Masuk atau Daftar

Alo! Masuk dan jelajahi informasi kesehatan terkini dan terlengkap sesuai kebutuhanmu di sini!
atau dengan
Facebook
Masuk dengan Email
Masukkan Kode Verifikasi
Masukkan kode verifikasi yang telah dikirimkan melalui SMS ke nomor
Kami telah mengirim kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Kami telah mengirim ulang kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Terjadi kendala saat memproses permintaan Anda. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.
Selanjutnya

Tidak mendapatkan kode? Kirim ulang atau Ubah Nomor Ponsel

Mohon Tunggu dalam Detik untuk kirim ulang

Apakah Anda memiliki STR?
Alo, sebelum melanjutkan proses registrasi, silakan identifikasi akun Anda.
Ya, Daftar Sebagai Dokter
Belum punya STR? Daftar Sebagai Mahasiswa

Nomor Ponsel Sudah Terdaftar

Nomor yang Anda masukkan sudah terdaftar. Silakan masuk menggunakan nomor [[phoneNumber]]

Masuk dengan Email

Silakan masukkan email Anda untuk akses Alomedika.
Lupa kata sandi ?

Masuk dengan Email

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk akses Alomedika.

Masuk dengan Facebook

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk verifikasi akun Alomedika.

KHUSUS UNTUK DOKTER

Logout
Masuk
Download Aplikasi
  • CME
  • Webinar
  • E-Course
  • Diskusi Dokter
  • Penyakit & Obat
    Penyakit A-Z Obat A-Z Tindakan Medis A-Z
Penatalaksanaan Neural Tube Defect general_alomedika 2022-11-04T15:25:59+07:00 2022-11-04T15:25:59+07:00
Neural Tube Defect
  • Pendahuluan
  • Patofisiologi
  • Etiologi
  • Epidemiologi
  • Diagnosis
  • Penatalaksanaan
  • Prognosis
  • Edukasi dan Promosi Kesehatan

Penatalaksanaan Neural Tube Defect

Oleh :
dr.Shofa Nisrina Luthfiyani
Share To Social Media:

Tata laksana utama neural tube defect adalah pembedahan. Pembedahan dapat dilakukan saat bayi masih di dalam kandungan atau setelah bayi lahir. Tata laksana medikamentosa hanya digunakan untuk menangani gejala neurogenik pada saluran pencernaan atau saluran kemih.

Pembedahan Prenatal

Pembedahan prenatal merupakan salah satu alternatif tata laksana neural tube defect. Pada kasus NTD yang terbuka, adanya kontak langsung antara korda spinalis dan cairan amnion serta trauma mekanik antara korda spinalis dan lingkungan intrauterin akan meningkatkan kerusakan pada saraf. Hal inilah yang menyebabkan perlunya pembedahan intrauterin pada janin.

Sebelum dilaksanakan pembedahan, pemeriksaan prenatal secara ekstensif, seperti pemeriksaan genetik, USG, dan MRI perlu dilakukan pada janin. Pembedahan intrauterin dilakukan dengan cara laparotomi dan histerotomi. Janin diposisikan sehingga lesi dapat terlihat melalui insisi uterus.

Membran kistik di atas defek akan dieksisi dan penempelan antara meninges dengan jaringan lunak di sekitarnya akan dilepaskan. Lapisan dura akan ditutup di atas korda spinalis lalu dilanjutkan dengan penutupan lapisan paraspinal myofascial dan kulit di atas lesi.

Jika kulit tidak dapat digunakan untuk menutupi defek, graft aseluler dari kulit manusia dapat digunakan untuk menutupi defek. Selama proses pembedahan ini, tindakan manipulasi terhadap uterus, penempatan janin, dan keluarnya cairan amnion secara tidak disengaja akan mengganggu sirkulasi plasenta sehingga pemantauan terhadap janin harus dilakukan secara ketat.[29,30]

Saat ini, teknik fetoskopi dapat dijadikan alternatif pembedahan prenatal selain metode histerotomi. Akan tetapi, metode ini perlu diperhatikan kembali karena dapat meningkatkan risiko ruptur membran prematur dan kelahiran prematur.[31]

Tindakan pembedahan prenatal ini dinilai dapat mengurangi kebutuhan pemasangan pirau ventrikuloperitoneal (40% pada kelompok pembedahan prenatal dan 82% pada kelompok pembedahan pasca natal), meningkatkan fungsi neuromotor saat usia 30 bulan (persentase anak yang dapat berjalan secara mandiri pada usia 30 bulan adalah 42% pada kelompok pembedahan prenatal dan 21% pada kelompok pembedahan post natal), dan menurunkan kejadian herniasi otak belakang (tidak ada herniasi otak belakang pada 36% kelompok pembedahan prenatal dan 4% pada kelompok pembedahan pasca natal).[28]

Di sisi lain, pembedahan prenatal juga memiliki beberapa risiko yaitu dapat meningkatkan risiko ruptur spontan dari membran, kelahiran prematur, dan penipisan jaringan parut histerotomi.[29,31]

Pembedahan Pasca Lahir

Pembedahan pasca lahir dilakukan berdasarkan tipe dan tingkat keparahan NTD. Pembedahan biasanya dilakukan 48 jam pasca lahir. Setelah pembedahan, antibiotik perlu diberikan untuk mengurangi risiko infeksi. Pembedahan pasca lahir dilakukan untuk mencegah infeksi jaringan yang terpapar dengan lingkungan dan melindungi jaringan yang terpapar dari trauma lebih lanjut.[5]

Bayi dengan mielomeningokel biasanya mengalami hidrosefalus, baik ringan, sedang, atau berat. Pemasangan pirau ventrikuloperitoneal pada hidrosefalus dapat dilakukan bersamaan dengan penutupan defek atau dilakukan 5 – 10 hari pasca penutupan defek. Semakin lama kondisi hidrosefalus tidak ditangani, maka semakin meningkat juga tekanan intrakranial.

Peningkatan tekanan intrakranial akan menunjukkan gejala berupa bradikardi, ubun-ubun yang menonjol, tidak mau makan, muntah, iritabel, letargi, dan apneu. Jika keadaan pasien tidak memungkinkan untuk pemasangan pirau ventrikuloperitoneal, seperti pada bayi prematur, pemasangan pirau subgaleal dapat dilakukan sebagai tata laksana sementara.[32,33]

Perawatan Bayi Baru Lahir dengan Neural Tube Defect

Bayi yang lahir dengan neural tube defect diusahakan selalu dalam posisi tengkurap sehingga kontak antara defek dengan lingkungan minimal. Selain itu, defek ditutup oleh dressing yang steril sehingga terhindar dari kontaminasi dan ekskoriasi. Hal ini juga bertujuan agar kelembaban selalu terjaga.

Pemberian antibiotik profilaksis dapat dipertimbangkan terutama jika pembedahan untuk menutup defek baru dapat dilakukan lebih dari 72 jam pasca kelahiran. Pemeriksaan swab pada defek dilakukan untuk menentukan antibiotik profilaksis sebelum tindakan dan hanya dilanjutkan jika ada indikasi.[34]

Tata Laksana Medikamentosa

Tata laksana medikamentosa hanya diberikan pada pasien dengan gangguan neurogenik pada saluran pencernaan atau saluran kemih. Untuk menjaga fungsi renal, tekanan pada kandung kemih harus dijaga agar tetap rendah sejak lahir.

Pemasangan kateter intermiten dan pemberian obat untuk menurunkan aktivitas detrusor dapat diberikan. Akan tetapi, tindakan ini dapat meningkatkan risiko infeksi saluran kemih sehingga beberapa pasien membutuhkan profilaksis infeksi dalam jangka waktu lama.[35]

Pasien dengan spina bifida biasanya mengalami inkontinensia fekal dan hipomotilitas berat. Pada pasien ini, pemberian enema dan diet yang sesuai perlu dilakukan.[36]

Pemantauan

Pemantauan jangka panjang yang perlu dilakukan pada pasien neural tube defect adalah:

  • Lingkar kepala: untuk menilai pertumbuhan otak dan mendeteksi hidrosefalus
  • Komplikasi neurologi seperti kejang atau siringomielia
  • Komplikasi urologi seperti retensi urine atau refluks urine
  • Fungsi ginjal
  • Abnormalitas ortopedi terutama pada anggota gerak di bawah lesi
  • Perkembangan neuropsikologi (kemampuan belajar, intelektual)
  • Mobilisasi
  • Perawatan kulit, terutama pada area yang kehilangan sensori[5]

 

 

Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja

 

Referensi

5. Mitchell LE, Adzick NS, Melchionne J, Pasquariello PS, Sutton LN, Whitehead AS. Spina bifida. Lancet. 2004 Nov 20-26;364(9448):1885-95
28. Sepulveda W, Wong AE, Sepulveda F, Alcalde JL, Devoto JC, Otayza F. Prenatal diagnosis of spinal bifida: from intracranial translucency to intrauterine surgery. Child Nerv Syst. 2017;33(7):1083-99
29. Danzer E, Johnson MP. Fetal surgery for neural tube defects. Seminars in fetal & Neonatal Medcine 19. 2014:2-8
30. Danzer E, Johnson MP, Adzick NS. Fetal surgery for myelomeningocele: progress and perspectives. Dev Med Child Neurol 2012;54:8e14
31. Kabagambe SK, Jensen GW, Chen YJ, Vanover MA, Farmer DL. Fetal surgery for myelomeningocele: a systematic review and meta-analysis of outcomes in fetoscopic versus open repair. Fetal Diagn Ther. 2018;43:161-74
32. Arslan M, Eseoglu M, Gudu BO, Demir I, Kozan A, Gokalp A, Sosuncu E, Kiymaz N. Comparison of simultaneous shunting to delayed shunting in infants with myelomeningocele in terms of shunt infection rate. Turk Neurosurg. 2011;21(3):397-402
33. Margaron FC, Peonaru D, Bransford R, Albright AL. Timing of ventriculoperitoneal shunt insertion following spina bifida closure in kenya. Childs Nerv Syst. 2010;26(11):1523-8
34. Thompson, DNP. Postnatal management and outcome for neural tube defects including spina bifida and encephalocoeles. Prenatal Diagnosis, 2009;29(4), 412–419
35. de Jong TP, Chrzan R, Klijn AJ, Dik P. Treatment of the neurogenic bladder in spina bifida. Pediatr Nephrol. 2008;23(6):889–896. doi:10.1007/s00467-008-0780-7
36. Bischoff A, Levitt MA, Peña A. Bowel management for the treatment of pediatric fecal incontinence. Pediatr Surg Int. 2009;25(12):1027–1042

Diagnosis Neural Tube Defect
Prognosis Neural Tube Defect

Artikel Terkait

  • Rasionalisasi Pemberian Asam Folat pada Kehamilan
    Rasionalisasi Pemberian Asam Folat pada Kehamilan
Diskusi Terkait
dr. Nurul Falah
Dibalas 20 April 2021, 12:23
Mungkinkah ini meningocele?
Oleh: dr. Nurul Falah
1 Balasan
Alo dokter, seorang istri mengeluh suaminya yang berusia 29 tahun mengalami keluhan benjolan di punggung bagian bawah tepat di area tulang belakang. Hal ini...

Download Aplikasi Alomedika & Ikuti CME Online-nya!
Kumpulkan poin SKP sebanyak-banyaknya!

  • Tentang Kami
  • Advertise with us
  • Syarat dan Ketentuan
  • Privasi
  • Kontak Kami

© 2024 Alomedika.com All Rights Reserved.