Penanganan abses kulit sering diberikan antibiotik, termasuk abses tanpa komplikasi. Kebiasaan ini perlu dipertanyakan manfaatnya, terutama di era methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA).[1,2]
Pasien dengan skin and soft tissue infections (SSTI) umumnya datang ke dokter dengan kondisi abses atau selulitis. Namun, saat ini telah terjadi peningkatan prevalensi community-associated methicillin-resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA). Di Amerika Serikat, sekitar 59% pasien SSTI terinfeksi CA-MRSA.[1]
Di Indonesia, belum banyak data prevalensi MRSA. Penelitian di rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2014 menemukan MRSA pada 47% dari 171 pasien infeksi kulit dan jaringan lunak yang dirawat. Poliklinik kulit dan kelamin di rumah sakit Sanglah Denpasar tahun 2018 melaporkan 3 kasus MRSA, sedangkan rumah sakit Kariadi Semarang melaporkan 23 kasus infeksi luka operasi dengan MRSA.[3,4]
Sekilas tentang Abses Kulit
Abses kulit adalah kumpulan pus/nanah di dalam struktur kulit dan biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri. Secara klinis, abses kulit umum terjadi pada segala usia. Keluhan utama pasien adalah rasa sakit dan proses penyembuhan lesi kulit yang lama.[5]
Abses kulit tanpa komplikasi (uncomplicated) termasuk furunkel dan karbunkel, yang tidak disertai gejala sistemik, infeksi di jaringan yang lebih dalam, pustul/papul, dan hidradenitis supuratif. Selain itu, abses kulit tanpa komplikasi tidak pada pasien imunokompromais.[1,2]
Di Indonesia, abses kulit termasuk dalam kategori pioderma. Berdasarkan panduan praktik klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di Indonesia, pioderma adalah infeksi kulit dan jaringan lunak yang disebabkan oleh bakteri piogenik, yang tersering adalah Staphylococcus aureus dan Streptokokus β-hemolitik group A (S. pyogenes).[6]
Terdapat dua bentuk pioderma, yaitu superfisialis dengan lesi terbatas pada epidermis dan profunda yang mengenai epidermis dan dermis. Pioderma profunda dapat Terdapat disertai gejala konstitusi/sistemik dan rasa nyeri.[6]
Pedoman Penggunaan Antibiotik pada Abses Kulit
Strategi pengobatan abses kulit saat ini terdiri dari pemberian antibiotik yang cepat, disertai tindakan insisi dan drainase. Akan tetapi, bersamaan dengan peningkatan angka kejadian abses kulit, ditemukan peningkatan CA-MRSA.[7]
Oleh karena itu, pedoman klinis dari Infectious Diseases Society of America (IDSA) pada tahun 2014 tidak menyarankan penggunaan antibiotik untuk abses kulit tanpa komplikasi. Terapi utama abses kulit adalah insisi dan drainase, di mana antibiotik tidak diberikan pasca prosedur jika pasien tidak memiliki gejala sistemik seperti suhu >38℃, takipnea, takikardi, maupun leukositosis. Antibiotik dapat diberikan pada pasien dengan gangguan sistem imun.[8]
Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian antibiotik dapat meningkatkan penyembuhan jangka pendek untuk abses kulit tanpa komplikasi, sehingga guideline disarankan untuk ditinjau ulang.[2,9]
Sedangkan panduan praktik klinis PERDOSKI memberikan alur pengobatan pioderma ringan dengan antibiotik topikal, seperti mupirocin atau asam fusidat. Pada pioderma sedang-berat, antibiotik sistemik diberikan selama 7 hari. Jika tidak ada perbaikan setelah terapi antibiotik pilihan pertama, maka perlu dilakukan tes kultur dan resistensi.[6]
Penelitian Manfaat Antibiotik pada Abses Kulit Tanpa Komplikasi
Metaanalisis tahun 2018 mencari signifikansi dan pengaruh pemberian antibiotik untuk abses kulit tanpa komplikasi. Penelitian ini meninjau 14 randomized controlled trials (RCT) yang mencakup 4.198 pasien dengan populasi dewasa serta anak-anak. Pertanyaan penelitian adalah pengaruh antibiotik vs plasebo; pemberian cotrimoxazole atau clindamycin vs cephalosporin; dan pemberian cotrimoxazole vs clindamycin.[2,9]
Penelitian ini meninjau pengaruh dari kotrimoksazol dan clindamycin terutama karena efektivitasnya terhadap MRSA. Hasil analisis menemukan bahwa antibiotik dapat menurunkan jumlah kegagalan terapi (OR 0,58, 95% CI 0.37 – 0.90, kualitas rendah). Pemberian antibiotik juga menurunkan angka rekurensi di bulan pertama dan ketiga, rasa nyeri, dan angka rawat inap.[2,9]
Pemberian cotrimoxazole atau clindamycin lebih disarankan daripada cephalosporin. Cephalosporin tidak menurunkan angka kegagalan terapi saat dibandingkan dengan plasebo. Penelitian ini juga merekomendasikan pemberian cotrimoxazole daripada clindamycin, hal ini karena karena clindamycin memiliki risiko diare karena antibiotik yang 10% lebih tinggi. Untuk faktor kegagalan terapi, tidak ada perbedaan yang signifikan antara cotrimoxazole atau clindamycin.[2,9]
Penelitian prospektif double-blind pada tahun 2017 mempelajari penggunaan antibiotik clindamycin atau kotrimoksazol vs plasebo untuk0 abses kulit berukuran kecil (diameter < 5 cm). Angka penyembuhan di kelompok dengan pemberian antibiotik lebih tinggi daripada kelompok plasebo (68.9%, P<0.001).[1]
Penelitian randomized trial tahun 2015 meneliti perbedaan cotrimoxazole vs plasebo, dan menemukan bahwa pemberian antibiotik dapat meningkatkan angka penyembuhan. Pemberian antibiotik juga mengurangi keperluan drainase ulang, infeksi kulit baru, dan penyebaran infeksi kulit ke orang lain yang serumah.[7]
Antibiotik Tidak Signifikan Bermanfaat pada Abses Kulit Tanpa Komplikasi
Dua metaanalisis terdahulu tidak menemukan manfaat pemberian antibiotik sistemik bersama dengan insisi dan drainase jika dibandingkan dengan tindakan saja, pada pengobatan abses kulit tanpa komplikasi.[11,12]
Pertama adalah metaanalisis pada tahun 2014, yang memasukkan 4 penelitian dan menyertakan 589 pasien dewasa dan anak-anak. Penelitian menggunakan antibiotik cephradine, cephalexin, atau cotrimoxazole Kesimpulan analisis adalah antibiotik sistemik yang diberikan bersama insisi dan drainase tidak secara signifikan meningkatkan persentase pasien dengan resolusi lengkap abses.[11]
Metaanalisis kedua pada tahun 2015 mencakup 5 uji klinis acak dan 7 studi observasi, yang melibatkan 1.969 subjek. Hasil analisis tidak menemukan manfaat antibiotik terhadap penyembuhan abses kulit tanpa komplikasi.[12]
Perbedaan hasil antara kedua meta analisis ini dengan meta analisis terkini diperkirakan karena penggunaan antibiotik cephalosporin vs plasebo, juga karena perbedaan kekuatan penelitian mendeteksi pengaruh antibiotik yang ringan-sedang.[9]
Kesimpulan
Terdapat informasi mengenai manfaat pemberian antibiotik untuk penatalaksanaan tambahan abses kulit tanpa komplikasi. Metaanalisis tahun 2018 serta beberapa penelitian trial lainnya mendukung pemberian antibiotik, terutama yang efektif terhadap mikroba Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA), seperti cotrimoxazole atau clindamycin.
Hasil ini didukung oleh prevalensi MRSA yang terus meningkat, termasuk di Indonesia. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dan didiskusikan dengan pasien adalah efek samping gastrointestinal dari pemberian antibiotik tersebut. Walaupun guideline penatalaksanaan infeksi kulit dan jaringan lunak belum menyarankan pemberian antibiotik untuk abses kulit tanpa komplikasi, tetapi informasi terbaru ini dapat digunakan sebagai pertimbangan rencana terapi.
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini