Alo Dr.dr. Nova Riyanti yusuf, Sp.KJ.Saya mau tanya mengenai sudut pandang dokter apakah ada kaitannya antara penggunaan sosial media saat ini dengan...
Media Sosial apakah memiliki peran dalam kejadian bunuh diri -Jiwa Ask the Expert - Diskusi Dokter
general_alomedikaDiskusi Dokter
- Kembali ke komunitas
Media Sosial apakah memiliki peran dalam kejadian bunuh diri -Jiwa Ask the Expert
Alo Dr.dr. Nova Riyanti yusuf, Sp.KJ.
Saya mau tanya mengenai sudut pandang dokter apakah ada kaitannya antara penggunaan sosial media saat ini dengan kejadian bunuh diri? Bila iya bagaimana ya dokter regulasi atau saran dari dokter untuk penggunaan sosial media yg dapat kami anjurkan ke pasien kami?
Terima kasih,
Alodokter,
Bisa sekali ada kaitan antara penggunaan media sosial dengan tindakan bunuh diri. Namun kaitan semacam apa? Pernah ada kasus di media sosial Facebook, almarhum mengancam bunuh diri, tetapi tidak ada yang benar-benar datang membantu ke rumahnya. Tidak ada semacam 911 yang hadir ke kediaman almarhum. Artinya, almarhum terbiarkan sehingga semakin merasa bahwa tidak ada yang peduli dirinya sama sekali dan ancamannya ia realisasikan menjadi sebuah tindakan bunuh diri.
Hal ini harus kita lihat dari 2 hal: 1. Apakah masyarakat yang melihat "ignorant" atau justru karena tidak paham sama sekali harus telfon ke HOTLINE apa saat ia menjadi saksi sebuah percobaan bunuh diri? 2. Apakah regulasi media sosial begitu longgarnya sehingga hal-hal semacam percobaan bunuh diri dapat ditampilkan secara LIVE tanpa ada filter pencegah? Khusus pada FB, sebenarnya sudah ada bahkan ada yang menggunakan teknologi AI. Tetapi waktu itu percobaan bunuh diri itu tetap bisa tertayangkan sampai akhirnya terjadi. Fitur pencegahan bunuh diri yang tersedia di FB selama 1 dekade lebih membangun kolaborasi diantaranya dengan National Suicide Prevention Lifeline. Kebetulan Indonesia tidak punya, dulu sempat ada 500-454, tetapi kemudian tidak ada. Namun ada aplikasi-aplikasi seperti Sehat Jiwa yang bisa memberikan Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikosial (DKJPS) atau minimal mendapatkan Psychological First Aid. Namun kadang aplikasi yang gratis, bermasalah dengan jumlah pakar yang standby, maka bisa menggunakan aplikasi-aplikasi lain dari swasta.
Saran yang bisa dilakukan oleh dokter adalah tergantung kelompok usia yang ditangani. Pada kelompok usia 10-20 tahun, maka penting sekali memahami fenomena-fenomena yang dapat terjadi akibat media sosial. Orangtua berperan penting dalam mengatasi penggunaan media sosial sang anak. Banyak hal positif yang dapat didapatkan dari internet dan media sosial pada khususnya, tetapi juga banyak hal negatif lainnya. Misalnya, standar kecantikan dan keindahan tubuh yang terbentuk di instagram, yang menjadi preokupasi foto ideal di publik. Miskonsepsi tentang tampilan fisik tersebut dapat menyebabkan low self-esteem dan Border Dysmorphic Tendencies. Seseorang pun kerap menggunakan filter untuk memenuhi standar semu itu dan akan mencari approval melalui jumlah like terhadap fotonya dan komemtar-komentar pujian. Mencari validasi. Namun saat dia harus ke dunia nyata dan teman-teman melihat diri aslinya yang berbeda TANPA filter seperti di media sosial, sangat mungkin timbul masalah baru karena dikomentari "kok beda sama di foto-foto medsos".
Di sini peran orangtua krusial sekali karena apabila remaja mengalami Body Dysmorphic Disorder (gangguan jiwa yang ditandai dengan ide obsesif bahwa aspek dari salah 1 bagian tubuh atau penampilan tidak sempurna sehingga menyebabkan upaya menyembunyikan/memperbaikinya) maka sang remaja tersebut mempunyai ide bunuh diri dan percobaan bunuh diri yang 2-12x lebih tinggi dari populasi umum.
Dokter perlu memahami Literasi Digital, begitu juga dengan orangtua. Memang jamannya seperti ini, maka kita perkaya diri kita sebagai dokter dengan pemahaman-pemahaman terkait Body Dysmorphic Disorder, fenomena selfitis, dan lain-lain.
Salam Sehat Jiwa.
Ralat pesan saya sebelumnya:
Bukan "Border" tetapi "Body Dysmorphic Tendencies".
Terima kasih.