Kortikosteroid umumnya digunakan untuk terapi reaksi lepra. Lepra merupakan infeksi kronis yang disebabkan Mycobacterium leprae. Lepra dapat menyerang saraf perifer, kulit, saluran napas bagian atas, dan organ-organ lain. Salah satu penyebab kerusakan saraf pada penyakit lepra adalah reaksi lepra.[1,2]
Terapi utama reaksi lepra adalah kortikosteroid, yang diberikan sebagai antiinflamasi dengan dosis lebih tinggi dibandingkan dosis fisiologis. Rekomendasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, yang mengacu pada rekomendasi WHO, menetapkan dosis standar kortikosteroid selama 12 minggu.[1]
Peran Kortikosteroid untuk Mengatasi Reaksi Lepra
Reaksi lepra merupakan reaksi hipersensitivitas, yaitu hipersensitivitas selular pada reaksi tipe 1 (reversal reactions), dan hipersensitivitas humoral pada reaksi tipe 2 (erythema nodosum leprosum). Reaksi lepra disebabkan oleh respons imun antara host dan Mycobacterium leprae.[1,3]
Reaksi lepra dapat terjadi sebelum terapi, tetapi terutama lebih sering terjadi selama atau sesudah terapi, bahkan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun setelah terapi selesai. Gejala yang dapat timbul antara lain fatigue, demam, arthritis, neuritis, dan gejala nasofaringeal. Neuritis berpotensi menyebabkan paralisis dan deformitas.[1,4,5]
Kortikosteroid kemungkinan bekerja dengan cara mengendalikan inflamasi akut dan meredakan nyeri terkait. Pada praktik sehari-hari, terdapat kesepakatan bahwa semakin dini kortikosteroid diberikan pasca onset kerusakan saraf, semakin besar keberhasilan pencegahan gangguan fungsi saraf permanen.[2,4]
Studi Terkait Peran Kortikosteroid pada Reaksi Lepra
Terdapat beberapa studi yang mempelajari peran kortikosteroid pada reaksi lepra.
Studi Siagian, et al.
Studi kohort retrospektif oleh Siagian, et al. meneliti perbedaan efektivitas dan efek samping pemberian kortikosteroid selama 12 minggu dibandingkan dengan pemberian selama >12 minggu. Subjek adalah pasien lepra yang berobat ke 2 fasilitas kesehatan di Jakarta dalam kurun waktu 1 Januari 2017 sampai 31 Desember 2017. Hasil studi pada 195 pasien menunjukkan bahwa 29,2% mendapatkan kortikosteroid selama 12 minggu, sedangkan 70,8% mendapatkan kortikosteroid selama >12 minggu.[1]
Sebanyak 66,7% dari kelompok 12 minggu dan 76,8% dari kelompok >12 minggu menunjukkan efektivitas terapi, yakni perbaikan klinis tanpa rekurensi setelah 3 bulan. Namun, kelompok >12 minggu melaporkan efek samping yang lebih banyak. Dari 145 pasien, efek samping terjadi pada 31,6% pasien kelompok 12 minggu dan 65,4% dari kelompok >12 minggu.[1]
Dalam studi ini, ditemukan 171 efek samping. Sekitar 37,4% di antaranya bersifat ringan, seperti dispepsia, gangguan kulit, dan lipodistrofi. Sementara itu, 62,6% adalah efek samping berat, seperti gangguan neuropsikiatri, gangguan mata, penyakit kardiovaskular, perdarahan saluran cerna, gangguan metabolik-hormonal dan reaktivasi infeksi.[1]
Tinjauan Veen, et al.
Sebuah tinjauan studi oleh Veen, et al. meninjau 5 uji klinis acak yang melibatkan 576 orang untuk menilai kerusakan saraf akibat lepra. Kelima uji klinis tersebut memiliki risiko bias rendah, tetapi kualitas evidence-nya dinilai sedang hingga rendah karena ukuran sampel yang kecil.[2]
Sebanyak 2 dari 5 uji klinis melaporkan perbaikan fungsi saraf dalam 1 tahun. Kedua uji tersebut membandingkan prednisolon dengan plasebo. Uji yang pertama melibatkan 84 subjek dengan gangguan sensori berdurasi <6 bulan, sedangkan uji kedua melibatkan 95 subjek dengan gangguan fungsi saraf berdurasi 6-24 bulan. Kedua uji coba tersebut melaporkan bahwa setelah 12 bulan, tidak ada perbedaan signifikan perbaikan fungsi saraf dan efek samping antara kelompok prednisolon dan plasebo.[2]
Uji klinis ketiga (334 subjek) membandingkan 3 regimen kortikosteroid untuk reaksi tipe 1 yang berat. Uji tersebut melaporkan bahwa respons terapi pasien yang mendapat kortikosteroid selama 5 bulan lebih baik daripada yang mendapat kortikosteroid selama 3 bulan. Tidak ada efek samping serius yang dilaporkan pada periode follow-up.[2]
Uji keempat (21 subjek) membandingkan efek prednison dosis rendah dan dosis tinggi terhadap neuropati ulnar. Didapatkan efek samping pada 2 subjek kelompok dosis tinggi. Uji kelima membandingkan metilprednisolon intravena dan prednisolon oral dengan larutan salin intravena dan prednisolon oral. Tidak ada perbedaan signifikan angka kejadian efek samping pada kedua kelompok tersebut.[2]
Tinjauan studi tersebut menyimpulkan bahwa terapi lini utama untuk kerusakan saraf akibat lepra adalah kortikosteroid. Meskipun dikenal memiliki efek samping, regimen standar kortikosteroid tampaknya tidak lebih berbahaya dibandingkan plasebo. Namun, para penulis juga menyatakan bahwa masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui regimen kortikosteroid yang optimal untuk efektivitas dan keamanan jangka panjang.[2]
Studi Smith, et al.
Studi lain oleh Smith, et al. meneliti apakah penambahan kortikosteroid pada regimen multidrug dapat mencegah reaksi lepra dan gangguan fungsi saraf. Studi tersebut melibatkan 636 subjek. Kelompok intervensi diberikan prednisolon 20 mg/hari selama 3 bulan, dilanjutkan dosis tapering-off pada bulan keempat. Hasilnya, prednisolon memiliki efek signifikan dalam mencegah reaksi kusta dan gangguan fungsi saraf pada 4 bulan pertama, tetapi efek tersebut tidak bertahan setelah 1 tahun.[6]
Dosis dan Cara Penggunaan
Secara umum, regimen kortikosteroid yang direkomendasikan untuk mengatasi kerusakan saraf dimulai dari dosis 40 mg prednisolon per hari selama 12 minggu. Namun, prednisolon memiliki beberapa kekurangan. Terapi jangka panjang dapat menyebabkan efek samping serius, seperti ulkus peptikum, katarak, atau psikosis.[1,2]
Pada reaksi tipe 1, kortikosteroid diindikasikan pada kasus yang cukup berat hingga menyebabkan ulserasi kulit, terdapat neuritis, atau kasus yang tidak dapat terkontrol oleh obat antiinfamasi nonsteroid (OAINS). Kortikosteroid yang umum diberikan adalah prednisolon oral. Idealnya, dosis awal dimulai dari 0,5-1 mg/kgBB/hari. Perhatikan agar dosis yang diberikan cukup untuk mencapai efektivitas terapi, tetapi tidak terlalu banyak sehingga menyebabkan beragam efek samping.[4,7]
Pada reaksi tipe 2, prednisolon diberikan pada kasus berat (ENLIST severity score >8) dengan dosis 30-40 mg/hari. Tabel 1 menampilkan jadwal pemberian kortikosteroid untuk reaksi lepra.[4,7]
Tabel 1. Jadwal dan Dosis Pemberian Kortikosteroid untuk Reaksi Lepra
Sumber: Krisandryka Wijaya. 2025.
Kesimpulan
Lepra adalah infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan dapat menyebabkan kerusakan pada saraf perifer, kulit, serta organ lainnya. Salah satu penyebab kerusakan saraf pada lepra adalah reaksi lepra, yang dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah terapi. Untuk mengatasi reaksi lepra, kortikosteroid digunakan sebagai terapi utama dan berperan mengendalikan inflamasi dan meredakan nyeri.
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid dalam jangka waktu 12 minggu dapat efektif untuk memperbaiki kondisi pasien tanpa menyebabkan rekurensi setelah 3 bulan. Namun, pemberian kortikosteroid >12 minggu meningkatkan risiko efek samping, termasuk masalah neuropsikiatri, kardiovaskular, dan gangguan metabolik.
Meskipun memiliki banyak efek samping, kortikosteroid tetap menjadi lini utama untuk mengatasi kerusakan saraf akibat lepra, dengan dosis yang disesuaikan agar dapat mengurangi risiko terjadinya efek samping berbahaya. Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk menentukan regimen terbaik yang mengutamakan efektivitas dan keamanan jangka panjang.