Pemeriksaan Mamografi Tidak Menurunkan Angka Mortalitas Kanker Payudara

Oleh :
dr. Gisheila Ruth Anggitha

Rekomendasi pemeriksaan rutin atau skrining mamografi setiap tahun perlu dikaji ulang. Hasil studi menunjukkan bahwa mamografi secara rutin tidak menurunkan mortalitas kanker payudara, dan dapat meningkatkan risiko overdiagnosis dan overtreatment. Pemeriksaan mamografi saat ini merupakan pemeriksaan utama untuk diagnosis kanker payudara.

Kanker payudara merupakan kanker pada wanita yang paling banyak ditemukan di dunia dan tidak jarang menimbulkan kematian. Insidensi kanker payudara semakin menurun terutama pada negara-negara maju, termasuk penurunan angka kematiannya.  Keadaan tersebut dipercaya karena peningkatan kesadaran masyarakat untuk skrining, dan semakin baiknya manajemen pasien kanker payudara termasuk kecepatan deteksi,  intervensi, dan penanganan pasca operasi.[1-3]

MamografiMortalitasKankerPayudara

Tonton videonya (durasi 4 menit) "4 Alasan Skrining Kanker Payudara Rutin dengan Mammografi Sudah Tidak Disarankan" di YouTube Alomedika di sini.

Beberapa penelitian pada tahun 1980an, mengusulkan bahwa skrining mamografi pada wanita usia 40‒74 tahun dapat menurunkan mortalitas kanker payudara sebanyak 25‒31%. Namun, penelitian tahun 2002 di Kanada menemukan bahwa tidak terjadi perubahan angka kematian yang signifikan pada kelompok yang mendapat skrining mamografi dibandingkan skrining pemeriksaan fisik.[1]

Peran Mamografi pada Kanker Payudara

Sebelum penggunaan mamografi dijadikan sebagai modalitas diagnosis, kanker payudara didiagnosis dengan pemeriksaan fisik payudara termasuk palpasi. Oleh karena itu, hasil terapi kanker payudara memiliki prognosis buruk karena keterlambatan deteksi penyakit.[2,3]

Mamografi merupakan salah satu jenis pencitraan X-ray khusus untuk melihat gambaran payudara. Saat prosedur mamografi, dilakukan kompresi payudara menjadi datar sehingga dapat memperlihatkan kelenjar secara maksimal. Apabila terdapat lesi ireguler, batas tidak tegas, serta memiliki hiperdensitas (mikrokalsifikasi), maka perlu dicurigai sebagai lesi maligna dan perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan, termasuk biopsi.[2-4]

Rasionalisasi pemeriksaan mamografi sebagai skrining bertujuan untuk mendeteksi kanker payudara ketika masih kecil dan belum dapat dipalpasi pada pemeriksaan fisik. 

Konsil European Union dan The International agency for Research on Cancer merekomendasikan penggunaan skrining mamografi setiap tahunnya pada wanita usia 50‒69 tahun. Sementara, The Society of Breast Imaging and the breast Imaging Commission of the American College of Radiology merekomendasikan skrining mamografi mulai dari usia 40 tahun setiap tahun. Di sisi lain, US Preventive Services Task Force menyarankan skrining mamografi setiap 2 tahun sekali sejak usia 40 tahun.[2,3]

Efektivitas Skrining Mamografi terhadap Mortalitas Kanker Payudara

Moller et al (2019) melakukan studi kohort berdasarkan populasi untuk melihat efek dari skrining mamografi pada mortalitas kanker payudara. Pada studi dengan populasi yang cukup besar ini, ditemukan penurunan mortalitas kanker payudara baik pada kelompok wanita yang dilakukan skrining mamografi maupun pada kelompok yang tidak dilakukan skrining mamografi.[5] 

Penurunan mortalitas tersebut tidak berbeda secara signifikan di antara kedua kelompok. Hasil ini tampaknya karena semua peserta, baik yang melakukan maupun tidak melakukan skrining mamografi, mendapatkan edukasi sehingga terjadi peningkatan kewaspadaan diri terhadap penyakit kanker payudara. Kondisi tersebut didukung juga dengan berdirinya pusat diagnosis dan terapi kanker payudara di tiap negara yang mengikuti studi.[5]

Meta analisis (2013) terhadap 7 penelitian mengenai efektivitas skrining mamografi pada mortalitas kanker payudara mendapatkan kematian akibat kanker payudara adalah unreliable outcome. Manfaat skrining mamografi terhadap mortalitas dinilai bias, terutama karena kesalahan klasifikasi diferensial penyebab kematian.  Pada 3 penelitian yang melakukan randomisasi adekuat, tidak menemukan efek skrining pada mortalitas semua kanker, termasuk kanker payudara setelah 10 tahun (RR 1,02, 95% CI 0,95-1,10) atau pada semua penyebab kematian setelah 13 tahun (RR 0,99, 95% CI 0,95 hingga 1,03).[6]

Selain itu, meta analisis ini juga mendapatkan kemungkinan overdiagnosis sebagai konsekuensi dari skrining mamografi yang harmful bagi pasien. Angka overdiagnosis dan overtreatment pada penelitian-penelitian di dalam meta analisis mencapai 30%. Diagnosis positif palsu berdampak harmful karena menyebabkan stress psikologis bagi pasien, baik saat terdiagnosis maupun bertahun-tahun setelah wanita tersebut dinyatakan bebas dari kanker.[6]

Studi retrospektif oleh Engel et al (2015) mendapatkan hasil yang berbeda. Studi ini dilakukan dengan meneliti all-cause mortality akibat pemeriksaan mamografi yang tidak rutin setiap tahunnya sebelum didiagnosis kanker payudara. Pada studi ini, didapatkan peningkatan 2‒3 kali lipat all-cause mortality pada wanita yang tidak melakukan pemeriksaan mamografi setiap tahunnya selama 5 tahun.[7] 

Studi ini juga mendapatkan peningkatan mortalitas yang progresif apabila pasien semakin tidak rutin melakukan pemeriksaan mamografi. Studi ini menyarankan mamografi tetap dilakukan sebelum diagnosis kanker payudara untuk meningkatkan survival. Akan tetapi, studi ini memiliki keterbatasan waktu follow up yang singkat dan banyak efek samping dari tata laksana, seperti pajanan radiasi. Selain itu, studi kohort ini berada dalam lingkup sampel yang sedikit.[7]

Kesimpulan

Kanker payudara merupakan kanker tersering pada wanita dan dapat menyebabkan kematian. Pemeriksaan mamografi seringkali dianjurkan untuk dilakukan secara rutin setiap tahunnya, untuk mendeteksi kemungkinan kanker payudara. 

Namun, berdasarkan beberapa penelitian menyatakan bahwa skrining mamografi nyatanya tidak menurunkan mortalitas kanker payudara. Oleh karena itu, rekomendasi mamografi setiap tahun perlu dikaji ulang.  Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui secara pasti populasi yang sangat membutuhkan skrining mamografi, sehingga tidak terjadi overdiagnosis maupun overtreatment. Penelitian menunjukkan satu dari dua pasien mengalami positif palsu setelah 10 tahun mamografi, sedangkan satu dari lima pasien mengalami prosedur operasi yang tidak dibutuhkan setelah 10 tahun.[6]

 

Referensi