Point-of-Care Test untuk Memandu Penggunaan Antibiotik pada Kasus Infeksi Saluran Pernapasan Atas

Oleh :
dr. Sunita

Penggunaan point-of-care test (POCT) untuk mendeteksi infeksi bakterial dapat memandu penggunaan antibiotik pada kasus infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Teknologi ini terutama membantu pada lingkungan pelayanan kesehatan dengan sumber daya terbatas dan sulit untuk menjangkau pemeriksaan diagnostik lanjutan seperti kultur darah dan radiologi.

Penggunaan POCT juga dapat bermanfaat pada area dengan pola epidemiologi infeksi bakteri dan tingkat resistansi antibiotik yang tinggi.

POCT ISPA

Tantangan Penggunaan Antibiotik dalam Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA)

Resistansi antibiotik masih menjadi masalah kesehatan global yang serius dan berkaitan dengan penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Penelitian di negara maju menunjukkan bahwa tingkat ketidaktepatan penggunaan antibiotik untuk pengobatan ISPA mencapai 38% hingga 66%. Salah satu penyebab hal tersebut adalah ketidakpastian dalam membedakan diagnosis etiologi ISPA bakterial dan viral.[1,2]

Metode konvensional seperti kultur bakteri untuk memandu penggunaan antibiotik dapat memerlukan waktu pengerjaan yang lama dan tidak selalu memberikan hasil yang akurat. Metode lain seperti polymerase chain reaction (PCR) yang dapat dilakukan cepat masih memberikan hasil kurang akurat dan sulit membedakan mikroba yang berpotensi berbahaya dari yang tidak berbahaya.[1,2]

Kebutuhan akan Diagnosis Cepat dan Akurat

Di sisi lain, penundaan diagnosis dan pengobatan infeksi bakteri berpotensi memengaruhi luaran pasien. Kegagalan dalam peresepan antibiotik secara tepat akibat diagnosis yang tertunda dapat menyebabkan masalah dalam perawatan pasien, khususnya terhadap peningkatan insiden penyakit.[3]

Namun, penggunaan antibiotik secara berlebihan juga memiliki dampak serius pada peningkatan kekebalan mikroba terhadap antibiotik yang dapat mempengaruhi prosedur medis penting.[3]

Oleh sebab itu, penegakan diagnosis awal penyebab ISPA sangat bermanfaat baik jangka pendek maupun jangka panjang untuk memperbaiki luaran pasien. Pendekatan diagnostik mutakhir sangat diperlukan di berbagai tingkat layanan kesehatan.[3]

Peran CRP dan PCT sebagai Point-of-Care Test

Penggunaan metode proteomik dalam mendiagnosis etiologi ISPA telah berkembang pesat. ISPA yang disebabkan oleh bakteri dan virus memiliki perbedaan dalam respons tubuh, sehingga biomarka point-of-care-test (POCT) seperti C-reactive protein (CRP) dan prokalsitonin (PCT) dapat digunakan sebagai penanda infeksi bakteri.[4–7]

Penelitian eksperimental telah menunjukkan bahwa penggunaan CRP dan PCT untuk memandu pengobatan dapat mengurangi penggunaan antibiotik secara signifikan.[4–7]

CRP

CRP pertama kali diidentifikasi dari sampel plasma pasien dengan pneumonia pneumokokal sebagai suatu senyawa yang berikatan dengan polisakarida C pada pneumokokus. Protein ini mengalami peningkatan pada berbagai kondisi infeksi dan inflamasi sehingga ditandai sebagai salah satu reaktan fase akut.[8]

Pada individu sehat, nilai median konsentrasi CRP mencapai 1 mg/L dengan nilai konsentrasi pada persentil 99 mencapai 10 mg/L. Pada individu yang mengalami kondisi sakit akut, sejumlah sitokin terutama interleukin-6 dapat memicu produksi CRP di hati sehingga meningkatkan kadar CRP plasma hingga 300 mg/L atau lebih.[8]

Oleh sebab itu, CRP dapat digunakan sebagai penanda individu yang sedang mengalami kondisi inflamasi atau infeksi akut, seperti infeksi saluran napas, infeksi susunan saraf pusat, dan infark miokard.[8]

PCT

Prokalsitonin merupakan prekursor kalsitonin yang diproduksi di kelenjar tiroid dan jaringan lemak. Rentang nilai normal PCT serum adalah kurang dari 0,1 ng/mL dan dapat meningkat pada individu yang mengalami infeksi sistemik.[9–11]

Selain itu, peningkatan konsentrasi PCT juga dapat ditemukan pada pasien yang mengalami trauma dan pasca pembedahan. PCT juga dapat meningkat pada  beberapa infeksi virus sistemik walaupun kadarnya tidak setinggi kadar PCT pada serum pasien dengan infeksi bakteri.[9–11]

Peningkatan kadar PCT serum tertinggi ditemukan pada pasien dengan infeksi bakteri maupun pasien dengan kegagalan multiorgan akibat trauma. Dengan demikian, PCT juga banyak dipelajari sebagai biomarka untuk membedakan infeksi bakteri dari virus.[9–11]

Efektivitas CRP dalam Memandu Peresepan Antibiotik Untuk ISPA

Penerapan CRP dalam mendiagnosis ISPA bakterial di berbagai situasi klinis telah dipelajari sejak ditemukan bukti potensi POCT CRP dalam menekan penggunaan antibiotik yang tidak tepat.

Studi oleh Little et al

Little et al. menguji efek pelatihan berbasis internet pada praktik peresepan antibiotik di 259 praktik layanan primer dan 6.771 pasien dengan infeksi saluran pernapasan bawah (55,3%) dan infeksi saluran pernapasan atas (20,9%) di enam negara Eropa antara tahun 2010–2011.[12]

Mereka dibagi menjadi empat kelompok: perawatan standar, pelatihan POCT CRP, pelatihan komunikasi, atau kombinasi keduanya. Hasilnya menunjukkan peresepan antibiotik lebih rendah pada kelompok pelatihan POCT CRP dan pelatihan komunikasi.[12]

Intervensi gabungan mencapai penurunan terbesar dalam resep antibiotik. Hasil ini menyoroti efektivitas penggunaan POCT CRP dan pelatihan komunikasi dalam mengurangi penggunaan antibiotik yang tidak tepat.[12]

Studi ini juga mencatat peningkatan tingkat perawatan rumah sakit pada pasien yang menjalani tes CRP. Walaupun demikian, potensi risiko ini perlu dibandingkan dengan potensi manfaat. Manfaat penggunaan CRP termasuk penurunan peresepan antibiotik yang tidak tepat, pencegahan efek samping antibiotik, dan penurunan risiko resistansi antibiotik.[12]

Studi oleh Do et al.

Do et al. melakukan penelitian di 48 pusat layanan kesehatan masyarakat di Vietnam untuk mempelajari efektivitas POCT CRP terhadap peresepan antibiotik pada kasus ISPA di situasi pelayanan kesehatan rutin. Mereka merekrut 39.856 partisipan dengan gejala ISPA yang telah berlangsung kurang dari 7 hari.[7]

Kelompok intervensi memiliki akses ke POCT CRP, sementara kelompok kontrol menerima pelayanan standar. Hasil penelitian menunjukkan penurunan yang signifikan dalam peresepan antibiotik pada kelompok intervensi.[7]

Analisis subgrup pasien yang menjalani uji CRP menunjukkan penurunan risiko relatif peresepan antibiotik sebesar 36%. Tingkat kesembuhan gejala dan frekuensi rawat inap tidak berbeda signifikan antara kedua kelompok.[7]

Penelitian ini menyarankan bahwa penggunaan POCT CRP dapat efektif mengurangi peresepan antibiotik pada pasien dengan ISPA ringan di negara berkembang seperti Vietnam.[7]

Efektivitas PCT dalam Memandu Peresepan Antibiotik Untuk ISPA

Efektivitas PCT untuk memandu peresepan antibiotik pada kasus ISPA telah dipelajari dalam berbagai penelitian dengan situasi klinis yang beragam, termasuk layanan primer.

Studi oleh Schuetz et al

Schuetz et al. melakukan meta analisis pada studi yang memeriksa penggunaan PCT untuk mengurangi penggunaan antibiotik pada pasien infeksi pernapasan. Meta-analisis ini mencakup berbagai situasi klinis seperti pelayanan primer, IGD, dan ICU.[13]

Dua penelitian di pelayanan primer dengan 1.008 partisipan menunjukkan bahwa PCT dapat mengurangi penggunaan antibiotik secara signifikan. Penggunaan PCT juga menghasilkan perbedaan yang signifikan dalam tingkat paparan antibiotik antara kelompok kontrol (4,6 hari) dan kelompok intervensi (1,6 hari).[13]

Hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan PCT pada pasien ISPA di pelayanan primer dapat mengurangi penggunaan antibiotik hingga 87% dan risiko paparan antibiotik hingga 70%.[13]

Tidak ada perbedaan signifikan dalam kegagalan pengobatan atau resolusi penyakit antara kedua kelompok. Ini menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik yang dipandu PCT tidak meningkatkan risiko kegagalan pengobatan atau tingkat resolusi penyakit.[13]

Namun, penelitian ini belum dapat menilai dampak PCT terhadap risiko kematian, karena hanya ada satu kasus kematian dalam kelompok kontrol dari 1.008 partisipan.[13]

Penerapan CRP dalam Mendiagnosis ISPA Bakterial

Berdasarkan bukti yang ada, penggunaan POCT CRP perlu dipertimbangkan untuk membantu pembuatan keputusan terapi antibiotik bagi pasien dengan ISPA. Variasi protokol penelitian dan titik potong kadar CRP yang digunakan antar penelitian memberikan tantangan nyata untuk menerjemahkan hasil penelitian menjadi panduan praktik klinis rutin.

Dalam pembaruan panduan yang dikeluarkan oleh Primary Care Respiratory Society UK (PCRS-UK), POCT CRP direkomendasikan bagi pasien dengan gejala infeksi saluran napas yang bukan disebabkan oleh COVID-19 maupun influenza berdasarkan pemeriksaan tes antigen nasal atau PCR.[14]

Pada kelompok pasien tersebut, PCRS-UK hanya menyarankan pemberian antibiotik apabila pasien diketahui memiliki kadar CRP > 100 mg/L. Pemberian antibiotik bagi pasien ISPA dengan CRP 20–100 mg/L sebaiknya ditunda dan hanya diberikan jika terdapat perburukan gejala. Bagi pasien ISPA dengan CRP < 20 mg/L, pemberian antibiotik tidak disarankan.[14]

Penerapan PCT dalam Mendiagnosis ISPA Bakterial

Bukti yang ada saat ini belum cukup untuk mendukung atau menolak penggunaan PCT dalam mendiagnosis ISPA bakterial.

Berdasarkan hasil penelitian dengan jumlah sampel terbatas, kadar PCT yang rendah (<0,25 ug/L) dapat membantu menyingkirkan kemungkinan infeksi bakteri sehingga penggunaan antibiotik dapat ditunda. Schuetz et al. merekomendasikan angka ini sebagai titik potong kadar PCT yang dapat digunakan dalam situasi klinis untuk membedakan infeksi bakteri dari infeksi virus.[15]

Namun, penentuan titik potong ini hanya didasarkan pada protokol dua penelitian di situasi penelitian pelayanan primer yang belum divalidasi secara luas pada situasi pelayanan nyata sehingga belum dapat digunakan sebagai suatu panduan klinis.[15]

Peran POCT dalam Memandu Peresepan Antibiotik Untuk ISPA

Peran POCT dalam memandu peresepan antibiotik untuk ISPA terletak pada kemampuan metode ini untuk memberikan hasil yang cepat dan akurat.

Tinjauan Sistematik oleh Smedemark et al.

Dalam tinjauan sistematik oleh Smedemark et al., penggunaan uji biomarka POCT (CRP dan PCT) dalam penggunaan antibiotik pada pasien dengan infeksi pernapasan akut di layanan primer dianalisis. Studi ini menggabungkan data dari 13 uji klinis dengan total 10.218 partisipan, termasuk 2.355 anak-anak.[4]

Hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan POCT CRP secara signifikan mengurangi penggunaan antibiotik di layanan primer sebesar 23%, tanpa memengaruhi tingkat penyembuhan pada pasien dalam jangka waktu 7 hari dan 28 hari. Ini menunjukkan bahwa penggunaan CRP efektif dalam mengurangi penggunaan antibiotik yang tidak tepat hingga 23% tanpa mempengaruhi tingkat kesembuhan.[4]

Namun, data yang ada tidak cukup untuk menilai dampak penggunaan prokalsitonin karena jumlah partisipan dalam analisis subgrup terbatas.[4]

Meskipun data menunjukkan bahwa penggunaan POCT CRP tidak meningkatkan risiko kematian dalam 28 hari pemantauan, bukti ini terbatas karena tingkat kematian yang rendah pada kedua kelompok partisipan.[4]

Prospek Penggunaan POCT dalam Penentuan Antibiotik pada Kasus ISPA di Indonesia

Penggunaan POCT seperti CRP dan PCT untuk menentukan penggunaan antibiotik pada ISPA di Indonesia bergantung pada beberapa faktor.

Pertama, diperlukan penelitian mengenai manfaat klinis dan efektivitas biaya POCT CRP di Indonesia. Analisis manfaat biaya yang dikeluarkan secara individu untuk setiap tes POCT atau secara sistem juga perlu dibandingkan dengan biaya ekonomi akibat resistansi antibiotik.

Kedua, operasionalisasi POCT CRP dapat berdampak terhadap beban kerja sumber daya manusia (SDM) yang sudah ada. SDM yang kompeten diperlukan untuk perawatan rutin dan pemantauan kualitas hasil pemeriksaan walaupun alat POCT CRP berukuran kecil, berbobot ringan, dan tidak memerlukan pemindahan sampel.

Ketiga, kepatuhan terhadap hasil POCT CRP sangat penting. Jika tidak patuh, upaya mengurangi penggunaan antibiotik bisa gagal. Semua pihak, termasuk penyedia layanan kesehatan dan pasien, perlu memahami tujuan dan manfaat POCT CRP serta mengembangkan panduan praktik klinis terintegrasi untuk meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.

Kesimpulan

ISPA masih menimbulkan tantangan dalam hal diagnosis etiologi yang dapat berkontribusi terhadap resistansi antibiotik apabila disertai pemberian antibiotik yang tidak tepat. Penelitian yang dilakukan di negara-negara maju dan berkembang telah menunjukkan bahwa penerapan POCT, khususnya dalam C-reactive protein (CRP) dan procalcitonin (PCT), memiliki potensi signifikan dalam mengurangi tingkat pemberian antibiotik yang tidak tepat.

CRP dan PCT membantu membedakan antara infeksi bakteri dan non-bakteri. Bukti yang ada mengungkapkan bahwa pemanfaatan POCT CRP dapat mengurangi tingkat pemberian antibiotik hingga 23%. Namun, data serupa untuk PCT masih terbatas sehingga masih memerlukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel dan skala populasi yang lebih luas.

Selain itu, beragam hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan CRP tidak berdampak negatif terhadap tingkat kesembuhan pasien.

Walaupun bukti yang ada sangat menjanjikan, penerapan POCT dalam pengambilan keputusan mengenai pemberian antibiotik pada kasus ISPA di Indonesia masih memerlukan lebih banyak persiapan. Berbagai penelitian untuk mengkaji manfaat klinis, penilaian efektivitas biaya, serta perencanaan operasional yang matang perlu dilakukan.

Selain itu, mitigasi risiko perlu dipertimbangkan untuk memastikan ketersediaan sumber daya dan pelatihan tenaga medis yang memadai, serta penyuluhan kepada pasien untuk memaksimalkan manfaat dari teknologi ini.

Edukasi medis bagi para dokter dan pedoman yang kuat dari organisasi-organisasi berwenang akan diperlukan untuk mengubah peresepan antibiotik yang liberal saat ini untuk penyakit yang disertai demam atau karena sikap “berjaga-jaga” yang dianut oleh sebagian besar dokter. Pengawasan terhadap peresepan antibiotik setelah penerapan strategi pemeriksaan POCT dengan umpan balik kepada dokter juga diperlukan.

Dengan pendekatan yang tepat, pemanfaatan POCT CRP dan PCT berpotensi besar untuk mengurangi pemberian antibiotik yang tidak tepat, mengurangi risiko resistansi antibiotik, serta meningkatkan kualitas perawatan pasien ISPA di Indonesia.

Referensi