Pemberian kolkisin (colchicine) sebagai terapi coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan salah satu opsi yang sedang diteliti karena obat ini diduga memiliki efek antiinflamasi. Patofisiologi infeksi SARS-CoV-2 diketahui berhubungan dengan proses inflamasi, sehingga obat-obat yang bersifat antiinflamasi diperkirakan dapat bermanfaat untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien COVID-19.
Infeksi SARS-CoV-2 pada saluran pernapasan dapat menimbulkan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Terjadinya ARDS dimediasi oleh sitokin dan kemokin proinflamasi, yang akhirnya memicu disregulasi respons inflamasi. Selain itu, inflamasi vaskular yang dipicu COVID-19 juga dapat menimbulkan sejumlah kondisi berbahaya lain, seperti deep vein thrombosis, emboli paru, infark miokard, dan stroke.[1,2]
Kolkisin umumnya digunakan untuk terapi gout. Namun, obat ini juga dapat digunakan untuk terapi penyakit radang lain, seperti Behcet’s disease dan perikarditis. Kolkisin diduga dapat mengurangi disregulasi respons inflamasi pada COVID-19 dengan mencegah perkembangan inflamasi dari fase pulmonal ke fase hiperinflamasi.[2-5]
Sekilas tentang Inflamasi pada COVID-19
Inflamasi pada COVID-19 dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: (1) fase infeksi awal di mana SARS-CoV-2 menginfiltrasi sel inang di parenkim paru; (2) fase pulmonal di mana propagasi virus menyebabkan jejas pada jaringan paru akibat respons imun tubuh yang teraktivasi; dan (3) fase hiperinflamasi.
Fase hiperinflamasi bisa dipicu oleh pathogen-associated molecular patterns (misalnya RNA virus) atau oleh damage-associated molecular patterns, misalnya debris seluler yang dikeluarkan saat piroptosis. Fase ini bahkan dapat terjadi saat titer virus telah turun. Komponen dalam fase ini yang bisa dihambat oleh kolkisin adalah aktivasi inflamasom yang memicu badai sitokin, aktivasi neutrofil, dan thrombosis interface.[2,6]
Hipotesis tentang Mekanisme Kerja Kolkisin pada COVID-19
Pada saat inflamasi, produksi sitokin, aktivasi endotel, serta ekspresi permukaan dari selektin, integrin, dan molekul adhesi interseluler akan mendorong adhesi neutrofil ke pembuluh darah. Pemberian kolkisin diduga bisa menghambat ekspresi E-selectin dan L-selectin pada permukaan neutrofil dan endotel.
Selain itu, pemberian kolkisin juga diduga dapat merusak sifat reologi dari sitoskeleton neutrofil, sehingga membatasi kemampuannya untuk bermigrasi melalui endotelium mengikuti gradien chemoattractant. Kolkisin juga diduga bisa menghambat inflamasom NLRP3 dan berpotensi mencegah badai sitokin.
Kolkisin diketahui dapat menghambat elastase neutrofil dan pelepasan α-defensin. Hal ini bisa mengurangi proses trombosis karena elastase neutrofil dapat meningkatkan pembentukan trombin dan aktivasi trombosit. Selain itu, α-defensin juga berkaitan dengan terbentuknya trombus yang lebih besar dan lebih luas. Pemberian kolkisin juga bisa menurunkan agregasi neutrofil-platelet.[2,6]
Studi mengenai Efikasi Kolkisin sebagai Terapi COVID-19
Sejumlah studi telah dilakukan untuk menilai efikasi kolkisin sebagai terapi COVID-19. Namun, studi-studi yang sudah dipublikasikan masih berskala kecil. Uji klinis dan meta analisis yang berukuran lebih besar masih berlangsung hingga saat ini dan belum bisa memberikan laporan yang final.[2,5]
Studi The Greek Effects of Colchicine in COVID-19 (GRECO-19)
GRECO-19 merupakan studi acak open-label prospektif yang pertama mengevaluasi efek kolkisin pada troponin jantung, C-reactive protein (CRP), dan luaran klinis pasien COVID-19 yang dirawat inap. Studi ini membandingkan pasien yang mendapat paduan kolkisin dan terapi standar dengan pasien yang hanya menerima terapi standar.
Studi terhadap 105 pasien ini menunjukkan bahwa kolkisin tidak berpengaruh signifikan pada troponin jantung dan biomarker inflamasi. Namun, pasien yang menerima kolkisin memiliki perburukan klinis yang lebih ringan daripada pasien yang tidak menerima kolkisin. Perburukan klinis ini dinilai berdasarkan 7-grade clinical status scale, yang bervariasi dari kemampuan untuk kembali beraktivitas normal hingga kematian. Pasien yang menerima kolkisin juga dilaporkan lebih lambat mengalami perburukan klinis.[7]
Studi Scarsi et al
Suatu studi di Italia membandingkan 122 pasien rawat inap yang menerima paduan kolkisin dan terapi standar dengan 140 pasien rawat inap yang hanya menerima terapi standar. Terapi standar yang dimaksud dalam studi ini adalah lopinavir/ritonavir dan/atau dexamethasone dan/atau hydroxychloroquine. Namun, perlu diingat bahwa hydroxychloroquine saat ini sudah terbukti tidak efektif sebagai terapi COVID-19.
Setelah 21 hari, grup pasien yang diberi kolkisin dilaporkan memiliki survival rate yang lebih baik daripada grup pasien yang hanya menerima terapi standar (84% vs 64%).[8]
Studi Brunetti et al
Brunetti et al juga melakukan studi prospektif untuk menguji efikasi kolkisin. Dari 303 pasien yang terkonfirmasi COVID-19, 66 pasien memenuhi kriteria inklusi dan dibagi menjadi dua kelompok (grup kolkisin vs grup terapi standar). Pada follow-up hari ke-28, pasien grup kolkisin dilaporkan 5 kali lebih mungkin untuk dipulangkan dari rumah sakit daripada grup terapi standar (OR 5,0; 95% CI, 1,25–20,1; p=0,023).
Mortalitas pada grup kolkisin adalah 9,1%, sedangkan mortalitas pada grup terapi standar adalah 33,3% (OR 0,20; 95% CI, 0,05–0,80; p=0,023). Brunetti et al berspekulasi bahwa efek antiinflamasi dan antiviral yang dimiliki kolkisin berperan untuk mencegah badai sitokin. Namun, hal ini memerlukan investigasi lebih lanjut dengan uji klinis acak terkontrol yang berskala besar.[9]
Keamanan Kolkisin sebagai Terapi COVID-19
Penelitian mengenai profil keamanan kolkisin bila digunakan sebagai terapi COVID-19 masih terbatas. Efek samping yang paling sering dilaporkan dalam studi-studi berskala kecil adalah efek gastrointestinal, misalnya diare, mual, muntah, bloating, nyeri perut, dan penurunan nafsu makan. Diare adalah efek samping yang paling sering dilaporkan (23%), diikuti dengan muntah (17%), dan mual (4–17%). Kondisi ringan ini tidak sampai membatasi penggunaannya pada pasien COVID-19.
Namun, overdosis kolkisin diketahui dapat menyebabkan bone marrow failure, gagal ginjal, acute respiratory distress syndrome (ARDS), dan aritmia dengan mortalitas yang tinggi. Oleh karena itu, dokter tetap harus berhati-hati ketika mempromosikan kolkisin sebagai opsi terapi potensial untuk COVID-19.[2,4,6,10]
Kesimpulan
Hiperinflamasi merupakan salah satu mekanisme utama dalam patofisiologi COVID-19 yang bertanggung jawab terhadap acute respiratory distress. Kolkisin memiliki sifat antiinflamasi, sehingga diduga dapat mengurangi disregulasi respons inflamasi pada COVID-19 dan mencegah progresivitas dari fase pulmonal ke fase hiperinflamasi.
Namun, bukti efek antiinflamasi ini terhadap luaran klinis pasien COVID-19 masih amat terbatas. Studi-studi berskala kecil menunjukkan bahwa pemberian kolkisin mungkin meningkatkan survival rate, mengurangi mortalitas, dan memperlambat perburukan klinis. Namun, uji klinis terkontrol yang berskala lebih besar masih diperlukan untuk konfirmasi hasil ini.
Efek samping yang umum dilaporkan dari penggunaan kolkisin pada pasien COVID-19 adalah diare, mual, muntah, bloating, nyeri perut, dan penurunan nafsu makan. Hal-hal ini bersifat ringan. Namun, dokter tetap perlu berhati-hati dalam mempromosikan kolkisin sebagai opsi terapi COVID-19 karena overdosis obat ini dapat menyebabkan bone marrow failure, gagal ginjal, ARDS, dan aritmia dengan mortalitas yang tinggi.