Pedoman penanganan atrial fibrilasi dipublikasikan oleh European Society of Cardiology (ESC) pada tahun 2024. Pedoman ini memperkenalkan prinsip penatalaksanaan atrial fibrilasi yang disebut AF-CARE (Comorbidity and risk factor management; Avoiding stroke and thromboembolism; Reducing symptoms by rate and rhythm control; dan Evaluating and reassessing as patients’ disease and comorbidities progress).
Dalam pedoman ini, ESC berkolaborasi dengan European Association of Cardio-Thoracic Surgery (EACTS) untuk memberikan berbagai rekomendasi berbasis bukti terkait penggunaan antikoagulan, antiplatelet, serta obat antiaritmia. Panel ahli juga menekankan mengenai pentingnya mengutamakan keselamatan terlebih dulu (safety first), misalnya dengan menunda kardioversi jika durasi atrial fibrilasi telah melebihi 24 jam.[1]
Tabel 1. Tentang Pedoman Klinis Ini
Penyakit | Atrial Fibrilasi |
Tipe | Penatalaksanaan |
Yang Merumuskan | European Society of Cardiology (ESC) |
Tahun | 2024 |
Negara Asal | Uni Eropa |
Dokter Sasaran | Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, Dokter Jaga IGD, Spesialis Penyakit Dalam. |
Penentuan Tingkat Bukti
Dalam pedoman klinis ini, tingkat bukti ditentukan melalui evaluasi kritis literatur. Setiap rekomendasi dinilai berdasarkan rasio manfaat-risiko, dengan kekuatan dan tingkat bukti ditentukan menggunakan skala yang telah ditetapkan sebelumnya. Semua rekomendasi disetujui melalui prosedur pemungutan suara, di mana setiap rekomendasi harus mendapatkan persetujuan minimal 75% dari anggota panel ahli ESC.
Proses penulisan dan peninjauan pedoman diawasi oleh Komite Pedoman Praktik Klinis ESC. Setiap rekomendasi juga menjalani beberapa putaran peer review anonim oleh pakar eksternal. Bukti yang mendukung rekomendasi ini terutama berasal dari uji klinis dan meta analisis.[1]
Rekomendasi Utama untuk Diterapkan dalam Praktik Klinis Anda
Pada pedoman ini, ESC menjabarkan secara lebih spesifik strategi tata laksana berdasarkan sifat atrial fibrilasi, apakah termasuk first-diagnosed, paroksismal, persisten, atau permanen. Lebih lanjut, LVEF juga digunakan dalam pengambilan keputusan klinis pemberian obat-obatan. Dalam pedoman ini, target dari laju nadi yang dikehendaki adalah <110 kali per menit jika tidak didapatkan keluhan. Namun, target tersebut dapat lebih ketat jika pasien masih merasakan keluhan terkait atrial fibrilasi.
Sebagai pencegahan stroke, oklusi Left Atrial Appendage secara pembedahan maupun perkutan telah direkomendasikan oleh pedoman ini. Hal ini dapat menjadi pilihan pada pasien yang memiliki kontraindikasi terapi antikoagulan oral. Walaupun demikian, pemberian antikoagulan oral pasca prosedur direkomendasikan hingga 45 hari sebelum dilanjutkan dengan pemberian antiplatelet.[1]
Prinsip Penatalaksanaan
Salah satu hal utama yang menonjol dalam pembaruan pedoman penanganan atrial fibrilasi ini adalah pengenalan prinsip penatalaksanaan yang disebut AF-CARE. Prinsip ini mencakup:
-
Comorbidity and risk factor management, yakni pengendalian komorbiditas dan faktor risiko
-
Avoiding stroke and thromboembolism, yakni pencegahan terhadap kejadian tromboembolisme dan stroke terkait atrial fibrilasi
-
Reducing symptoms by rate and rhythm control, yakni penanganan gejala menggunakan kontrol irama dan laju jantung
-
Evaluating and reassessing as patients’ disease and comorbidities progress, yakni mengevaluasi dan melakukan pemantauan berkala terhadap perkembangan penyakit pasien maupun komorbiditas yang dimiliki.[1]
Pengendalian Komorbiditas dan Faktor Risiko
-
Pasien dengan gagal jantung: Diuretik direkomendasikan untuk meringankan kongesti; inhibitor SGLT2 direkomendasikan untuk mengurangi risiko rawat inap dan kematian kardiovaskular.
-
Pasien dengan hipertensi: Target tekanan darah sistolik 120-129 mmHg dan diastolik 70-79 mmHg
-
Pasien dengan diabetes: Kontrol glikemik adekuat dengan diet dan obat antidiabetes
-
Pasien dengan obesitas: Program penurunan berat badan dengan target penurunan 10% atau lebih.[1]
Penggunaan Antikoagulan Oral
-
Obat antikoagulan oral diberikan pada seluruh pasien atrial fibrilasi yang eligible (tidak memiliki risiko perdarahan yang tinggi), kecuali pada pasien atrial fibrilasi dengan risiko stroke dan kejadian tromboembolisme yang rendah. Jangan lupa untuk melakukan stratifikasi risiko perdarahan sebelum pemberian antikoagulan.
-
Penggunaan antiplatelet saja, seperti aspirin atau clopidogrel, tidak direkomendasikan untuk pencegahan stroke.
- Pemberian obat antikoagulan oral dapat dilakukan pada pasien dengan skor CHA2DS2-VA ≥2, serta dapat dipertimbangkan jika skor CHA2DS2-VA ≥1 apabila dokter merasa perlu.
-
Direct oral anticoagulant (DOAC), seperti apixaban dan dabigatran, lebih disukai dibandingkan warfarin, kecuali pada pasien dengan katup jantung mekanik atau stenosis mitral.[1]
Kontrol Irama dan Laju Jantung
-
Kontrol laju (rate control) merupakan yang direkomendasikan dalam skenario akut, dengan pilihan obat lini pertama adalah beta blocker, diltiazem, dan verapamil.
-
Pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) ≤40%, dapat digunakan beta blocker atau digoxin.
-
Amiodarone, digoxin, esmolol, atau landiolol intravena dapat dipertimbangkan pada pasien dengan instabilitas hemodinamik atau LVEF yang sangat menurun.
-
Kontrol irama (rhythm control) dengan kardioversi elektrik direkomendasikan pada pasien dengan instabilitas hemodinamik yang akut atau memburuk.
-
Pada pasien tanpa gangguan hemodinamik, pendekatan wait-and-see lebih disukai dibandingkan kardioversi segera untuk menunggu adanya konversi spontan ke irama sinus dalam 48 jam setelah onset atrial fibrilasi.
-
Pilihan obat untuk rhythm control jangka panjang mencakup amiodarone, dronedarone, flecainide, atau propafenone, dengan pemilihan obat disesuaikan terhadap skenario klinis spesifik masing-masing pasien.
- Ablasi kateter harus dipertimbangkan pada pasien dengan atrial fibrilasi paroksismal, resisten, atau yang intoleran terhadap obat antiaritmia.[1]
Perbandingan dengan Pedoman Klinis di Indonesia
Di Indonesia, terdapat pedoman penanganan atrial fibrilasi yang dipublikasikan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) pada tahun 2019. Pedoman ini kurang lebih memiliki rekomendasi yang sama dengan ESC 2024. Sebagai contoh, pedoman PERKI juga menganjurkan penggunaan direct oral anticoagulant dibandingkan warfarin atau antiplatelet seperti aspirin dan clopidogrel. Pedoman ini juga menekankan pada kontrol faktor risiko dan komorbiditas.
Sama seperti ESC, pedoman PERKI juga menggunakan skor CHA2DS2-VA untuk stratifikasi risiko pasien. PERKI juga menyarankan stratifikasi risiko pendarahan sebelum memulai antikoagulan.[2]
Kesimpulan
Pedoman penanganan atrial fibrilasi dipublikasikan oleh European Society of Cardiology (ESC) pada tahun 2024. Beberapa poin yang perlu diingat dalam pedoman tata laksana ini adalah:
-
Penanganan atrial fibrilasi menggunakan pendekatan AF-CARE, yakni: Comorbidity and risk factor management; Avoiding stroke and thromboembolism; Reducing symptoms by rate and rhythm control; dan Evaluating and reassessing as patients’ disease and comorbidities progress
- Antikoagulan oral disarankan diberikan pada pasien atrial fibrilasi dengan risiko perdarahan rendah, kecuali pada pasien atrial fibrilasi dengan tingkat risiko stroke dan kejadian tromboemboli yang rendah.
-
Direct anticoagulant oral lebih disukai penggunaannya dibandingkan warfarin sebagai terapi lini pertama. Sementara itu, penggunaan antiplatelet saja, seperti aspirin dan clopidogrel, tidak disarankan untuk pencegahan stroke dan kejadian tromboemboli pada atrial fibrilasi
-
Kontrol laju (rate control) merupakan pendekatan awal pada setting akut, dapat pula disertai dengan kontrol irama (rhythm control) sesuai skenario klinis masing-masing pasien.