Beberapa studi menunjukkan bahwa metformin dapat menurunkan risiko kanker pada pasien diabetes mellitus. Diabetes mellitus diketahui tidak hanya meningkatkan risiko komplikasi kardiovaskular, tetapi juga risiko keganasan, terutama kanker pankreas, kanker kolon, dan karsinoma hepatoselular. Namun, belum diketahui secara jelas mekanisme metformin dalam melawan kemunculan berbagai kanker tersebut.[1]
Korelasi Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Timbulnya Kanker
Prevalensi diabetes mellitus (DM) semakin meningkat secara global. Sudah banyak dilaporkan bahwa pasien dengan DM mengalami peningkatan risiko kanker jika dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki DM. Sebuah studi kohort berbasis populasi pada tahun 2017 menunjukkan peningkatan risiko kanker sebanyak 1,22 kali.[2]
Diabetes diduga dapat menyebabkan kanker karena pengaruh resistensi insulin, efek hiperinsulinemia terhadap hormon lain, pengaruh hiperglikemia, dan peningkatan sitokin proinflamasi.
Resistensi Insulin
Resistensi insulin menyebabkan peningkatan kadar insulin plasma dan insulin like growth factor (ILGF) yang dapat berikatan dengan reseptor dan mengaktivasi jalur phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K)/Akt dan mitogen-activated protein kinase (MAPK) yang memicu proliferasi sel, tak terkecuali sel tumor.[3]
Efek Hiperinsulinemia terhadap Hormon Lain
Hiperinsulinemia menyebabkan penurunan sintesis hepatik dan kadar plasma dari sex hormone-binding globulin, sehingga meningkatkan kadar estrogen dan testosteron. Selain itu, hiperinsulinemia juga meningkatkan sintesis androgen di ovarium dan kelenjar adrenal. Peningkatan kadar hormon ini dapat mempengaruhi risiko kanker payudara dan endometrium.[4]
Hiperglikemia
Banyak kanker bergantung pada glikolisis untuk memperoleh energi, sehingga meningkatkan kebutuhan glukosa untuk memproduksi ATP. Pada pasien diabetes mellitus, hiperglikemia diduga memfasilitasi proliferasi sel kanker.[4]
Sitokin Proinflamasi
Pada pasien dengan diabetes mellitus, terutama yang disertai obesitas, ditemukan bahwa sel adiposa meningkatkan ekspresi sitokin proinflamasi seperti interleukin 6, monocyte chemoattractant protein, plasminogen activator inhibitor 1, adiponektin, leptin, dan tumor nekrosis faktor. Kesemuanya diduga berperan dalam meregulasi progresi sel maligna.[4]
Kerja Metformin pada Sel Kanker
Beberapa jurnal dan publikasi menjelaskan terdapat hubungan antara terapi hipoglikemia dengan kanker. Beberapa hasil studi menunjukan bahwa penggunaan metformin berhubungan dengan penghambatan dari pertumbuhan dan proliferasi sel kanker, serta penurunan insidensi kanker dibandingkan dengan penggunaan obat anti diabetes lainnya. Studi in vivo maupun in vitro menunjukan bahwa metformin memiliki efek anti tumor secara langsung yaitu dengan menekan proliferasi tumor dan memicu timbulnya apoptosis, autofagi, dan berhentinya siklus sel.[1,3,5-7]
Jalur Insulin Growth Factor
Diketahui bahwa efek sistemik dari metformin menghasilkan reduksi kadar insulin dan insulin-like growth factor (ILGF) yang berhubungan dengan aksi antikanker. ILGF bukan hanya bekerja dalam regulasi pengambilan glukosa, melainkan juga pada karsinogenesis melalui jalur pensinyalan reseptor insulin/ILGF.
Konsumsi makanan yang berlebihan akan memicu peningkatan produksi ILGF oleh hati. Melalui insulin receptor substrate, sinyal akan ditransmisikan ke phosphoinositide 3-kinase (PI3K) dan protein kinase B (PKB) yang secara tidak langsung akan mengaktifkan mammalian target of rapamycin complex 1 (mTORC1) yang mengontrol sintesis protein.
Reseptor insulin melalui growth factor receptor-bound protein (GRB2) juga akan memicu sinyal dari jalur Ras/Raf/ERK yang memicu pertumbuhan sel. Penelitian menunjukan bahwa jalur ini memegang peranan penting pada perubahan metabolisme seluler yang menjadi ciri dari sel tumor.
Metformin diketahui memiliki kemampuan untuk menurunkan kadar insulin, menghambat jalur pensinyalan insulin/ILGF dan memodifikasi metabolisme seluler pada sel normal atau kanker. Penghambatan metformin pada jalur ini, dapat terlihat pada sel kanker pankreas.[1,3,6]
Jalur Persinyalan AMPK
Penelitian menunjukan bahwa inhibisi jalur mTORC1 oleh metformin terjadi pada aktivasi dari adenosine monophosphate activated protein kinase (AMPK) yang akan memfosforilasi tuberous sclerosis complex protein 2 (TSC2) yang menghambat mTORC1, sehingga terjadi penurunan sintesis protein dan pertumbuhan sel.[1,3,6]
Penghambatan Metabolisme
Metformin juga dilaporkan menghambat keganasan dengan cara mensupresi produksi mitochondrial –dependent metabolic intermediate yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel. Secara in vitro, metformin menurunkan glucose – dan glutamine-derived metabolic intermediates ke dalam siklus asam trikarboksilat, sehingga menyebabkan penurunan produksi sitrat dan biosintesis lipid.[8]
Metformin dan Tata laksana Kanker
Metformin diduga berperan dalam tata laksana kanker dengan menurunkan insidensi kanker pada pasien diabetes, serta meningkatkan kesintasan pasien jika digunakan sebagai terapi adjuvan.
Metformin Menurunkan Insidensi Kanker
Metformin memang biasa digunakan oleh pasien diabetes mellitus tipe 2 untuk mencegah terjadinya komplikasi makrovaskular.
Namun, hasil dari berbagai studi epidemiologi mengindikasikan bahwa pasien diabetes mellitus yang mendapatkan terapi metformin memiliki risiko kanker lebih rendah dibandingkan yang mendapat obat antidiabetik lainnya. Hasil observasi ini juga didukung dengan beberapa hasil meta-analisis yang mengkonfirmasi bahwa metformin mengurangi insidensi kanker sebesar 30-50%.
Beberapa penelitian yang mengamati pasien diabetes mellitus yang diberikan sulfonilurea atau insulin menunjukkan adanya peningkatan risiko kematian karena kanker dibandingkan dengan yang diberikan metformin.[1,3]
Sebuah studi pada tahun 2021 menunjukkan bahwa metformin berhubungan dengan penurunan risiko, serta peningkatan kesintasan pada kanker paru. Sedangkan sebuah meta-analisis di tahun 2020 menyatakan metformin merupakan faktor protektif independent terhadap risiko kanker pada pasien diabetes melitus tipe 2.[9,10]
Metformin Sebagai Terapi Adjuvan Kanker
Sebuah uji klinis tersamar ganda di Belanda melibatkan 121 pasien kanker pankreas yang mendapatkan tata laksana gemcitabine dan erlotinib. Pasien diacak dengan perbandingan 1:1 untuk mendapatkan terapi adjuvan berupa metformin atau plasebo. Hasil studi menunjukkan bahwa metformin dalam dosis tata laksana diabetes tidak berpengaruh pada luaran pasien kanker pankreas.[11]
Berbeda dengan hasil tersebut, sebuah tinjauan sistematik pada tahun 2015, menyimpulkan bahwa penggunaan metformin pada pasien karsinoma sel skuamosa kepala-leher dapat meningkatkan kesintasan. Persentase 5-year overall survival pada kelompok yang menerima metformin lebih tinggi signifikan dibanding kelompok tanpa metformin, yaitu 87% dan 41% (p= 0,04).[12]
Hasil ini didukung oleh tinjauan sistematik yang lebih baru, dimana disimpulkan bahwa penggunaan metformin dapat meningkatkan kesintasan dan progression-free survival pada kanker endometrium. Namun, studi lebih lanjut masih dibutuhkan untuk mengetahui efektivitas metformin dalam tata laksana kanker.[13]
Kesimpulan
Pasien diabetes mellitus memiliki risiko terkena kanker lebih tinggi dibandingkan populasi tanpa diabetes. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya resistensi insulin, pengaruh hiperinsulinemia terhadap hormon lain, hiperglikemia yang memfasilitasi progresi sel kanker, dan peningkatan ekspresi sitokin proinflamasi.
Penggunaan metformin dilaporkan dapat menurunkan risiko kanker pada pasien diabetes mellitus dan meningkatkan kesintasan dibandingkan obat antidiabetik lainnya.
Hasil studi terkait penggunaan metformin sebagai terapi adjuvan kanker masih berbeda-beda tergantung pada jenis kanker yang terlibat. Sebuah studi menunjukkan bahwa metformin tidak berpengaruh pada luaran pasien kanker pankreas.
Namun, studi lainnya menunjukkan bahwa metformin meningkatkan kesintasan pada pasien karsinoma sel skuamosa kepala-leher, kanker endometrium, dan kanker paru. Studi lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui secara detail efektivitas metformin dalam tata laksana berbagai jenis kanker.
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra