Pilihan terapi untuk kasus cedera anterior cruciate ligament (ACL) umumnya mencakup terapi konservatif dan pembedahan. Cedera ACL sendiri memiliki tingkat variasi yang tinggi dalam presentasi klinisnya, sehingga pengelolaan perlu dipertimbangkan secara individual dan disesuaikan dengan situasi khusus dari setiap pasien, termasuk demografi, tingkat keparahan cedera, dan ekspektasi pemulihan jangka panjang.
Cedera ACL merupakan tipe cedera ligamen yang paling sering ditemukan. Beberapa data menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna dalam hal luaran terapi konservatif dengan pembedahan. Namun, hal ini masih menuai perdebatan sehubungan dengan banyaknya pasien yang tetap memiliki keluhan setelah menjalani terapi konservatif maupun tindakan rekonstruksi ACL.[1,2]
Cedera Anterior Cruciate Ligament
Anterior cruciate ligament (ACL) merupakan salah satu dari dua cruciate ligament yang membentuk sendi lutut, dan bertindak sebagai pendeteksi perubahan gerakan, letak posisi sendi lutut, perubahan kecepatan, akselerasi, dan rigiditas sendi. Apabila terjadi cedera ACL, umumnya akan ditemukan pula dampak kerusakan pada struktur lutut lain, seperti kartilago artikular, meniskus, atau ligamen lain.[1,2]
Mekanisme Cedera Anterior Cruciate Ligament
Mekanisme cedera ACL dapat diklasifikasikan menjadi kontak langsung, kontak tidak langsung, dan non-kontak. Mekanisme utama yang menjadi penyebab robekan ACL biasanya adalah perubahan arah gerak dan kecepatan tiba-tiba saat permukaan telapak kaki menapak ke tanah.
Pada pria, cedera ACL biasanya dikaitkan dengan cedera kontak langsung, sedangkan wanita lebih sering mengalami cedera kontak tidak langsung, yang tentunya berhubungan dengan jenis olahraga yang biasa diikuti. Pendekatan tata laksana baik pada pria maupun wanita adalah sama, bergantung pada derajat beratnya cedera yang dialami.[1,2]
Deteksi Cedera Anterior Cruciate Ligament
Pasien dengan cedera ACL akan mengeluhkan sensasi meletup di lutut, bengkak, nyeri hebat yang signifikan, serta instabilitas sendi. Pemeriksaan fisik pada sendi lutut, dapat dilakukan untuk mendiagnosis cedera ACL pada praktik klinis sehari-hari.
Pemeriksaan rontgen lutut mungkin diperlukan untuk mengeliminasi kemungkinan fraktur tulang, sedangkan MRI dilakukan untuk melihat derajat kerusakan pada cedera ACL dan menilai apakah terjadi kerusakan pada struktur sendi lainnya. Terapi definitif dapat segera dilakukan, baik dengan pendekatan konservatif maupun tindakan bedah, untuk mengembalikan mobilitas dan menjaga fungsi sendi lutut.[1,2]
Perbedaan Terapi Konservatif dengan Tindakan Bedah pada Penanganan Cedera Anterior Cruciate Ligament
Terapi konservatif dan tindakan bedah memiliki perbedaan, bukan hanya pada pemikiran apakah pasien memerlukan tindakan rekonstruksi, tetapi juga pada jenis tindakan rehabilitasi apa yang diperlukan hingga rekomendasi olahraga ke depan yang diperbolehkan.[1]
Pendekatan Konservatif
Pasien yang diterapi dengan pendekatan konservatif akan memerlukan terapi fisik untuk menguatkan otot-otot di sekitar lutut, terutama otot quadriceps femoris dan hamstring. Meski begitu, perlu digarisbawahi bahwa tanpa tindakan bedah, lutut akan tetap tidak stabil dan rentan terhadap cedera.
Menurut beberapa studi dengan jumlah sampel yang kecil, pendekatan konservatif dapat memberikan hasil yang baik dalam beberapa kasus cedera ACL. Sebuah studi yang melibatkan 85 partisipan menunjukkan bahwa sebagian besar pasien dengan tingkat cedera ACL derajat 1 yang menjalani terapi konservatif tidak memerlukan rekonstruksi setahun setelah cedera. Namun, harus dicatat bahwa pasien yang menjalani terapi konservatif tetap mungkin memerlukan rekonstruksi di kemudian hari.
Bila terapi konservatif dipilih, maka terapi sebaiknya dimulai dalam dua minggu setelah cedera ACL dengan program rehabilitasi yang ketat untuk membangun kekuatan struktur yang cedera. Rehabilitasi sangat penting untuk mengembalikan rentang gerak lutut, mengelola nyeri, mengurangi bengkak, memungkinkan ambulasi dini, dan memulai latihan penguatan otot.[1-4]
Pendekatan Bedah
Pada kasus ruptur ACL total, pasien yang tidak menjalani pembedahan memiliki prognosis yang jauh lebih buruk. Pada beberapa kasus pasien dengan ruptur total yang tidak menjalani tindakan repair tidak dapat berpartisipasi dalam olahraga yang melibatkan gerakan memotong atau memutar, sedangkan yang lain mengalami instabilitas sendi dan kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti berjalan.[1]
Meski begitu, perlu diketahui bahwa beberapa pasien yang menjalani rekonstruksi ACL tetap dapat mengalami komplikasi atau kekurangan stabilitas sendi yang memerlukan intervensi tambahan. Selain itu, terdapat juga risiko cedera pada ACL kontralateral atau kegagalan graft. Untuk mengurangi risiko ini, peran pemulihan pasca operasi dan program rehabilitasi yang baik sangat penting.[1,3-5]
Basis Bukti Perbandingan Terapi Konservatif dengan Tindakan Bedah
Tinjauan Cochrane (2016) mencoba membandingkan luaran klinis dari intervensi bedah dengan terapi konservatif pada cedera ACL. Tinjauan ini menunjukkan bahwa pada orang dewasa dengan cedera ACL akut, terdapat bukti kualitas rendah yang menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara manajemen bedah (rekonstruksi ACL diikuti dengan rehabilitasi terstruktur) dan pengobatan konservatif (rehabilitasi terstruktur saja) dalam laporan hasil fungsi lutut oleh pasien pada dua dan lima tahun setelah cedera.
Namun, perlu diperhatikan bahwa temuan ini perlu dipertimbangkan dengan fakta banyak peserta dengan ruptur ACL tetap mengalami gejala setelah rehabilitasi dan kemudian memilih untuk menjalani operasi rekonstruksi ACL.[6]
Dalam tinjauan sistematik lain (2018) dilakukan evaluasi terhadap 13 publikasi dengan total 1246 partisipan, hanya 2 publikasi yang merupakan uji klinis acak terkontrol (RCT). Hasil tinjauan ini belum dapat menyimpulkan apakah pembedahan atau manajemen konservatif yang menghasilkan luaran fungsional lebih baik.
Salah satu RCT yang dievaluasi menunjukkan bahwa pembedahan menghasilkan luaran fungsional yang baik. RCT lainnya tidak menemukan adanya harm dari terapi konservatif, meskipun 51% pasien kemudian menjalani pembedahan. Di sisi lain, terdapat kecenderungan dari studi observasional yang menunjukkan hasil lebih baik setelah pembedahan. Selain itu, tinjauan ini menunjukkan tingkat kegagalan pendekatan konservatif sekitar 17,5%.[7]
Makna Untuk Penerapan Pada Praktik Klinis
Dari bukti ilmiah di atas, belum ada cukup basis untuk menentukan apakah terapi konservatif ataukah pembedahan yang memberi luaran fungsional lebih unggul. Mengingat manifestasi klinis cedera ACL yang beragam, keputusan pemilihan antara pembedahan atau manajemen konservatif harus dipertimbangkan dengan melihat karakteristik individual pasien, preferensi, derajat cedera, dan risiko potensial.
Pada pasien yang menjalani terapi konservatif, dokter perlu menyampaikan pentingnya menjalani program rehabilitasi, serta adanya kemungkinan gejala sisa dan kebutuhan tindakan bedah di masa mendatang. Pada pasien yang menjalani pembedahan, dokter juga tetap perlu menekankan pentingnya rehabilitasi, melakukan manajemen ekspektasi, dan menyampaikan risiko komplikasi bedah dan kemungkinan perlunya intervensi tambahan.[1,6,7]
Kesimpulan
Cedera anterior cruciate ligament (ACL) merupakan cedera ligamen yang sering ditemukan di praktik. Cedera ini memiliki manifestasi klinis cukup luas, sehingga terapi yang diberikan harus disesuaikan dengan karakteristik individu, derajat beratnya cedera, preferensi pasien, dan ekspektasi pemulihan jangka panjang.
Saat ini, bukti ilmiah yang tersedia belum cukup untuk menentukan apakah pembedahan ataukah pendekatan konservatif yang lebih superior untuk meningkatkan luaran fungsional pasien. Pada kasus cedera ACL dengan derajat rendah, terapi konservatif bisa menjadi pilihan, meskipun pendekatan ini tetap memiliki risiko instabilitas sendi yang memerlukan terapi bedah di masa mendatang. Perlu diingat juga bahwa terapi bedah juga bukan terapi yang akan “menyembuhkan” cedera ACL dan menjamin luaran fungsional kembali sempurna. Untuk itu, penting bagi dokter menyampaikan pada pasien kelebihan dan keterbatasan dari kedua pendekatan, serta potensi risiko di masa mendatang sebelum menentukan terapi mana yang akan dipilih.