Obati Pasangan Pasien untuk Mencegah Bakterial Vaginosis Berulang – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr. Vania Azalia Gunawan

Male-Partner Treatment to Prevent Recurrence of Bacterial Vaginosis

Vodstrcil LA, Plummer EL, Fairley CK, et al. N Engl J Med. 2025 Mar 6;392(10):947-957. doi: 10.1056/NEJMoa2405404.

studiberkelas

Abstrak

Latar Belakang: Bakterial Vaginosis atau BV memengaruhi sekitar satu dari tiga wanita usia produktif, dengan kekambuhan yang sering terjadi. Bukti adanya perpindahan organisme terkait BV antar pasangan seksual mengindikasikan bahwa pengobatan terhadap pasangan pria berpotensi meningkatkan tingkat kesembuhan.

Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak, terbuka, dan terkontrol pada pasangan monogami yang wanitanya di diagnosis dengan bakterial vaginosis.

Pada kelompok pengobatan pasangan, diberikan terapi antimikroba lini pertama untuk wanita dan metronidazol oral 400 mg serta krim klindamisin 2% yang dioleskan pada kulit penis, masing-masing 2 kali sehari selama 7 hari untuk pasangan pria. Pada kelompok kontrol, wanita menerima terapi lini pertama tanpa pengobatan pada pasangan pria. Hasil utama yang dinilai adalah kekambuhan BV dalam 12 minggu.

Hasil: Sebanyak 81 pasangan masuk ke dalam kelompok pengobatan pasangan, dan 83 pasangan dalam kelompok kontrol. Uji klinis ini dihentikan oleh dewan pemantau data dan keselamatan setelah 150 pasangan menyelesaikan periode tindak lanjut 12 minggu, karena hasil menunjukkan bahwa pengobatan hanya pada wanita kurang efektif dibandingkan pengobatan pasangan secara bersamaan.

Pada populasi modified intention-to-treat, kekambuhan terjadi pada 24 dari 69 wanita (35%) di kelompok pengobatan pasangan (tingkat kekambuhan 1,6 per orang/tahun) dan pada 43 dari 68 wanita (63%) di kelompok kontrol (tingkat kekambuhan 4,2 per orang/tahun), yang setara dengan perbedaan risiko absolut sebesar -2,6 kekambuhan per orang/tahun.

Efek samping pada pria yang diobati termasuk mual, nyeri kepala, dan rasa logam di mulut.

Kesimpulan: Penambahan terapi antimikroba oral dan topikal pada pasangan pria terhadap pengobatan BV pada wanita terbukti menghasilkan tingkat kekambuhan yang lebih rendah dalam 12 minggu dibandingkan perawatan standar.

Obati Pasangan Pasien

Ulasan Alomedika

Bakterial vaginosis atau BV adalah disbiosis mikrobiota vagina yang dialami oleh sepertiga wanita usia produktif di seluruh dunia. Tingkat kekambuhan BV tetap tinggi, yaitu mencapai angka lebih dari 50% dalam tiga bulan setelah terapi lini pertama dengan metronidazol atau klindamisin meskipun terapi ini dapat meredakan gejala akut.

Selama ini, terapi hanya berfokus pada wanita karena pengobatan pasangan pria dianggap tidak efektif. Namun, dilakukan studi yang menghasilkan pasangan pria bisa menjadi reservoir bakteri penyebab BV, dan mengobatinya dengan  antimikroba oral dan topikal secara signifikan menurunkan kekambuhan BV pada wanita. Temuan ini mengusulkan perubahan pendekatan terapi dari individu ke pasangan.

Ulasan Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan uji klinis acak terbuka (open-label RCT) yang melibatkan pasangan heteroseksual monogami yang tetap selama minimal 8 minggu di Australia, dengan wanita pramenopause yang terdiagnosis bakterial vaginosis (BV) berdasarkan kriteria Amsel dan skor Nugent. Peserta minimal berusia 18 tahun, tidak terinfeksi HIV serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap terapi antimikroba.

Pada kelompok intervensi, wanita yang memenuhi kriteria menerima terapi lini pertama dan pasangan pria mendapatkan terapi antimikroba kombinasi berupa metronidazol oral 400 mg dan klindamisin krim 2% yang dioleskan pada penis, masing-masing 2 kali sehari selama 7 hari. Sementara, kelompok kontrol hanya menerima terapi standar pada wanita tanpa pengobatan untuk pasangan pria.

Penilaian dilakukan pada minggu ke-4 dan ke-12, serta pada hari ke-8 dan minggu ke-8 di rumah. Skor Nugent, clue cells, dan hasil tes amina dinilai oleh mikroskopis yang tidak mengetahui kelompok intervensi. Jika skor Nugent kurang dari 4 pada awal penelitian, wanita dianggap gagal dalam proses skrining dan tidak dimasukkan dalam analisis.

Tidak adanya metode blinding, di mana baik peneliti maupun peserta mengetahui kelompok intervensi, berpotensi menimbulkan bias, terutama terkait pelaporan gejala dan hasil pengobatan. Selain itu, penelitian tidak mencakup faktor sosial-ekonomi dan lingkungan yang mungkin memengaruhi angka kekambuhan BV.

Ulasan Hasil Penelitian

Penelitian ini mengevaluasi efektivitas terapi antimikroba pada pasangan pria dalam menurunkan kekambuhan bakterial vaginosis (BV) pada wanita. Sebanyak 164 pasangan monogami berpartisipasi, dengan 81 pasangan masuk dalam kelompok perawatan pasangan (partner-treatment group) dan 83 pasangan dalam kelompok kontrol (control group).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekambuhan BV dalam 12 minggu lebih rendah pada kelompok perawatan pasangan (35%) dibandingkan kelompok kontrol (63%). Terapi antimikroba kombinasi metronidazole oral dan klindamisin topikal pada pria terbukti menurunkan angka kekambuhan, mengindikasikan bahwa pasangan pria berpotensi menjadi reservoir patogen penyebab BV.

Tidak adanya metode blinding meningkatkan risiko bias, dan pasangan pria di kelompok kontrol tidak diberikan plasebo topikal, sehingga potensi efek plasebo atau faktor psikologis tidak dapat diukur secara memadai. Ketiadaan plasebo pada kelompok kontrol pria menyulitkan evaluasi terhadap efek antimikroba secara murni, karena faktor psikologis bisa memengaruhi persepsi efektivitas pengobatan.

Meskipun penelitian menyebutkan pentingnya kepatuhan, sekitar 14% pria di kelompok perawatan pasangan tidak mencapai 70% kepatuhan, khususnya pada penggunaan klindamisin. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas pengobatan mungkin dapat lebih optimal jika kepatuhan terhadap terapi bisa ditingkatkan.

Kelebihan Penelitian

Penelitian ini memiliki metodologi yang kuat dengan desain uji acak terkontrol, yang mampu mengevaluasi efektivitas pengobatan secara lebih akurat. Populasi studi mewakili kelompok risiko tinggi yang sering ditemukan dalam praktik klinis, seperti wanita dengan riwayat kekambuhan BV, pasangan pria yang tidak disunat, dan penggunaan alat kontrasepsi IUD.

Intervensi dengan kombinasi metronidazol oral dan krim klindamisin topikal pada pria secara mikrobiologis lebih rasional karena menargetkan bakteri penyebab BV secara sistemik maupun lokal. Pemantauan ketat terhadap kepatuhan pengobatan melalui kuesioner, tindak lanjut terstruktur, serta penggunaan kriteria Amsel dan skor Nugent sebagai standar diagnosis, meningkatkan validitas hasil penelitian ini.

Berbeda dengan studi sebelumnya yang cenderung memiliki desain suboptimal, penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi pada pasangan pria mampu secara signifikan menurunkan angka kekambuhan BV. Hasil ini memperkuat bukti ilmiah mengenai pentingnya pengobatan pasangan pria dalam mengatasi BV berulang.

Limitasi Penelitian

Meski dirancang dengan ketat, studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, desain open-label dalam penelitian ini memungkinkan terjadinya bias persepsi dan pelaporan efek samping karena peserta dan klinisi mengetahui alokasi kelompok. Namun demikian, penilaian terhadap luaran utama dilakukan secara blind oleh staf laboratorium dan mikroskopis untuk menjaga objektivitas hasil analisis.

Kedua, sebagian besar partisipan direkrut dari pusat layanan kesehatan seksual di Australia, yang kemungkinan tidak mencerminkan populasi umum. Peserta dari pusat kesehatan seksual umumnya mewakili populasi dengan risiko lebih tinggi, yang dapat memengaruhi generalisasi temuan penelitian.

Ketiga, studi dihentikan lebih awal setelah analisis interim menunjukkan inferioritas dari terapi standar dengan durasi follow-up yang relatif pendek, yaitu hanya 12 minggu. Meskipun etis, tetapi membatasi kekuatan generalisasi jangka panjang. Mengingat BV memiliki risiko kekambuhan yang tinggi dalam jangka panjang, durasi studi yang lebih lama diperlukan untuk menilai keberlanjutan efek terapi.

Keempat, populasi studi dibatasi hanya pada pasangan heteroseksual monogami, sehingga temuan belum tentu berlaku bagi pasangan non-monogami atau hubungan sesama jenis.

Terakhir, penelitian ini tidak mengeksplorasi potensi resistensi antimikroba akibat penggunaan terapi jangka panjang pada pasangan pria. Ini menjadi kekurangan penting, mengingat resistensi antibiotik merupakan salah satu masalah utama dalam terapi infeksi bakteri. Tidak adanya pembanding plasebo topikal dan keterbatasan pelaporan efek samping pada kelompok kontrol pria juga dapat menjadi bias.

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Bakterial vaginosis (BV) merupakan gangguan keseimbangan flora normal vagina, yang sering dialami wanita usia reproduktif di Indonesia. BV memiliki kecenderungan tinggi untuk kambuh (rekurensi), bahkan setelah terapi antibiotik yang tepat. Saat ini, pedoman nasional dan rekomendasi Persatuan Dokter Spesialis Kulit Kelamin Indonesia (PERDOSKI) tidak merekomendasikan terapi rutin pada pasangan seksual pria, baik untuk kasus BV biasa maupun berulang.

Hal ini karena sebelumnya tidak ada bukti kuat yang mendukung bahwa pengobatan pasangan pria dapat menurunkan angka kekambuhan BV pada wanita. Meskipun pemberian terapi pada pasangan pria belum menjadi bagian dari pedoman nasional, temuan yang didapatkan pada penelitian terbaru ini dapat menjadi landasan untuk menyusun panduan klinis baru yang lebih komprehensif.

Terapi kombinasi yang relatif murah dan aman ini dapat menjadi solusi praktis dalam menurunkan beban BV berulang di fasilitas kesehatan primer. Terapi ini harus diiringi dengan edukasi yang tepat, konseling pasangan, dan perubahan perilaku seksual untuk menurunkan risiko kekambuhan.

Referensi