Salah satu upaya mengoptimalkan perkembangan kognitif anak adalah dengan pemberian suplementasi zat besi. Sejumlah studi membuktikan bahwa perkembangan kognitif anak sangat berkaitan dengan kecukupan nutrisi makro dan mikro, termasuk zat besi. Zat besi berperan penting dalam banyak proses perkembangan otak.[1,2]
Perkembangan otak dimulai saat setelah terjadinya konsepsi sampai masa dewasa muda. Seribu hari pertama kehidupan dimulai sejak dalam kandungan hingga anak mencapai usia 2 tahun. Masa ini merupakan periode emas pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama otak dan sistem kekebalan. Tidak optimalnya perkembangan otak pada masa ini akan mempengaruhi kehidupan anak di masa depan.[3,4]
Peran Nutrisi untuk Mendukung Pertumbuhan Dan Perkembangan Optimum Anak
Perkembangan otak juga turut dipengaruhi oleh interaksi genetik, stimulasi, dan nutrisi. Nutrisi berperan penting dalam perkembangan saraf, mulai dari neurulasi sampai myelinasi. Sejumlah penelitian telah menunjukkan kaitan antara nutrisi dan perkembangan otak. Nutrisi mempengaruhi modifikasi fenotipe melalui berbagai target molekuler termasuk asam deoksiribonukleat (ADN), asam ribonukleat (ARN), protein, dan metabolit.[3,5]
Sementara itu, perkembangan kognitif anak berhubungan erat dengan perkembangan otak. Adanya malnutrisi, termasuk defisiensi besi, dilaporkan dapat berdampak pada kurang optimalnya perkembangan kognitif anak.[1,3]
Kegunaan Makronutrien Untuk Perkembangan Otak
Nutrisi makro seperti karbohidrat, protein, dan lemak berperan penting untuk perkembangan otak. Karbohidrat berfungsi sebagai sumber energi utama dalam berpikir dan beraktivitas. Otak membutuhkan 20% dari total konsumsi energi. Beberapa contoh makanan mengandung karbohidrat adalah beras, gandum, biji-bijian, roti, mie, dan gula.[6,7]
Protein juga penting dalam proses pembentukan otak dan neurotransmitter, terutama jenis protein yang tinggi kandungan asam amino seperti alfa-laktalbumin. Beberapa contoh makanan mengandung protein yaitu ASI, ikan, daging, telur, kacang-kacangan, dan susu.[6,8]
Sementara itu, lemak dapat menyelimuti serta melindungi sel saraf, sehingga bermanfaat dalam perkembangan saraf, penglihatan, daya ingat, dan kemampuan kognitif lainnya. Beberapa contoh makanan yang mengandung lemak adalah ASI, kuning telur, daging, ikan, kacang-kacangan, mentega, dan susu.[6,8]
Kegunaan Mikronutrien Untuk Perkembangan Otak
Mikronutrien merupakan sejumlah zat gizi mikro yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Mikronutrien terdiri atas vitamin dan mineral. Vitamin terdiri atas dua kelompok, yaitu vitamin larut air (vitamin A, D, E, dan K) dan vitamin larut lemak (vitamin B kompleks dan C).[6,8]
Mineral juga terdiri dari 2 kelompok. Kelompok pertama terdiri atas 7 mineral makro yang dibutuhkan dalam jumlah besar, sedangkan kelompok kedua merupakan trace minerals atau mineral mikro yang dibutuhkan dalam jumlah kecil. Salah satu mineral yang penting dalam perkembangan otak anak adalah zat besi. Vitamin dan mineral lainnya juga memiliki peranan masing-masing dalam mendukung perkembangan kognitif anak.[9,10]
Fungsi Zat Besi pada Perkembangan Kognitif
Sumber makanan yang mengandung zat besi antara lain daging merah, hati, sayur, brokoli, bayam merah, dan buah bit. Pemberian bubur ataupun susu formula yang difortifikasi dengan tambahan zat besi pun dapat dipertimbangkan.[1,2]
Zat besi berperan dalam neurotransmiter di area neuron presinaptik dan postsinaptik serta berperan dalam neurogenesis, maturasi dan migrasi neuron, serta pembentukan sinapsis otak. Zat besi juga merupakan salah satu komponen penting dari heme, di mana bersama hemoglobin dan protein bertanggung jawab dalam transportasi oksigen ke seluruh tubuh. Defisiensi besi dapat menurunkan kemampuan tubuh dalam proses transportasi oksigen ke seluruh tubuh.[1,2]
Beberapa peranan zat besi yang berkaitan dengan perkembangan kognitif adalah:
- Membantu menjaga produksi dan pemeliharaan mielin yang dapat memengaruhi aktivitas saraf
- Membantu kerja enzim sitokrom oksidase yang penting untuk perangsangan saraf
- Membantu sintesis neurotransmiter, seperti serotonin, dopamin, dan norepinefrin[1,2,11]
Dampak Defisiensi Besi pada Perkembangan Kognitif
Defisiensi zat besi merupakan kasus defisiensi mikronutrien yang paling banyak dijumpai di seluruh dunia. Lebih dari 25% populasi di dunia mengalami anemia, dimana 50% diantaranya merupakan kasus anemia defisiensi besi.[11]
Kasus defisiensi zat besi terutama tinggi pada populasi ibu hamil, bayi, dan anak usia <7 tahun, karena peningkatan kebutuhan zat besi pada periode ini.[12,13]
Studi di Indonesia pada tahun 2009 menunjukan bahwa insidensi deplesi besi, defisiensi besi, dan anemia defisiensi besi pada bayi di bawah 1 tahun secara berturut-turut adalah 11,4%, 7,6%, dan 47,4%. Risiko tertinggi kekurangan zat besi terjadi selama masa pertumbuhan terutama usia 4−24 bulan, anak usia sekolah, remaja wanita, wanita hamil dan menyusui.[9,14]
Defisiensi besi dapat menyebabkan perubahan pada homeostasis dari neurotransmitter, menurunkan produksi mielin, merusak sinaptogenesis, dan menurunkan fungsi ganglia basal. Dengan demikian, defisiensi besi turut berpengaruh buruk terhadap fungsi kognitif dan perkembangan psikomotor, yang akhirnya berdampak pada rendahnya kemampuan belajar pada tahap pendidikan.[2,11]
Defisiensi zat besi diketahui berhubungan erat dengan skor perkembangan mental dan motorik yang rendah serta perilaku sosioemosional yang terganggu pada anak. Sejumlah studi melaporkan bahwa anak-anak dengan defisiensi zat besi berisiko memiliki kemampuan kognitif yang rendah.[10,11]
Studi di Amerika terhadap anak-anak yang diadopsi melaporkan bahwa anak-anak dengan defisiensi besi (hemoglobin <11 g/dL dengan 2 atau lebih iron marker yang abnormal) memiliki performa kognitif yang lebih rendah daripada anak-anak yang mendapat suplementasi zat besi.[15]
Indikasi dan Waktu Pemberian Suplementasi Zat Besi
Dalam upaya mencegah anemia defisiensi besi, rekomendasi suplementasi zat besi adalah:
- WHO: suplementasi zat besi 30 mg/hari selama 3 bulan berturut-turut, diberikan setiap tahun untuk anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun
- IDAI: suplementasi zat besi dengan dosis Fe elemental 1 mg/kgBB/hari, yang diberikan 2 kali dalam seminggu selama 3 bulan berturut-turut setiap tahunnya, pada usia 6‒24 bulan[12,16]
Penambahan Vitamin C Meningkatkan Absorpsi Zat Besi
Penambahan vitamin C pada saat pemberian suplementasi zat besi dapat dipertimbangkan untuk mengoptimalkan penyerapan zat besi. Dengan rasio yang tepat, yaitu vitamin C dan zat besi 2:1, absorbsi zat besi di mukosa usus menjadi lebih baik 2 kali lipat. Sumber vitamin C yang alami adalah buah dan sayuran, seperti mangga, jeruk, nanas, stroberi, tomat, dan paprika.[17]
Asam askorbat membentuk chelate dengan ferric iron (Fe3+) pada pH lambung yang rendah, yang bertahan dan tetap larut dalam lingkungan basa duodenum.[18]
Zat yang Menghambat Absorpsi Zat Besi
Proses penyerapan zat besi sangat bergantung pada pH duodenum yang dipengaruhi oleh jenis makanan yang dikonsumsi. Beberapa makanan yang menginhibisi absorpsi zat besi adalah fitat dan polifenol, yang terkandung dalam teh hitam, kopi, wine, kacang-kacangan, sereal, buah, dan sayuran.[18]
Selain itu, makanan lain yang dapat mengganggu penyerapan zat besi adalah kalsium, protein hewani (seperti kasein, whey, putih telur), dan protein dari tumbuhan (protein kedelai). Asam oksalat di dalam bayam, lobak, dan kacang-kacangan juga menghambat penyerapan zat besi.[18]
Kehati-Hatian Pemberian Suplementasi Zat Besi pada Kondisi Tanpa Anemia
Efektivitas dan keamanan pemberian suplementasi zat besi pada kasus defisiensi besi tanpa anemia masih perlu dikaji lebih lanjut. Pemberian zat besi pencegahan tidak efisien, pada individu dengan kadar zat besi normal, bahkan memiliki efek samping dan risiko berbahaya.[19]
Pada tahun 2015, IDAI mengingatkan untuk berhati-hati dalam pemberian suplementasi zat besi.[20]
Suplementasi zat besi diabsorpsi melalui mukosa usus, tetapi tidak memiliki jalur eliminasi sehingga kelebihan dosis akan menetap di dalam tubuh. Dalam kasus ekstrim, kelebihan kadar zat besi dapat menyebabkan hemokromatosis sekunder, dan meningkatkan stres oksidatif dan produksi radikal bebas. Stres oksidatif ini diduga berperan dalam pembentukan kanker.[19]
Pada penelitian hewan uji tikus, suplementasi besi oral dapat meningkatkan perkembangan tumor kolon. Data pada manusia tampaknya menunjukkan zat besi dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal, tetapi studi prospektif dan eksperimental lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi kemungkinan pengaruh besi dalam karsinogenesis.[19]
Mengenali Red Flag Defisiensi Zat Besi
Anak dengan defisiensi zat besi dapat bergejala maupun asimtomatik. Gejala klinis yang dapat timbul antara lain pucat, sulit berkonsentrasi, lemas, letih, lesu, lunglai, dan mudah lelah. Anak dapat memiliki kebiasaan memakan makanan yang tidak umum (pica), seperti tanah atau kertas. Tanda lainnya adalah restless leg syndrome.[21,22]
Beberapa gejala red flag dari defisiensi zat besi yang harus diwaspadai adalah nyeri perut berat dan semakin memberat, pembengkakan perut, massa yang teraba pada rongga abdomen, kulit kuning, hematemesis, hematochezia, melena, hematuria, dan demam kronis selama >2 minggu.[21,22]
Kesimpulan
Perkembangan otak dimulai sejak konsepsi hingga dewasa muda. Perkembangan otak dipengaruhi oleh interaksi genetik, stimulasi, dan nutrisi. Nutrisi berperan penting dalam perkembangan saraf, mulai dari neurulasi sampai myelinasi. Kondisi malnutrisi, termasuk defisiensi besi, dilaporkan dapat berdampak pada kurang optimalnya perkembangan kognitif anak.
Sejumlah studi melaporkan bahwa anak-anak dengan defisiensi zat besi berisiko memiliki kemampuan kognitif yang rendah. Dalam upaya mencegah anemia defisiensi besi, WHO telah merekomendasikan suplementasi zat besi selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun untuk anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun. Sementara itu, IDAI merekomendasikan pemberian suplementasi zat besi pada usia 6‒24 bulan.
Penyerapan zat besi dapat meningkat 2 kali lipat jika dikombinasi dengan vitamin C, karena asam askorbat dapat mengikat Fe3+ sehingga lebih bertahan dan tetap larut dalam lingkungan basa duodenum. Sebaliknya, banyak makanan yang tidak boleh dikonsumsi bersama zat besi karena berpotensi menurunkan absorpsi.
Perlu dipahami bahwa efektivitas dan keamanan pemberian suplementasi zat besi pada kasus defisiensi besi tanpa anemia masih perlu dikaji lebih lanjut. Suplementasi zat besi tanpa kondisi anemia harus diberikan dengan hati-hati.