Pedoman Penanganan Sindrom Koroner Kronis 2024 – Ulasan Guideline Terkini

Oleh :
dr.Daniel Budiono Sp JP

Pedoman penanganan sindrom koroner kronis dipublikasikan oleh European Society of Cardiology (ESC) pada tahun 2024. Pedoman ini menjelaskan mengenai definisi dari sindrom koroner kronis secara lebih baku. Pedoman ini juga membahas mengenai pendekatan berjenjang (stepwise) pada diagnosis dan manajemen sindrom koroner kronis.

Dalam pedoman ini, sindrom koroner kronis didefinisikan sebagai serangkaian presentasi klinis atau sindrom yang muncul akibat perubahan struktural atau fungsional yang terkait dengan penyakit kronis pada arteri koroner. Presentasi mencakup pasien asimtomatik dengan hasil tes anatomi atau fungsional abnormal, angina tanpa penyakit arteri koroner (PJK) obstruktif, stress-induced angina dengan PJK obstruktif, dan penyakit stabil setelah sindrom koroner akut, kateterisasi, atau operasi by pass, serta disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung akibat iskemia.[1]

Elderly,Asian,Man,Standing,While,Holds,His,Chest,,Suffering,From

Tabel 1. Tentang Pedoman Klinis Ini

Penyakit Sindrom Koroner Kronis
Tipe Diagnosis dan Penatalaksanaan
Yang Merumuskan

European Society of Cardiology (ESC)

Tahun 2024
Negara Asal Uni-Eropa
Dokter Sasaran Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, Dokter Jaga IGD.

Penentuan Tingkat Bukti 

Penentuan tingkat bukti dilakukan melalui analisis komprehensif terhadap bukti yang dipublikasikan, terutama dari uji klinis dan meta-analisis. Dalam tahap awal pengembangan pedoman, tabel bukti disusun untuk merangkum informasi utama dari penelitian yang relevan. Tabel ini bertujuan untuk memudahkan formulasi rekomendasi, membantu pemahaman pengguna setelah publikasi, dan meningkatkan transparansi proses pengembangan pedoman.

Persiapan dan persetujuan pedoman berada di bawah pengawasan Komite Pedoman Praktik Klinik ESC, yang melakukan tinjauan bertingkat melalui peer review anonim oleh para pakar eksternal dari seluruh wilayah ESC. Setelah revisi yang sesuai, dokumen final disetujui oleh semua ahli dalam tim penugasan dan disahkan oleh Komite untuk publikasi.[1]

Rekomendasi Utama untuk Diterapkan dalam Praktik Klinis Anda

Secara garis besar, pedoman ini menganjurkan pendekatan bertahap (stepwise) untuk mengelola individu dengan dugaan sindrom koroner kronis. Pendekatan yang dimaksud menggabungkan empat pilar yang meliputi penilaian umum, penilaian lebih lanjut, konfirmasi diagnosis, dan pengobatan.[1]

Rekomendasi Terkait Empat Tahap Penanganan Sindrom Koroner Kronis

Dalam pedoman ini dijelaskan ada empat tahap penanganan sindrom koroner kronis, yaitu:

  1. Langkah 1: Evaluasi klinis umum terkait penilaian gejala dan tanda sindrom koroner kronis, membedakan penyebab nyeri dada non-kardiak, dan menyingkirkan kemungkinan sindrom koroner akut. Evaluasi klinis awal mencakup pemeriksaan EKG istirahat 12 lead, pemeriksaan darah, serta rontgen toraks atau uji fungsi paru sesuai indikasi.
  2. Langkah 2: Pemeriksaan jantung lanjutan, termasuk echocardiography saat istirahat untuk menyingkirkan disfungsi ventrikel kiri (LV) dan gangguan katup jantung. Setelah itu, perlu dilakukan stratifikasi risiko penyakit jantung koroner obstruktif untuk memandu keperluan pengujian noninvasif dan invasif lebih lanjut.
  3. Langkah 3: Konfirmasi diagnosis sindrom koroner kronis dan pengukuran risiko komplikasi di masa depan, termasuk risiko major adverse coronary events (MACE).
  4. Langkah 4: Pemberian modifikasi gaya hidup dan faktor risiko dikombinasikan dengan medikamentosa. Obat antiangina seringkali diperlukan lebih dari satu (kombinasi). Revaskularisasi koroner dipertimbangkan jika gejala refrakter terhadap farmakoterapi atau pada pasien risiko tinggi. Jika gejala berlanjut setelah PJK obstruktif disingkirkan, penyakit mikrovaskular koroner dan vasospasme harus dipertimbangkan.[1]

Rekomendasi Terkait Penegakan Diagnosis

  • Pada tahap awal, lakukan penilaian menyeluruh terhadap faktor risiko kardiovaskular, riwayat medis, dan karakteristik gejala. Gejala seperti nyeri dada yang dipicu oleh stres emosional, sesak napas, pusing saat beraktivitas, serta nyeri di lengan, rahang, leher, atau punggung atas, perlu dipertimbangkan sebagai angina.
  • Untuk memperkirakan kemungkinan PJK obstruktif, disarankan menggunakan model Risk Factor-weighted Clinical Likelihood, yang juga didukung dengan pemeriksaan EKG istirahat, echocardiography, maupun pencitraan.
  • Bila dicurigai angina vasospastik, pemantauan EKG ambulatori perlu dipertimbangkan.
  • Pada pasien dengan sindrom koroner kronis dan hasil pemeriksaan awal menunjukkan kemungkinan rendah atau sedang (5-50%) untuk PJK obstruktif, coronary computed tomography angiography (CCTA) direkomendasikan untuk eksklusi diagnosis PJK obstruktif, deteksi PJK non-obstruktif, dan estimasi risiko MACE.
  • Pada pasien dengan kemungkinan sedang atau tinggi (15-85%) untuk PJK obstruktif, stress echocardiography direkomendasikan untuk menilai iskemia miokard dan risiko MACE. Sebagai alternatif, dapat dilakukan PET myocardial perfusion imaging atau single-photon emission computed tomography (SPECT).
  • Jika ada indikasi untuk dilakukan invasive coronary assessment (ICA), maka akses arteri radialis dianjurkan sebagai lokasi akses utama. Indikasi ICA mencakup kemungkinan sangat tinggi PJK obstruktif, pasien dengan gejala berat atau refrakter terhadap medikamentosa, pasien dengan angina saat kegiatan ringan, ataupun pasien dengan risiko MACE yang tinggi.[1]

Rekomendasi Terkait Tata Laksana

Rekomendasi terkait tata laksana sindrom koroner kronis secara umum adalah:

  • Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko yang dikombinasikan dengan obat-obatan disease-modifying dan antianginal merupakan pilar dari manajemen sindrom koroner kronis.
  • Agen antiplatelet tunggal, seperti aspirin 75-100 mg atau clopidogrel 75 mg, direkomendasikan secara jangka panjang pada pasien sindrom koroner kronis dengan PJK obstruktif aterosklerotik.
  • Penggunaan dua agen antitrombotik dapat dilakukan pada pasien dengan risiko thrombosis yang tinggi, selama pasien memiliki risiko perdarahan yang tidak tinggi.
  • Coronary artery bypass graft (CABG) lebih direkomendasikan dibandingkan percutaneous coronary intervention (PCI) pada pasien dengan PJK multivessel tanpa gangguan pada arteri utama kiri, terutama jika ada komorbiditas diabetes.

  • Pada pasien sindrom koroner kronis dengan fungsi ventrikel kiri normal dan tidak memiliki lesi signifikan pada arteri utama kiri atau arteri anterior proksimal kiri, revaskularisasi tidak menghasilkan kesintasan lebih baik dibandingkan pemberian medikamentosa.[1]

Penggunaan Antiangina

  • Dalam memilih obat antiangina, perlu dipertimbangkan karakteristik pasien, komorbid, interaksi obat, patofisiologi yang menyebabkan angina, serta ketersediaan dan harga obat.
  • Obat golongan nitrat short-acting direkomendasikan untuk segera meredakan gejala angina
  • Terapi antiangina lini pertama adalah beta-blocker (BB) atau calcium channel blocker (CCB) dengan target denyut jantung 55-60 kali/menit.
  • Bila gejala angina tidak dapat terkontrol dengan terapi awal BB atau CCB saja, kombinasi BB dengan DHP-CCB dapat dipertimbangkan, kecuali bila terdapat kontraindikasi
  • Obat golongan nitrat long acting atau ranolazine perlu dipertimbangkan bila gejala angina tidak berhasil dikontrol dengan terapi BB atau CCB.
  • Ivabradine tidak direkomendasikan sebagai terapi antiangina pada pasien dengan fraksi ejeksi LV < 40% dan tanda adanya klinis gagal jantung.

  • Trimetazidine dapat dipertimbangkan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan gejala angina tidak berhasil dikontrol dengan terapi BB atau CCB.[1]

Tata Laksana Komorbiditas:

  • Pada pasien dengan komorbiditas dislipidemia, dianjurkan pemberian statin intensitas tinggi seperti atorvastatin ≥ 40 mg atau rosuvastatin ≥ 20 mg atau dengan dosis maksimal yang  dapat ditolerir pasien, dengan target kolesterol LDL < 55 mg/dL dan penurunan ≥ 50% dari kadar kolesterol awal.
  • Pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, obat golongan inhibitor SGLT-2 (sodium–glucose cotransporter 2 inhibitors) dan agonis reseptor GLP-1 (glucagon-like peptide-1) direkomendasikan.
  • Pada pasien sindrom koroner kronis akibat PJK aterosklerosis, pemberian kolkisin dosis rendah (0,5 mg/hari) direkomendasikan untuk menurunkan risiko stroke, infark miokard, dan revaskularisasi.
  • Obat golongan proton pump inhibitor direkomendasikan pada pasien dengan risiko perdarahan gastrointestinal akibat kombinasi antitrombotik.[1]

Perbandingan dengan Pedoman Klinis di Indonesia

Pedoman klinis tentang sindrom koroner kronis yang ada di Indonesia adalah Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Angina Pektoris Stabil yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2023. PNPK ini memiliki banyak kesamaan dengan pedoman klinis ESC, termasuk menekankan pentingnya evaluasi klinis dan stratifikasi risiko di awal penanganan pasien.

Pilihan obat antianginal yang direkomendasikan pada PNPK sama dengan pedoman ESC, yakni obat golongan BB dan CCB sebagai pilihan pertama dan nitrat short acting untuk pereda gejala angina. PNPK juga merekomendasikan agen antiplatelet tunggal, aspirin atau clopidogrel, sebagai terapi antitrombotik pada pasien sindrom koroner kronis, sama dengan pedoman ESC.

Meski demikian, PNPK masih lebih menyarankan revaskularisasi dengan PCI pada pasien-pasien yang memiliki indikasi revaskularisasi dan eligible untuk menjalani revaskularisasi. Di sisi lain, pedoman ESC sudah menyebutkan bahwa revaskularisasi tidak lebih unggul dibandingkan terapi konservatif pada pasien-pasien tertentu. Pada kasus PJK multivessel, terutama dengan komorbiditas diabetes, ESC bahkan menyebutkan bahwa CABG lebih direkomendasikan dibandingkan PCI.[1,2]

Kesimpulan

Pedoman penanganan sindrom koroner kronis ini dipublikasikan oleh European Society of Cardiology (ESC) pada tahun 2024. Rekomendasi utama pada pedoman ini yaitu:

  • Evaluasi klinis komprehensif merupakan langkah awal yang penting untuk menentukan apakah pasien datang dengan tanda dan gejala sindrom koroner akut, sindrom koroner kronis, atau nyeri dada non-kardiak.
  • Penggunaan model prediksi risiko sangat dianjurkan untuk menilai kemungkinan penyakit arteri koroner obstruktif dan memandu evaluasi serta penanganan lebih lanjut.
  • Untuk pasien dengan gejala sindrom koroner kronis dan kemungkinan rendah hingga sedang (5%-50%) PJK obstruktif, gunakan coronary computed tomography angiography (CCTA) untuk menyingkirkan kemungkinan aterosklerosis koroner atau untuk menilai risiko kejadian kardiovaskular mayor.
  • Pada pasien yang memiliki indikasi untuk menjalani invasive coronary assessment (ICA), akses melalui arteri radialis adalah yang dianjurkan
  • Penatalaksanaan utama pada sindrom koroner kronis adalah modifikasi gaya hidup, modifikasi faktor risiko, dan pemberian farmakoterapi.
  • CABG lebih direkomendasikan dibandingkan PCI pada pasien PJK multivessel, terutama jika ada komorbiditas diabetes.
  • Pendekatan konservatif lebih direkomendasikan dibandingkan revaskularisasi pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri normal dan tidak memiliki lesi signifikan pada arteri utama kiri atau arteri anterior proksimal kiri.

Referensi