Pencegahan Hernia Insisional Berbasis Bukti

Oleh :
dr.Eva Naomi Oretla

Tindakan pencegahan hernia insisional penting dilakukan untuk mengurangi terjadinya komplikasi pascaoperasi, pengeluaran biaya medis yang tidak perlu, serta meningkatkan kualitas hidup pasien. Hernia insisional merupakan salah satu komplikasi jangka panjang pascaoperasi yang paling umum terjadi setelah pembedahan abdomen. Insiden hernia insisional dilaporkan sekitar 15% dalam 1 tahun dan dalam 3 tahun meningkat menjadi 25%.[1,3,5]

Hernia insisional adalah hernia yang terjadi di dinding abdomen pada lokasi insisi bedah. Kondisi ini paling sering ditemukan pada area midline dibandingkan lokasi lain. Hernia insisional dapat berupa hernia dengan seluruh komponen (defek, kantung, beserta isinya), atau dapat juga hanya berupa kelemahan dinding abdomen dengan kantung yang dangkal dan isi yang ditemukan menonjol.[1,4,5]

Pencegahan Hernia Insisional Berbasis Bukti

Mekanisme terjadinya hernia insisional belum diketahui dengan jelas. Namun, kegagalan penutupan adekuat dinding abdomen pascaoperasi diperkirakan menjadi penyebab terjadinya hernia insisional. Adanya celah antara dua tepi luka insisi dan celah yang diisi dengan jaringan sikatriks maupun scar juga merupakan predisposisi terjadinya hernia insisional. Peningkatan tekanan intraabdomen yang kronis juga merupakan predisposisi hernia insisional.[2,3-6]

Faktor Risiko Terjadinya Hernia Insisional 

Faktor risiko hernia insisional dapat diklasifikasikan berdasarkan risiko yang terkait dengan pasien, teknik pembedahan, penyakit yang menyertai, dan faktor biologis.[2,3,5]

Faktor Risiko Terkait Pasien

Data demografi menunjukkan bahwa hernia insisional lebih sering terjadi pada pasien dengan usia lebih tua, utamanya di atas 45 tahun. Penuaan dapat menyebabkan penurunan kemampuan regenerasi jaringan dan berkurangnya pembentukan kolagen. Pasien dengan usia lebih tua juga cenderung memiliki penyakit penyerta yang akan mempersulit penyembuhan adekuat pascaoperasi.[1-3,5]

Data juga menunjukkan bahwa laki-laki lebih sering mengalami hernia insisional dibandingkan perempuan. Ini banyak dikaitkan dengan kebiasaan merokok yang dapat menurunkan aliran darah dan oksigenasi ke jaringan serta penurunan deposisi kolagen pada luka insisi yang berdampak pada peningkatan laju infeksi dan secara sinergis mendukung terjadinya hernia insisional.[1,3,5,6]

Selain itu, pasien dengan profil sosial ekonomi rendah juga lebih rentan mengalami hernia insisional karena defisiensi nutrisi. Kebiasaan mengangkat beban berat, misalnya karena tuntutan pekerjaan, juga merupakan faktor risiko hernia insisional karena akan meningkatkan tekanan intraabdomen. Penggunaan imunosupresan dan steroid jangka panjang juga dapat meningkatkan risiko infeksi dan dehiscence luka yang mendukung perkembangan hernia insisional.[1-3,5,6]

Faktor Teknis yang Berkorelasi dengan Teknik Pembedahan

Meskipun saat ini telah terdapat kemajuan dalam teknik penutupan (closure) dinding abdomen, namun tingkat hernia insisional pascaoperasi laparotomi dilaporkan mencapai 20%. Teknik pembedahan yang buruk dapat menyebabkan dehiscence luka dan memperlambat penyembuhan luka insisi.[2,5]

Apabila tidak dilakukan pendekatan yang tepat selama penutupan tepi fasia, serta penggunaan jahitan dengan panjang dan kekuatan yang tidak sesuai, maka dapat terjadi dehiscence luka pascaoperasi yang mendukung berkembangnya hernia insisional. Insisi transversal luas, subkostal, dan lumbal dilaporkan memiliki risiko hernia lebih rendah dibandingkan insisi midline.[1-3,5]

Tindakan laparotomi ulang juga merupakan faktor risiko hernia insisional. Insiden hernia insisional pada open abdomen dengan septikemia berat berkisar antara 21% pada 21 bulan pascaoperasi hingga 54% setelah 5 tahun masa tindak lanjut (follow up).[1-3,7]

Dalam kasus durasi operasi yang lama dan kehilangan volume darah yang lebih banyak, peluang terjadinya hernia insisional juga dilaporkan lebih besar. Selain itu, operasi darurat (emergency surgeries) juga dikaitkan dengan insiden berkembangnya komplikasi hernia insisional yang lebih tinggi.[2,3,5]

Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit

Pasien yang menjalani operasi abdomen akibat kondisi infeksi intraabdomen seperti peritonitis, gangren usus, dan severe necrotizing pancreatitis lebih berisiko mengalami hernia insisional. Adanya komorbid seperti diabetes, obesitas, keganasan, penyakit paru kronis, dan konstipasi kronis juga merupakan faktor risiko hernia insisional.[2,3,5]

Kemungkinan infeksi pascaoperasi pada pasien diabetes lebih tinggi dibandingkan pasien non-diabetes. Sementara itu, peningkatan risiko hernia insisional pada obesitas dikaitkan dengan peningkatan tekanan intraabdomen dan vaskularisasi jaringan adiposa yang buruk.[2,5,6]

Faktor Biologis

Faktor biologis seperti defek pada metabolisme kolagen juga turut berkontribusi terhadap perkembangan hernia insisional pascaoperasi abdomen. Penurunan rasio kolagen dan metalloproteinase memainkan peran penting dalam perkembangan hernia insisional melalui penundaan penyembuhan luka insisi dan dehiscence luka.[5,6]

Defisiensi mikronutrien seperti zinc dan tembaga juga dapat menyebabkan penurunan sintesis lysyl oxidase yang berperan dalam integritas molekul kolagen. Defisiensi pada unsur tersebut dapat menyebabkan terjadinya hernia insisional melalui pembentukan sikatriks.[1,2,5]

Pencegahan Hernia Insisional

Pencegahan hernia insisional dapat dilakukan melalui optimalisasi kondisi pasien praoperasi. Selain itu, rencana insisi dan teknik jahitan (suture technique) yang tepat juga dapat meminimalisir risiko dehiscence luka insisi yang berpotensi mendukung terjadinya hernia insisional.[2,5,6]

Optimalisasi Kondisi Pasien Praoperasi

Optimalisasi kondisi praoperasi umumnya mencakup tindakan prahabilitasi untuk membangun massa otot abdomen, meningkatkan toleransi aktivitas fisik, dan penatalaksanaan komorbiditas. Tahap ini juga mencakup penyesuaian obat imunosupresi, anjuran berhenti merokok, serta penurunan dan stabilisasi berat badan. Pasien juga perlu diberikan nutrisi adekuat dan menjalani koreksi hemoglobin jika mengalami anemia.[5,8,9]

Belum ada basis bukti ilmiah adekuat yang mengevaluasi apakah optimalisasi kondisi pasien praoperasi efektif mencegah hernia insisional. Namun, optimalisasi kondisi pasien praoperasi dapat meningkatkan kebugaran dan kondisi umum pasien, sehingga diharapkan akan membantu proses pemulihan luka insisi.[8,9]

Perencanaan Insisi

Insisi abdomen open midline merupakan lokasi insisi yang banyak disukai ahli bedah karena cepat dikerjakan dan memberi akses yang baik ke sebagian besar organ. Insisi open midline juga menyebabkan risiko minimal kerusakan saraf maupun vaskular, serta mudah dilakukan penutupan. Namun, insisi open midline berisiko mengalami disrupsi akibat gaya lateral yang kuat dan avaskularitas relatif pada linea alba.

European Hernia Society melaporkan insiden hernia insisional yang lebih rendah pada insisi paramedian lateral dibandingkan dengan insisi midline dan merekomendasikan untuk menghindari insisi midline bila memungkinkan. Selain itu, tinjauan Cochrane yang membandingkan insisi melintang (transverse) dan midline menyimpulkan bahwa kemungkinan terjadinya dehiscence luka dan hernia insisional lebih rendah pada insisi transverse.[6,8,9,11]

Teknik Jahitan

Penggunaan teknik ‘large bites’ (LBs) untuk menutup luka di abdomen sebelumnya lebih disukai karena mayoritas hasil studi menunjukkan bahwa jahitan yang disisipkan setidaknya 10 mm dari tepi defek menghasilkan jahitan luka yang lebih kuat. Meski begitu, studi terbaru merekomendasikan teknik ‘small-bite’ (SB) untuk penutupan luka laparotomi dengan insisi midline.

Komponen utama teknik ‘small-bite’ adalah penggunaan jahitan monofilamen kontinu yang dapat diserap secara perlahan dan disisipkan 5–8 mm dari tepi luka. Penempatan monofilamen harus berjarak 4–5 mm dengan rasio jahitan dan panjang luka minimal 4:1.

Sebuah studi uji klinis melaporkan bahwa komplikasi infeksi dan insiden hernia insisional ditemukan jauh lebih rendah pada teknik small-bite. European Hernia Society juga mendukung teknik SB aponeurotik satu lapis menggunakan jahitan monofilamen yang dapat diserap secara perlahan tanpa penutupan peritoneum secara terpisah.[8-11]

Penggunaan Mesh Profilaksis

Berbagai studi modern menunjukkan bahwa implantasi prophylactic mesh placement (PMP) pada posisi onlay atau underlay dapat mencegah terjadinya hernia insisional. Pemilihan PMP dapat disederhanakan menjadi 3 kategori utama yaitu sintetis, biosintetik, dan biologis. Selain itu terdapat juga mesh absorbable (dapat diserap) dan non-absorbable (tidak dapat diserap) dengan atau tanpa komponen hibrid. Pilihan mesh dapat bervariasi dalam berat, ukuran pori, dan ketahanan terhadap kolonisasi.[7,12]

Uji klinis PRIMA menemukan bahwa penguatan onlay mesh secara signifikan mengurangi kejadian hernia insisional setelah laparotomi dengan insisi midline pada pasien yang berisiko tinggi, yakni pasien dengan aneurisma aorta abdominalis atau indeks massa tubuh (IMT) ≥ 27 kg/m². Uji klinis lain juga menemukan bahwa implantasi profilaksis mesh intraperitoneal secara signifikan mengurangi kejadian hernia insisional 3 tahun setelah laparotomi dibandingkan dengan penutupan perut standar non-mesh pada populasi risiko tinggi.[7,12]

Kesimpulan

Hernia insisional merupakan salah satu komplikasi lanjut dari tindakan bedah abdomen. Hernia insisional meningkatkan morbiditas pasien dan sering memerlukan tindakan bedah tambahan.

Optimalisasi pasien praoperasi, yakni meningkatkan kondisi kesehatan umum pasien sebelum tindakan bedah, dianggap bermanfaat dalam membantu penyembuhan luka operasi dan pada gilirannya mencegah hernia insisional. Meski begitu, basis bukti yang mendukung efikasi tindakan ini dalam pencegahan hernia insisional masih kurang.

Tindakan pencegahan hernia insisional yang sudah didukung basis bukti lebih kuat adalah perencanaan insisi, penggunaan jahitan small bite, dan penggunaan mesh profilaksis. Insisi paramedian lateral dan insisi transversal dilaporkan memiliki risiko hernia insisional lebih rendah dibandingkan insisi midline.

Referensi