaporkan stabil pada kelompok yang menerima metformin-pioglitazone.[6]
Kandidat Terapi Preventif Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Pioglitazone
Saat ini, studi terkait target populasi spesifik yang akan menerima manfaat paling baik dari terapi preventif DMT2 dengan pioglitazone masih terbatas. Namun, kandidat diperkirakan dapat berupa pasien dengan kondisi pradiabetes, baik dengan gangguan toleransi glukosa maupun gangguan glukosa darah puasa.
Pasien yang mengalami intoleransi metformin juga dapat menjadi kandidat utama untuk terapi ini. Namun, harus digarisbawahi bahwa salah satu efek samping pioglitazone adalah gagal jantung kongestif, sehingga orang dengan riwayat gangguan jantung sebaiknya tidak menjadi kandidat dari terapi tersebut.[7,8]
Kesimpulan
Mengingat dampak dari diabetes mellitus 2 yang sangat ekstensif, pencegahan DMT2 menjadi sangat penting untuk dilakukan, terutama pada populasi yang berisiko dan pada orang pradiabetes. Studi menunjukkan bahwa pioglitazone dapat menjadi salah satu alternatif prevensi DMT2 karena obat ini bisa mencegah atau menunda diabetes mellitus tipe 2.
Uji klinis berskala lebih besar yang mempelajari efek samping obat ini bila digunakan sebagai prevensi primer DMT2 masih diperlukan. Saat ini, data efek samping yang ada masih cukup terbatas, yakni adanya edema, peningkatan berat badan, dan gagal jantung kongestif. Hal ini membuat pemberian pioglitazone sebagai pencegahan primer sebaiknya dihindari pada orang dengan riwayat gangguan jantung.