Saat ini pemberian probiotik mulai dipertimbangkan untuk terapi bacterial vaginosis atau BV. Probiotik juga diperkirakan dapat mengurangi risiko rekurensi bacterial vaginosis bila dipadukan dengan terapi antibiotik, yang selama ini masih menunjukkan angka rekurensi bacterial vaginosis yang cukup tinggi.
Bacterial vaginosis (BV) merupakan penyakit infeksi vagina yang menyerang wanita usia reproduktif (termasuk ibu hamil) dengan prevalensi mencapai 19–24%. BV terjadi akibat ketidakseimbangan mikroba dalam vagina, yaitu ketika flora normal Lactobacillus digantikan oleh bakteri anaerobik seperti Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis, Prevotella, dan Streptococcus.[1-3]
Pasien dikatakan mengalami BV jika memenuhi kriteria Amsel, yaitu pH vagina >4,5, mengalami keputihan berwarna putih-keabuan, keputihan berbau amis (fishy odor) jika ditambahkan larutan KOH 10%, dan adanya clue cells pada sediaan NaCl 0,9%.[1-3]
Sampai saat ini, tata laksana bacterial vaginosis yang umum diberikan adalah antibiotik berupa metronidazole atau clindamycin. Antibiotik ini bisa diberikan secara oral ataupun intravaginal. Namun, kedua obat ini kadang tidak mampu mencegah rekurensi BV. Sekitar 30% wanita mengalami relapse dalam waktu 1 bulan setelah terapi, terutama pasien yang menggunakan terapi intravaginal. Oleh karena itu, alternatif terapi untuk membantu penanganan dan pencegahan rekurensi BV diperlukan.[1-3]
Manfaat Probiotik
Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang bila dikonsumsi dalam jumlah yang sesuai dapat bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Ketika masuk ke dalam tubuh, probiotik dapat menjaga kondisi psikokimiawi saluran cerna.
Beberapa spesies yang digunakan sebagai produk probiotik adalah bakteri penghasil asam laktat seperti Lactobacillus, Bifidobacterium, dan Streptococcus, serta bakteri penghasil non-asam laktat seperti Bacillus dan Propionibacterium. Jamur non-patogen seperti Saccharomyces juga dapat digunakan dalam probiotik.
Manfaat probiotik bagi kesehatan yang sudah banyak diteliti adalah untuk penanganan diare, penanganan intoleransi laktosa, pengurangan infeksi saluran pernapasan dan saluran kemih, serta antikarsinogenik. Selain itu, bakteri penghasil asam laktat adalah mikroorganisme penjaga kondisi vagina, sehingga diduga bermanfaat dalam menjaga kesehatan saluran reproduksi.[3]
Rasionalisasi Pemberian Probiotik pada Kasus Bacterial Vaginosis
Berbagai studi membuktikan bahwa rendahnya jumlah Lactobacillus vaginal berkaitan dengan kejadian BV. Penelitian Alvarez-Olmos, et al. menemukan ada korelasi negatif antara keberadaan Lactobacillus vagina dan angka kejadian BV pada wanita berusia 14–18 tahun. Korelasi negatif berarti bahwa salah satu variabel akan meningkat ketika variabel yang lain berkurang.[4]
Probiotik bekerja dengan cara menghambat pembentukan dan penempelan bakteri penyebab BV. Probiotik dapat memproduksi hidrogen peroksida (H2O2), asam laktat, dan bakteriosin yang bersifat toksik bagi bakteri patogen. Produk-produk ini dapat menjaga keasaman pH vagina, sehingga bakteri patogen sulit berkembang biak.[5,6]
Selain itu, probiotik (terutama Lactobacillus) dapat menghambat penempelan bakteri Gardnerella vaginalis ke epitelium vagina. Probiotik juga dinilai dapat menurunkan inflamasi vagina dan meningkatkan imunitas daerah vagina.[5,6]
Penggunaan probiotik dapat diberikan secara oral maupun intravaginal. Probiotik oral berbentuk kapsul atau makanan prebiotik, seperti yoghurt dan skim milk. Probiotik intravaginal tersedia dalam bentuk tablet, kapsul vagina, dan douche.[3]
Bukti Klinis tentang Efektif Tidaknya Probiotik untuk Terapi Bacterial Vaginosis
Terapi antibiotik pada kasus infeksi urogenital tidak selalu efektif karena ada resistensi mikroba dan infeksi yang berulang. Infeksi berulang terjadi karena hilangnya bakteri komensal pada vagina, yang digantikan oleh bakteri-bakteri patogen. Hal inilah yang menjadi alasan penggunaan probiotik untuk mengembalikan kondisi normal vagina. Namun, sampai saat ini, probiotik belum masuk ke dalam rekomendasi tata laksana BV.
Tinjauan oleh Mastromarino, et al
Mastromarino, et al. meninjau uji-uji klinis yang membandingkan efektivitas probiotik dan plasebo. Mayoritas uji klinis menunjukkan angka kesembuhan bacterial vaginosis yang lebih tinggi pada grup pasien yang mendapatkan probiotik daripada plasebo.[6]
Lima uji klinis acak terkontrol juga membandingkan efektivitas probiotik yang diberikan setelah terapi antibiotik konvensional dan efektivitas terapi antibiotik konvensional yang hanya diikuti dengan pemberian plasebo. Hasil menunjukkan angka kesembuhan BV lebih baik setelah terapi kombinasi antibiotik-probiotik daripada terapi antibiotik dan plasebo saja.[6]
Tidak ada efek samping yang terjadi selama pemberian probiotik. Namun, uji-uji klinis yang dianalisis memiliki variasi spesies bakteri, dosis probiotik, rute pemberian, durasi terapi, dan populasi studi. Oleh karena itu, uji klinis lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan metodologi yang lebih terstandar masih diperlukan.[6]
Studi oleh Hecko, et al
Uji klinis acak terkontrol juga dilakukan oleh Hecko, et al. terhadap 578 pasien untuk melihat efektivitas antibiotik standar yang dikombinasikan dengan probiotik oral untuk penanganan dan penurunan angka rekurensi bacterial vaginosis.[7]
Pemberian probiotik dilakukan dua kali sehari selama 10 hari pertama dan sekali sehari selama 10 hari di masa perimenstruasi. Hasil menunjukkan bahwa waktu rata-rata sampai relapse terjadi lagi terhitung lebih lama pada grup probiotik (71,4 hari) daripada grup kontrol (47,3 hari). Durasi remisi tersebut sekitar 51% lebih panjang.[7]
Ada perbedaan pH vagina yang bermakna antara grup probiotik dan grup kontrol, yaitu perbedaan sekitar -0,03. Tidak ada efek samping yang bermakna selama penelitian. Uji klinis ini telah melakukan double blinding, randomisasi, dan analisis intention-to-treat. Namun, uji klinis ini dibiayai oleh perusahaan farmasi, sehingga ada kemungkinan konflik kepentingan.[7]
Meta Analisis oleh Huang, et al
Meta analisis Huang, et al. mempelajari 12 uji acak klinis dengan total 1.304 pasien untuk menilai efektivitas probiotik untuk terapi bacterial vaginosis. Hasil menunjukkan bahwa probiotik dapat meningkatkan angka kesembuhan BV hingga 1,53 kali lebih tinggi daripada terapi antibiotik saja. Angka tersebut adalah angka rata-rata.[8]
Meta analisis ini juga menemukan bahwa pemberian probiotik oral memiliki angka keberhasilan lebih tinggi daripada probiotik intravaginal (1,99 kali vs 1,43 kali lebih tinggi bila keduanya dibandingkan dengan grup kontrol). Meta analisis ini juga tidak menemukan efek samping probiotik. Namun, meta analisis ini masih memiliki berbagai keterbatasan. Uji-uji klinis yang dianalisis masih sangat heterogen dan ada banyak confounding factors tidak dikendalikan.[8]
Kesimpulan
Probiotik berfungsi menjaga stabilitas flora normal vagina dan menjaga keasaman pH vagina. Bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa probiotik oral maupun intravaginal yang dikombinasikan dengan terapi antibiotik konvensional dapat meningkatkan angka kesembuhan bacterial vaginosis dan memperlambat terjadinya relapse. Tidak ada efek samping yang bermakna selama penggunaan probiotik.
Namun, penelitian yang ada masih memiliki berbagai keterbatasan dan memiliki tingkat heterogenitas yang sangat tinggi, baik dalam hal spesies probiotik yang digunakan, dosis probiotik, cara pemberian probiotik, maupun durasi pemberian probiotik.
Sejauh ini, belum ada laporan mengenai munculnya efek samping akibat penggunaan probiotik oral maupun vagina. Oleh karena itu, probiotik dapat menjadi salah satu pilihan terapi adjuvan dalam penatalaksanaan BV. Ke depannya, penelitian lebih besar dengan metodologi yang lebih terstandar diharapkan dapat mengonfirmasi hal ini.
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur