Pedoman klinis penatalaksanaan diabetes mellitus selama puasa Ramadan dipublikasikan oleh The International Diabetes Federation (IDF) dan Diabetes and Ramadhan (DaR) International Alliance pada tahun 2021. Salah satu pembaruan utama pada pedoman ini adalah stratifikasi risiko individu dengan diabetes mellitus untuk berpuasa selama Ramadan dan edukasi pra-Ramadan yang lebih holistik.
Pedoman ini merekomendasikan kriteria stratifikasi risiko baru untuk digunakan selama penilaian pra-Ramadan dan menjadi dasar pengambilan keputusan terkait puasa Ramadan pada penderita diabetes. Edukasi pra-Ramadan pada pedoman ini juga merekomendasikan agar pasien diabetes mellitus yang memutuskan untuk berpuasa memahami strategi dalam mengelola kondisi diabetes mereka dan komplikasi yang mungkin timbul.[1]
Tabel 1. Tentang Pedoman Klinis Ini
| Penyakit | Diabetes Mellitus Tipe 1, Diabetes Mellitus Tipe 2 |
| Tipe | Penatalaksanaan |
| Yang Merumuskan | The International Diabetes Federation (IDF) dan Diabetes and Ramadhan (DaR) International Alliance |
| Tahun | 2021 |
| Negara Asal | Belgia |
| Dokter Sasaran | Dokter Umum, Dokter Layanan Primer, Spesialis Penyakit Dalam, Spesialis Obstetri & Ginekologi |
Penentuan Tingkat Bukti
The International Diabetes Federation (IDF) dan Diabetes and Ramadan (DaR) International Alliance atau IDF-DAR bekerja sama dengan para ahli diabetes dari berbagai negara untuk memperbarui pedoman praktik ini. Pembaruan dilakukan melalui serangkaian pertemuan yang bertujuan untuk mendiskusikan dan menentukan modifikasi yang diperlukan terhadap pedoman sebelumnya.
Rekomendasi dalam pedoman ini disusun berdasarkan telaah pustaka terhadap literatur ilmiah, khususnya yang berkaitan dengan penyandang diabetes mellitus yang menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan. Tingkat kekuatan bukti diklasifikasikan mulai dari Level 1 (bukti tertinggi, didukung oleh berbagai studi randomized controlled trials/RCT) hingga Level 4 (bukti terendah, berdasarkan opini ahli atau laporan kasus).
Selain itu, pedoman ini menggunakan pendekatan GRADE (Grading of Recommendations, Assessment, Development, and Evaluation) dalam menentukan kekuatan rekomendasi klinis. Penilaian dilakukan berdasarkan kualitas bukti ilmiah serta pertimbangan klinis lainnya yang dianggap relevan.[1,2]
Rekomendasi Utama untuk Diterapkan dalam Praktik Klinis Anda
Pedoman klinis IDF-DAR tahun 2021 mengenai penatalaksanaan diabetes mellitus selama puasa Ramadan merupakan pembaruan dari pedoman sebelumnya. Meskipun sejumlah rekomendasi dipertahankan, terdapat beberapa pembaruan signifikan pada kriteria stratifikasi risiko puasa, edukasi pra-Ramadan, farmakoterapi, dan penanganan kondisi khusus.[1]
Stratifikasi Risiko Pasien Diabetes Mellitus dalam Menjalani Puasa Selama Ramadan
Dalam pedoman ini, stratifikasi risiko pasien diabetes mellitus untuk berpuasa selama Ramadan diperkenalkan melalui pendekatan skor penilaian yang lebih kuantitatif, dengan mempertimbangkan 14 variabel yang mencakup faktor risiko penyakit, kondisi pasien, komplikasi, serta durasi puasa yang bergantung pada lokasi geografis.[1]
Beberapa rekomendasi yang mengalami pembaruan antara lain:
- Pasien dengan skor stratifikasi risiko 0–3 (risiko rendah): direkomendasikan untuk menjalani puasa dengan evaluasi medis, penyesuaian terapi, serta pemantauan yang ketat karena tetap memiliki potensi risiko.
- Pasien diabetes mellitus dengan skor stratifikasi risiko 3,5–6 (risiko sedang): keamanan puasa belum pasti, direkomendasikan untuk melakukan evaluasi medis termasuk pemantauan glukosa darah secara teratur, penyesuaian terapi, dan pemantauan ketat sebelum memutuskan untuk berpuasa.
- Pasien diabetes mellitus dengan skor stratifikasi risiko >6 (risiko tinggi): puasa tidak aman, sehingga dianjurkan untuk tidak berpuasa.[1]
Kriteria stratifikasi risiko baru dalam pedoman IDF-DAR 2021 sebaiknya digunakan saat penilaian pra-Ramadan (yaitu 6-8 minggu sebelum Ramadan) pada pasien diabetes mellitus yang berencana untuk berpuasa.[1,2]
Table 2. Stratifikasi Risiko Pasien Diabetes Mellitus dalam Menjalani Puasa
| Elemen Risiko | Skor Risiko |
| 1. Tipe Diabetes Mellitus | |
| Diabetes Mellitus Tipe 1 | 0 |
| Diabetes Mellitus Tipe 2 | 1 |
| 2. Durasi Diabetes Mellitus | |
| ≥ 10 tahun | 1 |
| <10 tahun | 0 |
| 3. Kejadian Hipoglikemia | |
| Hipoglikemia yang tidak disadari (hypoglycemia unawareness) | 6,5 |
| Hipoglikemia berat yang baru saja terjadi | |
| Hipoglikemia mingguan berulang | 5,5 |
| Hipoglikemia < 1 kali per minggu | 3,5 |
| Tidak ada hipoglikemia | 1 |
| 4. Level kontrol glikemik | |
| Level HbA1c >9% (75 mmol/mol) | 2 |
| Level HbA1c 7.5–9% (58.5–75 mmol/mol) | 1 |
| Level HbA1c < 7.5% (58.5 mmol/mol) | 0 |
| 5. Tipe Farmakoterapi | |
| Multiple daily mixed insulin Injections | 3 |
| Basal Bolus/Insulin pump | 2.5 |
| Once daily Mixed insulin | 2 |
| Basal Insulin | 1,5 |
| Glibenclamide | 1 |
| Gliclazide/MR or Glimepride or Repeglanide | 0,5 |
| Terapi lain (tidak termasuk sulfonilurea ataupun insulin) | 0 |
| 6. Pemantauan Gula Darah Mandiri | |
| Diindikasikan tetapi tidak dilakukan | 2 |
| Diindikasikan tetapi dilakukan secara suboptimal | 1 |
| Dilakukan sesuai indikasi | 0 |
| 7. Komplikasi Akut | |
| DKA/HHS dalam 3 bulan terakhir | 3 |
| DKA/HHS dalam 6 bulan terakhir | 2 |
| DKA/HHS dalam 12 bulan terakhir | 1 |
| Tidak ada DKA atau HHS | 0 |
| 8. Macrovascular disease (MVD) atau komorbiditas | |
| Unstable MVD | 6,5 |
| Stable MVD | 2 |
| No MVD | 0 |
| 9. Komplikasi Ginjal atau Komorbiditas | |
| eGFR < 30 mL/min | 6,5 |
| eGFR 30–45 mL/min | 4 |
| eGFR 45–60 mL/min | 2 |
| eGFR >60 mL/min | 0 |
| 10. Kehamilan | |
| Kehamilan dengan kendali glukosa) yang buruk | 6.5 |
| Kehamilan dengan kendali glukosa yang baik | 3.5 |
| Tidak hamil | 0 |
| 11. Kelemahan dan Fungsi Kognitif | |
| Gangguan fungsi kognitif atau Kelemahan | 6,5 |
| Usia >70 tahun tanpa dukungan di rumah | 3,5 |
| Tidak ada kelemahan atau kehilangan fungsi kognitif | 0 |
| 12. Pekerjaan Fisik | |
| Pekerjaan fisik sangat intens | 4 |
| Pekerjaan fisik sedang intens | 2 |
| Tidak ada pekerjaan fisik | 0 |
| 13. Pengalaman Ramadan Sebelumnya | |
| Pengalaman negatif secara keseluruhan | 1 |
| Tidak ada pengalaman negatif atau positif | 0 |
| 14. Durasi Puasa (berdasarkan lokasi geografis) | |
| ≥16 h | 1 |
| < 16 h | 0 |
Sumber: dr. Eva Naomi Oretla, Alomedika, 2025.[1]
Rekomendasi Terkait Edukasi Pra-Ramadan untuk Pasien Diabetes Mellitus
Pedoman ini memberikan rekomendasi kuat untuk pelaksanaan structured pre-Ramadan education (edukasi pra-Ramadan terstruktur) sekitar 6–8 minggu sebelum Ramadan. Edukasi ini bertujuan memberdayakan pasien dalam mengambil keputusan yang tepat terkait perilaku selama berpuasa, serta membantu pasien mengelola kondisi diabetes secara optimal.
Pembaruan materi edukasi pra-Ramadan untuk pasien diabetes mellitus meliputi:
- Mengetahui status risiko dan kualifikasi untuk berpuasa selama Ramadan.
- Memahami cara pemantauan glukosa darah secara mandiri.
- Mengetahui indikasi medis untuk menghentikan puasa.
- Menyesuaikan aktivitas fisik selama bulan Ramadan.
- Mengatur pola makan dan hidrasi.
- Menyesuaikan dosis dan jadwal obat selama puasa.
- Mengenali tanda dan gejala hipoglikemia serta hiperglikemia.[1]
Rekomendasi Pengukuran Glukosa Darah
Selain itu, pedoman ini juga menekankan pentingnya pemantauan glukosa darah mandiri (self-monitoring of blood glucose/SMBG). Adapun rekomendasi terkait SMBG adalah:
- SMBG dianjurkan bagi semua pasien diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2, termasuk yang tidak menggunakan insulin.
- Waktu yang disarankan untuk melakukan SMBG meliputi saat sahur, pagi hari (antara pukul 7.00 – 10.00), tengah hari (sekitar pukul 12.00), sore hari (antara pukul 15.00–16.00), saat berbuka puasa (iftar), dua jam setelah berbuka puasa, serta jika muncul gejala hipoglikemia, hiperglikemia, atau keluhan yang tidak nyaman.
Pasien disarankan untuk menghentikan puasa apabila hasil SMBG menunjukkan
- Glukosa darah <70 mg/dL
- Glukosa darah 70–90 mg/dL: lakukan pengukuran ulang setiap 1 jam
- Glukosa darah >300 mg/dL
- Muncul gejala hipoglikemia, hiperglikemia, atau sedang mengalami penyakit akut.[1,2]
Rekomendasi Terkait Terapi Non-Farmakologi
Terdapat pembaruan rekomendasi pola makan di mana pasien diabetes mellitus harus mengonsumsi makanan yang mengandung serat sekitar 20-35 g/hari (atau 14g/1000 kkal) untuk membantu memberikan rasa kenyang saat berbuka puasa dan menunda rasa lapar setelah sahur.
Asupan protein yang direkomendasikan tidak boleh kurang dari 1,2g/kg dan biasanya mencakup 20-30% dari total asupan kalori. Protein sangat penting karena meningkatkan rasa kenyang dan membantu mempertahankan massa otot pada pasien diabetes mellitus. Jenis protein yang direkomendasikan berupa ikan, unggas tanpa kulit, susu dan produk olahan susu, kacang-kacangan, biji-bijian, dan polong-polongan.
Olahraga ringan dan sedang dapat dilakukan pada pagi hari atau setelah berbuka puasa, sementara itu olahraga berat harus dihindari selama jam-jam puasa dan terutama sebelum buka puasa karena risiko tinggi hipoglikemia dan dehidrasi.[1,2]
Rekomendasi Terkait Farmakoterapi
Pasien diabetes mellitus tipe 2 yang mengonsumsi metformin umumnya tidak memerlukan penyesuaian dosis. Namun, bagi pasien yang menggunakan metformin 3 kali sehari, disarankan mengonsumsi 1/3 dosis saat sahur dan 2/3 dosis saat berbuka (iftar). Sebagai contoh, jika sebelum Ramadan pasien mengonsumsi metformin 3×500 mg, maka selama Ramadan dosis dibagi menjadi 500 mg saat sahur dan 1000 mg saat berbuka.
Sulfonilurea generasi baru, seperti gliclazide dan glimepiride, lebih direkomendasikan dibandingkan sulfonilurea generasi lama karena memiliki risiko hipoglikemia yang lebih rendah. Penurunan dosis sebaiknya dipertimbangkan pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan kontrol glikemik yang baik.
Pada pasien yang menggunakan GLP‑1 receptor agonists (GLP‑1 RA), seperti semaglutide, diperlukan titrasi dosis 2–4 minggu sebelum Ramadan. Setelah titrasi, umumnya tidak diperlukan penyesuaian dosis lebih lanjut selama Ramadan.[1]
Rekomendasi Terkait Penggunaan Insulin
Terdapat banyak penyesuaian yang spesifik untuk penggunaan insulin pada pasien diabetes mellitus tipe 1 maupun pasien diabetes mellitus tipe 2 pada pedoman ini.
Rekomendasi Penyesuaian Insulin pada Diabetes Mellitus Tipe 1:
Secara umum, pasien diabetes mellitus tipe 1 tidak dianjurkan untuk berpuasa. Namun, banyak pasien diabetes mellitus tipe 1 yang berusia muda tetap menjalani puasa meskipun tidak direkomendasikan oleh tenaga kesehatan profesional. Oleh karena itu, pedoman IDF-DAR 2021 mencantumkan penyesuaian dosis insulin bagi pasien diabetes mellitus tipe 1 yang tetap memilih untuk berpuasa selama Ramadan.[1]
Tabel 3. Rekomendasi Penyesuaian Dosis Insulin Multiple Daily Injections Therapy (MDI) dan Insulin Pump Therapy pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 1 yang melaksanakan puasa selama Ramadan
| Multiple Daily Injection Basal Insulin | |
| Pasien dengan glikemik kontrol yang baik (HBA1C < 7,5%) | Pengurangan dosis hingga 20-30%, penyuntikan dilakukan saat buka puasa (iftar) atau pada tengah malam |
| Pasien dengan glikemik kontrol yang buruk (HBA1C > 7,5%) | Tidak ada pengurangan dosis, dosis tetap sama, dan penting untuk melakukan follow up, serta penyuntikan dilakukan saat buka puasa (iftar) atau pada tengah malam. |
| 1. Multiple Daily Injection Prandial Insulin | |
| Pasien dengan ICR (Insulin-to-Carbohydrate Ratio) ataupun ISF (Insulin Sensitivity Factor) | Tidak ada penyesuaian dosis, lanjutkan dosis yang telah ditentukan saat iftar (buka puasa) dan sahur. |
| Pasien dengan fixed doses insulin (insulin dosis tetap) | tidak terdapat perubahan dosis pada saat iftar (buka puasa), namun dosis akan dikurangi sebesar 20-30% pada saat sahur. |
| 2. Insulin Pump Therapy (Basal Insulin) | |
| Kurangi dosis insulin basal sebesar 20-35% dalam 4-5 jam terakhir sebelum berbuka puasa. | |
| Tingkatkan dosis insulin basal sebesar 10-30% setelah berbuka puasa hingga tengah malam. | |
| 3. Insulin Pump Therapy (Prandial Insulin) | |
| Bolus insulin prandial dihitung berdasarkan ICR biasa dan faktor sensitivitas insulin | |
Sumber: dr. Eva Naomi Oretla, Alomedika, 2025.[1]
Catatan untuk MDI Prandial Insulin:
- Untuk kontrol pasca makan yang lebih baik, disarankan untuk mengonsumsi bolus 20 menit sebelum berbuka puasa untuk memperhitungkan asupan makanan tinggi lemak atau tinggi protein.
- Kadar glukosa darah yang tinggi mungkin memerlukan dosis koreksi tambahan berdasarkan rasio sensitivitas insulin dan target glukosa darah.
- Dosis koreksi tidak boleh diberikan lebih sering dari setiap 3 jam untuk menghindari penumpukan insulin dan kondisi hipoglikemia.
- Pendekatan individual sangat penting untuk penyesuaian pengobatan berdasarkan hasil pemantauan glukosa darah mandiri pasien.
Catatan untuk Insulin Pump Therapy (Basal Insulin):
- Dosis bolus insulin dapat diberikan dalam tiga pola berbeda, yaitu segera sebagai bolus standar atau normal, secara perlahan selama periode waktu tertentu (bolus diperpanjang atau square bolus), dan kombinasi keduanya, bolus kombo, atau dual wave bolus.
- Konsumsi makanan dengan kandungan lemak tinggi mungkin memerlukan bolus diperpanjang atau kombo karena peningkatan glukosa setelah makan akan tertunda oleh kandungan lemak.
- Disarankan untuk menggunakan kalkulator bolus dalam menentukan dosis karbohidrat dan koreksi untuk menghindari penumpukan insulin dan kondisi hipoglikemia.[1]
Rekomendasi Penyesuaian Insulin pada Diabetes Mellitus Tipe 2:
Tabel berikut menyajikan rekomendasi penyesuaian dosis insulin bagi pasien diabetes mellitus tipe 2 selama menjalani puasa Ramadan.[1]
Table 4. Rekomendasi Penyesuaian Dosis Insulin Berdasarkan Jenis Rejimen
| Tipe Insulin | Penyesuaian dosis selama puasa Ramadan | Metode monitoring selama Ramadan |
| CSII (Continuous Subcutaneous Insulin Infusion) / Insulin Pump | Penyesuaian laju basal: penurunan 20–40% selama 3–4 jam terakhir puasa dan peningkatan 10–30% selama beberapa jam pertama setelah berbuka puasa. | CGM (Continuous Glucose Monitoring) |
| Dosis bolus: prinsip yang sama seperti sebelum Ramadhan. | ||
| MDI (basal bolus) dengan insulin analog | Insulin basal: pengurangan dosis sebesar 30–40% digunakan saat berbuka puasa. | Pemeriksaan glukosa darah 7 poin dalam sehari sesuai dengan waktu yang sudah ditetapkan |
| Insulin analog cepat : · Dosis saat sahur dikurangi sebesar 30–50% · Dosis sebelum makan siang dilewati · Dosis sekitar berbuka puasa disesuaikan berdasarkan hasil pemantauan glukosa 2 jam setelah berbuka puasa
| ||
| MDI (Basal bolus) dengan insulin konvensional | Insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn) · Dosis pagi pra-Ramadan yang biasa digunakan di malam hari selama Ramadan · 50% dari dosis pra-Ramadan digunakan saat sahur. | Pemantauan glukosa darah 7 poin atau 2–3 pembacaan bertahap sepanjang hari |
| Insulin regular · Dosis saat makan malam tetap sama · Dosis sahur 50% dari dosis malam pra-Ramadan · Dosis sore dilewatkan | ||
| Premixed (analog atau konvesional) | Ubah dosis pagi sebelum Ramadan menjadi saat iftar (saat buka puasa) | Setidaknya 2–3 kali pembacaan glukosa darah harian dan setiap kali terdapat gejala hipoglikemia yang muncul |
| 50% dari dosis malam sebelum Ramadan diubah menjadi pada saat sahur. |
Sumber: dr. Eva Naomi Oretla, Alomedika, 2025.[1]
Rekomendasi Terkait Diabetes Mellitus pada Populasi Khusus selama Puasa Ramadan
Pada ibu hamil dengan diabetes mellitus, pemantauan glukosa darah mandiri perlu ditingkatkan sepanjang hari. Dianjurkan untuk mengikuti Ramadhan Nutrition Plan (RNP) dengan membatasi konsumsi kafein, gula, garam, dan memperbanyak asupan serat. Selain itu, hidrasi perlu diperhatikan dengan anjuran minum 2–3 liter air putih per hari.
Pada lansia dengan diabetes mellitus, diperlukan pemilihan farmakoterapi dengan risiko hipoglikemia rendah disertai penyesuaian dosis. Frekuensi pemantauan glukosa darah mandiri selama puasa Ramadan perlu ditingkatkan dibandingkan sebelum Ramadan dan jika tersedia, pertimbangkan penggunaan alat pemantauan glukosa darah kontinu.
Pada pasien diabetes mellitus dengan komplikasi makrovaskular, lakukan stratifikasi risiko dan pastikan pasien memahami edukasi pra-Ramadan. Sesuaikan farmakoterapi berdasarkan gejala klinis pasien. Pada pasien yang menggunakan insulin, lakukan penyesuaian dosis untuk memaksimalkan keamanan selama puasa Ramadan.
Pasien diabetes mellitus dengan penyakit ginjal kronis stadium 3–5 atau yang menjalani dialisis dikategorikan berisiko tinggi, sehingga puasa umumnya tidak dianjurkan. Namun, jika pasien berisiko tinggi tetap memilih untuk berpuasa, maka perlu dilakukan pemantauan ketat berkala (kadar elektrolit, kreatinin) dan evaluasi mingguan selama Ramadan, serta upaya untuk menjaga hidrasi selama waktu tidak berpuasa.[1,2]
Perbandingan dengan Pedoman Klinis di Indonesia
Di Indonesia, pedoman penatalaksanaan diabetes mellitus tipe 2 pada individu dewasa selama bulan Ramadan telah diterbitkan oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) pada tahun 2022. Secara umum, pedoman PERKENI memiliki banyak kesamaan dengan pedoman ini, terutama dalam hal stratifikasi risiko dan penatalaksanaan pasien diabetes mellitus tipe 2 selama Ramadan.
Meski demikian, pedoman PERKENI belum membahas secara spesifik penyesuaian dosis insulin bagi pasien diabetes mellitus tipe 1 yang berpuasa, sedangkan dalam pedoman ini penyesuaian tersebut dijelaskan secara rinci berdasarkan rejimen insulin. Selain itu, rekomendasi pola makan dalam pedoman PERKENI disesuaikan dengan ketersediaan pangan lokal dan budaya Indonesia, meskipun acuan kalori untuk makronutrien tetap merujuk pada standar yang sama dengan pedoman ini.[3]
Kesimpulan
Pedoman klinis penatalaksanaan diabetes mellitus selama Ramadan dipublikasikan oleh The International Diabetes Federation (IDF) dan Diabetes and Ramadan (DaR) International Alliance pada tahun 2021. Rekomendasi utama pada pedoman ini:
- Stratifikasi risiko pada pasien diabetes mellitus yang akan berpuasa selama Ramadan diperkenalkan melalui pendekatan penilaian kuantitatif, dan sebaiknya dilakukan 6–8 minggu sebelum Ramadan, bersamaan dengan edukasi pra-Ramadan.
- Edukasi pra-Ramadan harus dilaksanakan secara terstruktur dan mencakup: penilaian status risiko dan kelayakan berpuasa, pemantauan glukosa darah mandiri, penyesuaian aktivitas fisik dan pola makan, pengaturan dosis obat, serta identifikasi kondisi medis yang menjadi indikasi penghentian puasa.
- Penyesuaian farmakoterapi diperlukan pada beberapa agen, seperti GLP‑1 receptor agonists (GLP‑1 RA) yang memerlukan titrasi 2–4 minggu sebelum Ramadan, dan pemilihan sulfonilurea generasi baru (dibandingkan generasi lama) untuk pasien diabetes mellitus tipe 2 yang berpuasa.
- Penyesuaian dosis insulin secara spesifik berdasarkan rejimen juga penting, baik pada pasien diabetes tipe 1 maupun tipe 2 yang menggunakan insulin.
- Pasien diabetes mellitus dengan komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular memerlukan penyesuaian farmakoterapi berbasis gejala klinis, pemantauan ketat dan evaluasi berkala selama Ramadan, serta upaya maksimal untuk menjaga hidrasi selama waktu tidak berpuasa.
