Pendekatan non-operatif, misalnya dengan pembidaian, pada lansia dengan fraktur radius distal diduga dapat menjadi pilihan terapi yang lebih baik dibandingkan pembedahan pada beberapa kasus. Fraktur radius distal merupakan fraktur ekstremitas atas tersering pada lansia, dengan prevalensi 18% dari seluruh fraktur yang terjadi pada populasi lansia. Adanya osteoporosis meningkatkan risiko fraktur ini.[1,2]
Panduan yang dikeluarkan oleh American Academy of Orthopaedic Surgeons (AAOS) pada tahun 2020 menyebutkan bahwa terapi operatif tidak terbukti memberikan luaran jangka panjang yang lebih baik pada populasi lansia bila dibandingkan dengan pendekatan non-operatif. Selain itu, tindakan operatif juga memiliki kekurangan dari sisi biaya hingga komplikasi yang disebabkan.[1-3]
Penatalaksanaan Fraktur Radius Distal pada Lansia
Secara umum, penatalaksanaan faktur radius distal dapat dibagi menjadi dua, yaitu terapi non-operatif dan terapi operatif. Terapi non-operatif dapat berupa pemasangan arm splint hingga reduksi tertutup dengan imobilisasi. Terapi operatif terdiri dari fiksasi eksternal, pin perkutan dengan K-wiring, locking plate, hingga dorsal bridge plate.[1,2,4]
Pertimbangan Khusus pada Lansia
Pada pasien lansia, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis terapi fraktur radius distal, seperti pola fraktur dan parameter radiologis yang mencakup panjang radius post reduksi, sudut kemiringan dorsal (dorsal tilt), dan kelainan posisi intrartikuler. Hal lain yang juga dipertimbangkan adalah usia, sisi tangan dominan, pekerjaan, adanya osteoporosis, hingga komorbiditas medis.
Pertimbangan juga perlu dilakukan terkait dengan manfaat jangka panjang pada fungsi, mortalitas, dan risiko komplikasi. Terdapat risiko cedera saraf setelah fraktur radius distal dengan insidensi berkisar antara 2-8%, sehingga pemeriksaan status neurologis pada nervus radialis dan ulnaris perlu dilakukan. Selain itu, pertimbangkan risiko kerusakan kulit post operatif pada pasien lansia dengan integritas kulit yang menurun.[1,2,4,5]
Pasien lanjut usia juga sering memiliki penyakit komorbid dan penurunan status fungsional yang dapat memperburuk luaran post operatif. Dari sisi biaya, pembedahan membutuhkan biaya sekitar 3 kali lebih besar dibandingkan pendekatan non-operatif. Tidak hanya itu, pasien dengan diabetes, konsumsi steroid kronik, dispnea, dan riwayat merokok juga membutuhkan durasi rawat inap lebih panjang pasca operasi.[4,6]
Perbandingan Pendekatan Non-Operatif VS Operatif Fraktur Radius Distal pada Lansia
Sebuah studi retrospektif terhadap 91 pasien lansia dengan fraktur radius distal membandingkan pendekatan non-operatif dengan operatif berupa open reduction internal fixation (ORIF). Studi ini menemukan bahwa pembedahan pada pasien lansia tidak terbukti menghasilkan luaran kualitas hidup, disabilitas, dan nyeri yang lebih baik dibandingkan pendekatan non-operatif. [7]
Studi serupa juga dilakukan oleh Lawson dkk terhadap 300 pasien lansia dengan fraktur radius distal. Pada studi ini, tindakan operatif yang dilakukan terhadap subjek penelitian adalah ORIF dengan volar locking plate. Studi ini menemukan tidak ada perbedaan signifikan antara pendekatan operatif dan non-operatif dalam hal kualitas hidup, nyeri, dan komplikasi setelah terapi. Temuan ini konsisten pada pemantauan 3, 12, dan 24 bulan setelah terapi diberikan.[8]
Sebuah meta analisis terhadap 11 studi kualitas sedang, terdiri atas 5 uji klinis acak dan 6 studi observasional, membandingkan pendekatan non-operatif dan operatif berupa volar locking plate. Seperti studi sebelumnya, meta analisis ini juga menemukan bahwa tindakan operatif menyebabkan luaran disabilitas dan range of motion yang tidak lebih baik dibandingkan pendekatan non-operatif.[9]
Tinjauan serupa dilakukan terhadap 9 studi yang membandingkan terapi non-operatif dan terapi operatif berupa ORIF menggunakan volar locking plate pada pasien lansia. Tinjauan ini menarik kesimpulan bahwa kedua terapi sama efektif dalam penatalaksanaan fraktur radius distal, tetapi terapi operatif ditemukan lebih unggul dalam perbaikan luaran fungsional pasien.[10]
Perlakuan Terapi Non-Operatif Fraktur Radius Distal pada Lansia
Pendekatan non-operatif terhadap fraktur radius distal pasien lansia perlu dilakukan berdasarkan indikasi serta pemilihan metode terapi yang tepat.
Indikasi Terapi Non-Operatif
Hingga saat ini, belum ada panduan mengenai indikasi khusus terapi non-operatif pada lansia. Namun, beberapa kriteria berikut digunakan dalam berbagai studi untuk pemilihan terapi non-operatif sebagai penatalaksanaan fraktur radius distal pada lansia:
Dorsal angulation kurang dari 10 derajat
Intra articular step-off kurang dari 2 mm
- Pemendekan radius kurang dari 3 mm
Ulnar variance kurang dari 3 mm[1,2,4,6,11]
Teknik Terapi Non-Operatif
Pemilihan teknik terapi non-operatif penting dilakukan dengan baik pada pasien lansia, di mana status mental, tingkat aktivitas, kondisi kulit, serta risiko ulkus dekubitus perlu menjadi dasar pemilihan teknik yang paling sesuai.
Pada fraktur non-displaced, pendekatan non-operatif yang dapat digunakan berupa removable wrist splint atau casted/splinted in situ. Sementara itu, pada fraktur displaced teknik dapat berupa short arm casting dengan material fiberglass atau splinting dengan material plaster menggunakan teknik volar dorsal slab atau sugar tong.[1,2,4,6,11]
Kekurangan Pendekatan Non-Operatif
Pendekatan non-operatif bagi fraktur radius distal pada populasi lansia juga memiliki kekurangan. Terdapat kekhawatiran terjadinya pergeseran ulang pada fraktur displaced yang mendapat terapi non-operatif. Pada populasi lansia, risiko pergeseran ulang meningkat jika terapi non-operatif digunakan pada fraktur dengan dorsal angulation melebihi 20 derajat, dorsal comminution, fraktur intraartikuler radiokarpal, dan fraktur ulna bersamaan.
Selain itu, perlakuan terapi non-operatif pada fraktur radius distal tidak dapat menjamin kembalinya bentuk anatomis lengan dengan sempurna, sehingga dapat menyebabkan keluhan kosmetik pada pasien. Tidak hanya itu, terapi non-operatif juga dapat menyebabkan komplikasi anatomis seperti deformitas pada pergelangan tangan atau osteoarthritis pasca trauma.[6,11]
Kesimpulan
Fraktur radius distal merupakan salah satu fraktur tersering yang dialami oleh populasi lansia. Berbagai bukti ilmiah mengindikasikan bahwa terapi operatif pada kasus fraktur radius distal pada lansia tidak menghasilkan luaran klinis yang berbeda bermakna dengan terapi non-operatif. Tindakan operasi terbuka juga meningkatkan risiko komplikasi, biaya, serta lama rawat inap pada lansia.
Atas dasar ini, pendekatan non-operatif dapat menjadi pilihan yang baik untuk kasus-kasus yang memungkinkan, seperti fraktur radius distal dengan dorsal angulation kurang dari 10 derajat dan pemendekan radius kurang dari 3 mm.
Meski demikian, dalam memilih pendekatan terapi terbaik untuk lansia dengan fraktur radius distal, dokter tetap perlu mempertimbangkan pola fraktur, pekerjaan dan aktivitas harian pasien, risiko komplikasi, serta penyakit komorbid yang dimiliki. Waspadai risiko pergeseran ulang fragmen fraktur, kekurangan dalam segi kosmetik, dan risiko deformitas maupun osteoarthritis pasca trauma jika pendekatan non-operatif akan dipilih