Penghentian obat golongan angiotensin-converting enzyme inhibitor atau ACE inhibitor dan angiotensin II receptor blocker atau ARB 24 jam sebelum operasi nonkardiak belum direkomendasikan oleh pedoman klinis yang ada. Namun, efek hipotensi intraoperatif yang ditimbulkan kedua golongan obat ini membuat keamanannya pada pasien yang hendak menjalani operasi nonkardiak mulai diteliti ulang.
Obat-obat ACE inhibitor dan ARB tergolong sebagai antagonis sistem renin-angiotensin aldosteron (RAAS). Dalam 2 dekade terakhir, obat-obatan ini semakin sering digunakan karena efektivitasnya untuk menangani hipertensi, gagal jantung kongestif, penyakit jantung koroner, serta nefropati diabetikum dilaporkan baik. Banyak pasien memakai obat-obatan ini dalam jangka panjang.[1-6]
Di lain sisi, ada lebih dari 200 juta orang menjalani operasi nonkardiak setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, ada jutaan orang yang meninggal atau menderita komplikasi vaskular pada masa perioperatif, contohnya hipotensi perioperatif. Hipotensi perioperatif diketahui berhubungan dengan kejadian infark miokard, stroke, hingga kematian.[7]
Penggunaan ACE Inhibitor dan ARB dalam Praktik Medis Saat Ini
Pedoman dari American College of Cardiology dan American Heart Association masih memperbolehkan penggunaan obat ACE inhibitor dan ARB pada operasi nonkardiak. Namun, rekomendasi tersebut didasarkan pada randomized controlled trial yang kecil dan studi observasi dengan risiko bias tinggi.
Dalam praktik nyata sehari-hari, banyak spesialis anestesi memilih untuk menghentikan obat ACE inhibitor dan ARB pada hari operasi untuk menghindari hipotensi intraoperatif. Contoh obat ACE inhibitor adalah captopril dan enalapril, sedangkan contoh obat ARB adalah candesartan dan valsartan.[8,9]
Karena bukti yang menjelaskan efek kedua obat tersebut pada masa perioperatif belum adekuat, saat ini penggunaan kedua obat tersebut masih berdasarkan preferensi klinisi dan peraturan di fasilitas kesehatan setempat.[7]
Pengaruh ACE Inhibitor dan ARB terhadap Masa Perioperatif
Penggunaan agen anestesi pada pasien yang menjalani operasi akan menurunkan pengaruh sistem saraf simpatis pada tonus otot vaskular, sehingga pengaturan tekanan darah akan tergantung pada sistem vasopresor dan renin-angiotensin. Oleh karena itu, obat-obat yang memengaruhi RAAS akan berpengaruh besar terhadap kontrol tekanan darah selama operasi setelah induksi anestesi umum.[7]
Efek paling signifikan dari antagonis sistem renin-angiotensin adalah vasodilatasi, yang didasari berbagai mekanisme berikut:
- Inhibisi langsung pada sistem simpatetik
- Peningkatan bioavailabilitas agen vasodilator seperti bradikinin, nitric oxide (NO), dan prostasiklin
- Inhibisi efek vasokonstriksi angiotensin II baik langsung maupun tidak langsung
- Penurunan sekresi aldosteron dan hormon antidiuretik (ADH)
Keempat mekanisme tersebut pada akhirnya akan menyebabkan penurunan reabsorpsi garam dan air oleh ginjal dan menurunkan tekanan darah.[1]
Konsumsi obat golongan ACE inhibitor ataupun angiotensin II receptor blockers (ARB) dapat menyebabkan hipotensi setelah induksi anestesi karena agen anestesi akan menurunkan resistensi vaskular, sehingga terjadi penurunan pengisian jantung.[10-12]
Oleh karena itu, pengguna ACE inhibitor dan ARB yang mengalami hipotensi setelah induksi anestesi perlu diberi terapi cairan untuk menjaga volume sirkulasi, ditambah dengan agonis arginin-vasopresin untuk meningkatkan respons pembuluh darah terhadap katekolamin endogen.[10-12]
Terapi-terapi tersebut bertujuan untuk meningkatkan resistensi vaskular dan venous return, sehingga pengantaran oksigen menuju miokardium akan meningkat bersamaan dengan peningkatan kontraktilitas jantung.[10-12]
Manfaat Penghentian ACE Inhibitor dan ARB pada Masa Perioperatif
Beberapa literatur menyatakan bahwa penghentian ACE inhibitor dan ARB pada masa perioperatif tidak berpengaruh signifikan pada kejadian hipotensi pascaoperasi. Namun, penghentian obat-obat ini dapat menyebabkan:
- Peningkatan respons pasien terhadap pemberian efedrin dan fenilefrin, sehingga mengurangi kebutuhan dosis vasokonstriktor
- Penurunan risiko relatif kejadian gabungan berupa kematian, stroke, dan infark miokard setelah operasi nonkardiak sebesar 18%
- Penurunan risiko hipotensi intraoperatif sebanyak 20%[7,13]
Penggunaan ACE inhibitor dan ARB sebelum operasi meningkatkan risiko sebesar 1,5 kali lipat pada pasien untuk mengalami hipotensi sesaat setelah induksi anestesi hingga memerlukan vasopressor. Hipotensi perioperatif dikaitkan dengan berbagai komplikasi seperti yang telah disebutkan di atas.[7]
Roshanov, et al. memperkirakan bahwa jika seluruh pasien yang mengonsumsi ACE inhibitor dan ARB menghentikan obat-obatan tersebut di masa perioperatif, maka 5,9% atau sekitar 500.000 pasien per tahunnya akan terhindar dari kematian, infark miokard, dan stroke dalam waktu 30 hari pascaoperasi.[7]
Rekomendasi Penghentian ACE Inhibitor dan ARB pada Masa Perioperatif
Obat golongan ACE inhibitor dan ARB dianjurkan untuk dihentikan 24 jam sebelum operasi. Akan tetapi, ada juga sumber lain yang menyebutkan bahwa operasi dapat dilakukan setelah waktu paruh ACE inhibitor dan ARB terlewati. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa efek obat-obatan tersebut sudah tidak signifikan dan risiko hipotensi perioperatif sudah tidak tinggi.[1,7,14]
Pada kondisi medis tertentu, penggunaan ACE inhibitor dan ARB sebelum operasi tetap dianjurkan, seperti pada kasus gagal jantung (terutama gagal jantung sistolik) dan pada kasus penyakit ginjal. Apabila penggunaan ACE inhibitor dan ARB tidak dihentikan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
- Sebelum induksi anestesi, tingkatkan volume intravaskular untuk menjaga stabilitas hemodinamik
- Setelah induksi anestesi, cegah hipotensi dengan agen simpatomimetik
- Penggunaan antiaritmia (misalnya amiodaron) pada pasien kelainan jantung secara bersamaan dengan ACE inhibitor perlu diawasi dengan ketat karena dapat menyebabkan hipotensi refrakter[1]
Pedoman European Society of Cardiology (ESC) menganjurkan penghentian obat ACE inhibitor dan ARB pada hari pelaksanaan operasi dan menekankan bahwa pemberian ACE inhibitor serta ARB pascaoperasi perlu dilakukan dengan memastikan kecukupan volume darah.[15]
Rekomendasi yang sama juga dikemukakan oleh Japanese Society of Hypertension, yang menganjurkan penghentian ACE inhibitor dan ARB untuk mencegah penurunan tekanan darah atau disfungsi ginjal yang disebabkan oleh penurunan volume cairan tubuh pada pasien operatif.[16]
Penggunaan Kembali ACE Inhibitor dan ARB Pascaoperasi Nonkardiak
Beberapa sumber menemukan bahwa ACE inhibitor dan ARB perlu diberikan kembali kepada pasien setelah operasi. Pasien yang tidak diberikan ACE inhibitor dan ARB pascaoperasi memiliki mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi secara bermakna:
- Peningkatan kejadian pneumonia pascaoperasi (4,2% vs 3%)
- Peningkatan kejadian gagal ginjal pascaoperasi (4,2% vs 3,2%)
- Peningkatan kejadian gagal jantung (4,3% vs 3,7%)[13]
Lee, et al. menganjurkan pemberian kembali ACE inhibitor dan ARB pada hari kedua pascaoperasi. Hal ini didasarkan pada temuan bahwa hipotensi perioperatif terparah terjadi pada hari pertama pascaoperasi, sehingga pemberian pada hari kedua dinilai aman dan efektif untuk mempertahankan kondisi pasien semaksimal mungkin.[13]
Kesimpulan
Saat induksi anestesi dilakukan, kontrol tekanan darah akan tergantung pada sistem vasopresor dan renin-angiotensin. Obat yang memengaruhi sistem tersebut, misalnya ACE inhibitor dan ARB, akan menyebabkan hipotensi intraoperatif. Studi menunjukkan bahwa hipotensi intraoperatif berkaitan dengan berbagai komplikasi, seperti kematian, stroke, dan infark miokard.
Penghentian ACE inhibitor dan ARB sejak 24 jam sebelum operasi bisa mengurangi risiko hipotensi intraoperatif, kematian, stroke, dan infark miokard pascaoperasi. Studi memperkirakan 5,9% atau sekitar 500.000 pasien akan terhindar dari kematian per tahun jika obat-obatan tersebut dihentikan. Penghentian ini dilakukan sampai hari kedua pascaoperasi sebelum obat-obatan tersebut dilanjutkan kembali.
Di sisi lain, dokter juga harus memperhatikan kondisi medis di mana ACE inhibitor dan ARB sebaiknya dilanjutkan saja, seperti pada kasus gagal jantung sistolik atau penyakit ginjal. Pada kondisi ini, tingkatkan volume intravaskular sebelum induksi anestesi dan berikan agen simpatomimetik setelah induksi anestesi selesai.
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur