Obat penurun asam lambung, seperti proton pump inhibitor (PPI) maupun H2 blocker, masih sering digunakan sebagai profilaksis stress ulcer pada pasien kritis. Profilaksis stress ulcer diberikan untuk mencegah perdarahan saluran cerna yang berkaitan dengan peningkatan risiko mortalitas pada pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif (ICU). Akan tetapi, efikasi dan keamanan penggunaan obat penurun asam lambung sebagai profilaksis stress ulcer masih dipertanyakan. Terdapat beberapa bukti yang mengaitkan pemberian penurun asam lambung dengan komplikasi, seperti infeksi Clostridium difficile dan gangguan ginjal.[1,2]
Faktor Risiko dan Mekanisme Terjadinya Stress Ulcer pada Pasien Kritis
Stress ulcer atau dapat disebut juga stress-induced gastritis/gastropathy dapat terjadi ketika lapisan mukosa saluran cerna mengalami gangguan karena adanya penyakit akut dan kritis yang menyebabkan stress sistemik yang merusak lapisan mukosa saluran cerna. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset penyakit kritis atau trauma berat.
Stress ulcer terjadi karena glikoprotein pada lapisan mukosa terkikis oleh adanya refluks dari cairan empedu atau toksin uremikum yang meningkat saat pasien memiliki penyakit kritis. Selain itu, adanya hipoperfusi, reaksi inflamasi, gangguan mekanisme perbaikan mukosa, gangguan mikrosirkulasi karena kondisi hipovolemia, rendahnya cardiac output, atau syok pada pasien-pasien kritis juga berkontribusi dalam menyebabkan terjadinya stress ulcer.[1-3]
Faktor Risiko Stress Ulcer pada Pasien Kritis
Beberapa faktor risiko terjadinya stress ulcer meliputi penggunaan ventilasi mekanik lebih dari 48 jam, gangguan koagulasi, sepsis, penggunaan kortikosteroid sistemik dosis tinggi, kerusakan multiorgan, luka bakar, dan riwayat perdarahan saluran cerna.
Insidensi perdarahan saluran cerna karena stress ulcer pada pasien-pasien kritis, terutama dengan penggunaan ventilasi mekanik, mencapai 6% dari pasien yang dirawat di ICU. Perdarahan saluran cerna merupakan peristiwa yang dapat mengancam nyawa karena dapat menyebabkan instabilitas hemodinamik, anemia berat, hingga meningkatkan keperluan transfusi darah. Pasien-pasien kritis yang mengalami perdarahan saluran cerna memiliki lama rawat inap yang lebih panjang disertai tingkat mortalitas yang lebih tinggi yaitu mencapai 65%.[4-6]
Pemberian Profilaksis Stress Ulcer pada Pasien Kritis
Pemberian profilaksis stress ulcer umum dilakukan pada pasien-pasien ICU di seluruh dunia. Pemberian profilaksis untuk stress ulcer direkomendasikan pada pasien dengan gangguan koagulasi, pasien dengan ventilasi mekanik lebih dari 48 jam, pasien yang dirawat di ICU lebih dari 1 minggu, pasien dengan sepsis, hipotensi, gangguan fungsi ginjal dan liver, riwayat perdarahan saluran cerna, luka bakar, penggunaan kortikosteroid dosis tinggi, serta riwayat trauma berat. Profilaksis stress ulcer yang umum diberikan adalah obat golongan proton pump inhibitor (PPI) seperti omeprazole, dan H2 blocker (H2RA) seperti ranitidine.
Berbagai pedoman internasional mengenai peran profilaksis stress ulcer tidak merekomendasikan penggunaan profilaksis stress ulcer pada pasien non-kritis dan tanpa faktor risiko stress ulcer. Hal ini karena pemberian penurun asam lambung telah dikaitkan dengan berbagai komplikasi signifikan, termasuk fraktur, hipomagnesemia, infeksi C.difficile, dan gangguan ginjal.[1,2,4]
Kontroversi Pemberian Profilaksis Stress Ulcer pada Pasien Kritis
Asam lambung merupakan pertahanan alami saluran cerna dalam melawan patogen. Pemberian profilaksis stress ulcer yang menurunkan asam lambung dan meningkatkan pH dari isi lambung dapat menyebabkan perubahan flora alami lambung dan meningkatkan kolonisasi bakteri patogenik. Selain itu, penurun asam lambung yang digunakan untuk profilaksis stress ulcer juga dilaporkan meningkatkan risiko kolitis Clostridium difficile dan pneumonia nosokomial. Penggunaan H2 blocker (H2RA) juga telah dilaporkan berkaitan dengan risiko trombositopenia, nefritis interstisial, dan delirium.[2,4,5]
Penggunaan Berlebihan Penurun Asam Lambung untuk Profilaksis Stress Ulcer pada Pasien Kritis
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa profilaksis stress ulcer sering diberikan secara berlebihan, terutama pada pasien-pasien di ICU. Studi oleh Aramesh et al (2022) melaporkan bahwa 20,5% pasien ICU dalam studi mereka mendapatkan profilaksis stress ulcer tanpa indikasi yang jelas. Preskripsi berlebihan profilaksis stress ulcer terjadi karena kebiasaan lama pemberian penurun asam lambung tanpa melihat indikasi dan efek samping dari obat penurun asam lambung.[6,7,9,10]
Sebuah meta analisis yang mengevaluasi hasil dari 57 uji klinis dengan total 7293 pasien menunjukkan bahwa pemberian PPI atau H2RA dapat menurunkan risiko perdarahan saluran cerna pada pasien ICU. Akan tetapi, pemberian penurun asam lambung ini meningkatkan risiko pneumonia. Hasil meta analisis ini menunjukkan bahwa PPI merupakan regimen profilaksis stress ulcer yang paling efektif dengan penurunan risiko absolut perdarahan saluran cerna dibandingkan tidak diberikan profilaksis mencapai sebesar 1,6% Sementara itu, risiko terjadinya pneumonia pada pemberian PPI dibandingkan yang tidak diberikan profilaksis mencapai lebih dari 3%.[8]
Kesimpulan
Obat penurun asam lambung kerap diberikan sebagai profilaksis stress ulcer pada pasien kritis yang dirawat di ICU. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa pemberian proton pump inhibitor (PPI) seperti omeprazole dan H2 blocker (H2RA) seperti ranitidine berkaitan dengan penurunan risiko perdarahan saluran cerna pada pasien kritis. Perdarahan saluran cerna sendiri telah diketahui meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien secara bermakna.
Akan tetapi, pemberian penurun asam lambung untuk profilaksis stress ulcer juga membawa risiko signifikan, termasuk peningkatan kejadian pneumonia nosokomial dan kolitis akibat infeksi Clostridium difficile. Oleh sebab itu, pemberian penurun asam lambung untuk profilaksis stress ulcer tidak dianjurkan dilakukan secara rutin dan universal pada semua pasien kritis. Penurun asam lambung harus diberikan dengan menimbang indikasi klinis pada masing-masing pasien, beserta rasio manfaat dan risiko yang didapat.
Penulisan pertama oleh: dr. Shofa Nisrina Luthfiyani