Protokol ERAS atau Enhanced Recovery After Surgery semakin banyak digunakan pada pasien yang menjalani operasi toraks dan paru. Beberapa studi menunjukkan bahwa protokol ERAS efektif dalam mengurangi lama tinggal di rumah sakit dan komplikasi pascaoperasi. Manfaat ini dicapai dengan mengurangi respons stres yang terkait dengan operasi, sehingga mempercepat pemulihan. Beberapa elemen protokol ERAS adalah penggunaan bedah minimal invasif, mobilisasi dini, dan waktu puasa yang lebih singkat.[1-3]
Informasi Preadmisi, Edukasi, dan Konseling
Protokol ERAS dimulai dengan informasi preadmisi, edukasi, dan konseling. Tujuannya untuk menyamakan persepsi terhadap rencana tindakan dan anestesi yang akan dilakukan dan ekspektasi hasil operasi yang akan didapat. Tindakan ini telah dilaporkan berdampak pada skor nyeri pascaoperasi, lama tinggal di rumah sakit, ketakutan, dan kelelahan pascaoperari.[4,5]
Nutrisi Preoperatif
Komponen nutrisi pada ERAS meliputi pemberian cairan preoperatif dan loading karbohidrat, puasa yang cukup, pemberian diet oral pascaoperasi yang tidak tertunda, dan suplementasi nutrisi lain. Hal ini penting karena malnutrisi merupakan faktor pemburuk luaran operasi mayor yang dapat dimodifikasi.
Pada protocol ERAS, pasien perlu menjalani skrining preoperatif, misalnya dengan Nutritional Risk Score (NRS) dan Malnutrition Universal Screening Tool (MUST). Operasi sebaiknya ditunda pada pasien yang mengalami kehilangan berat badan melebihi 10–15% dalam 6 bulan, indeks massa tubuh (IMT) <18,5 kg/m2, dan serum albumin <30g/L tanpa adanya gangguan metabolik lain. Pada pasien-pasien ini, berikan dukungan nutrisi 5–7 hari sebelum operasi.[2-4,6]
Berhenti Merokok
Kebiasaan merokok berkaitan dengan risiko tinggi komplikasi pascaoperasi, terutama operasi toraks dan paru. Namun, efek merokok terhadap paru telah dilaporkan dapat membaik dalam waktu 4 minggu setelah berhenti merokok.
Pada studi protokol ERAS, dilaporkan bahwa perokok dua kali lebih mungkin mengalami komplikasi paru pascaoperasi setelah reseksi paru dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah merokok atau yang tidak merokok selama lebih dari 4 minggu. Selain itu, beberapa studi menunjukkan bahwa merokok meningkatkan risiko kematian di rumah sakit dan komplikasi paru setelah operasi reseksi kanker paru, yang mana risiko ini tetap dapat diturunkan dengan berhenti merokok sebelum operasi.[4,7]
Penghentian Konsumsi Alkohol
Pada pasien yang mengonsumsi alkohol secara rutin, didapatkan adanya penurunan fungsi imun, jantung, dan sistem pembekuan darah, serta peningkatan angka morbiditas pascaoperasi. Protokol ERAS menetapkan bahwa konsumsi alkohol harus dihentikan 4 minggu sebelum operasi.[3,4]
Manajemen Anemia
Pasien dengan anemia preoperatif dilaporkan lebih berisiko mengalami komplikasi dan memiliki kesintasan yang lebih rendah. Manajemen preoperatif dengan transfusi, suplementasi besi, dan pemberian hormon eritropoetin dilaporkan tidak menghasilkan luaran yang lebih baik.
Protokol ERAS menganjurkan manajemen anemia dilakukan pada periode intraoperatif, salah satunya dengan memilih prosedur operasi yang minim perdarahan. Sementara itu, untuk pasien dengan anemia preoperatif, sebaiknya tetap dilakukan transfusi darah, sedangkan suplementasi besi dan hormon eritropoetin sebaiknya tidak dilakukan.[2,3]
Prehabilitasi Paru
Kapasitas paru yang buruk telah dilaporkan berhubungan dengan peningkatan komplikasi operasi, pemanjangan waktu rawat inap, morbiditas, dan mortalitas. Prehabilitasi adalah proses meningkatkan kapasitas fungsional dan fisiologis seseorang untuk memungkinkan mereka menghadapi peristiwa stres dan dapat membantu pemulihan setelah operasi.
Pada protokol ERAS untuk operasi kolorektal, terdapat bukti bahwa prehabilitasi lebih baik dibandingkan dengan rehabilitasi pasca operasi. Namun, sampai saat ini regimen jenis, durasi, dan intensitas yang dibutuhkan untuk melakukan prehabilitasi ini belum ditentukan secara pasti.
Pada meta analisis yang mendasari protokol ERAS, jenis prehabilitasi yang dilakukan tersering adalah kegiatan aerobik, senam ekstremitas superior, dan latihan kekuatan otot selama kurang lebih 4-7 minggu. Tidak lupa juga kegiatan senam pernapasan. Mayoritas studi menunjukkan adanya perbaikan dari konsumsi oksigen dan kapasitas fungsional paru pasca latihan.[8]
Puasa Preoperatif dan Loading Karbohidrat
Protokol ERAS merekomendasikan periode puasa makanan padat 6 jam preoperatif, dan cairan bening 2 jam preoperatif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang menunjukkan bahwa kondisi metabolik kenyang memperbaiki luaran dan menurunkan komplikasi. Di sisi lain, manfaat dari loading karbohidrat masih memerlukan pengkajian lebih lanjut.[1,9,10]
Tidak Menggunakan Obat Pre-Anestesi
Banyak dari pasien yang menjalani operasi toraks adalah populasi geriatri yang memiliki cadangan respirasi yang rendah dan berisiko mengalami sedasi berlebih terhadap penggunaan benzodiazepin preoperatif. Ini telah banyak dikaitkan dengan dengan lambatnya waktu pulih sadar, kejadian delirium, dan penurunan fungsi kognitif pasca operasi. Protokol ERAS menyarankan untuk menghentikan praktik pemberian obat pre-anestesi dalam bentuk apapun.[2,4,9]
Profilaksis Tromboemboli Vena
Operasi bedah toraks berisiko menyebabkan kejadian tromboemboli vena (VTE) karena paru merupakan organ high vascular dan kasus keganasan yang mendominasi pembedahan toraks. Insiden VTE pascaoperasi toraks diperkirakan berkisar antara 0,4% hingga 51% untuk deep vein thrombosis dan 1-5% untuk emboli paru. Pasien bedah toraks harus dianggap berisiko tinggi terhadap VTE.[3,4]
Profilaksis menggunakan metode non-farmakologis dan farmakologis dilaporkan efektif untuk mengontrol kejadian VTE pasca bedah toraks. Meski begitu, perlu dicatat bahwa ekstensi pemberian terapi profilaksis VTE sampai dengan 1 bulan pasca operasi dianggap tidak memiliki pengaruh bermakna terhadap kesintasan dan morbiditas.[10]
Antibiotik Profilaksis
Dalam bedah toraks, infeksi pascaoperasi, seperti pneumonia dan empiema, adalah masalah penting yang dilaporkan pada 7–14% pasien yang menjalani pengangkatan paru. Dahulu, prosedur pengangkatan paru tanpa infeksi diklasifikasikan sebagai prosedur 'bersih terkontaminasi'. Meski begitu, kolonisasi saluran napas oleh patogen bakteri telah diidentifikasi sebagai faktor risiko komplikasi infeksi paru pascaoperasi.[4]
Pemberian Antibiotik Profilaksis
Pemberian antibiotik profilaksis sebelum operasi dilaporkan mengurangi infeksi lokasi bedah (SSI) setelah bedah toraks, tetapi tidak menunjukkan efek pada angka kejadian pneumonia atau empiema pascaoperasi. Pemberian profilaksis antibakteri pascaoperasi yang diperpanjang tidak dianjurkan dilakukan secara rutin.
Satu dosis antibiotik sebelum insisi sama efektifnya dengan profilaksis pascaoperasi hingga 48 jam. Antibiotik intravena sebaiknya diberikan tidak lebih dari 60 menit sebelum insisi kulit, biasanya saat induksi anestesi. Pada pasien obesitas dengan IMT >35 kg/m2, dosis antibiotik harus disesuaikan dan ditingkatkan. Dosis antibiotik selama operasi yang berkepanjangan atau ketika kehilangan darah melebihi 1500 ml dapat diulang sesuai dengan waktu paruh obat yang dipilih.[10]
Pemilihan Jenis Antibiotik
Infeksi yang disebabkan oleh berbagai organisme yang sering diidentifikasi dalam flora kulit dan saluran pernapasan, misalnya Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae, dapat dicegah dengan sefalosporin. Golongan obat ini dianggap sebagai standar profilaksis dalam bedah paru karena berspektrum luas, harga rendah, dan potensi alergi yang rendah. Amoxicillin kombinasi dengan asam klavulanat adalah pilihan alternatif. Vancomycin atau teicoplanin dapat digunakan pada pasien yang alergi terhadap penisilin atau sefalosporin.
Pedoman lokal dapat digunakan, tetapi didasarkan pada pola flora paru dan potensi resistensi antibiotik setempat. Selain itu, pasien juga disarankan untuk mandi besar pada malam sebelum dan hari operasi. Penggunaan betadine sebagai desinfektan lapangan operasi juga menurunkan keberadaan patogen sebanyak 40%.[11]
Pencegahan Hipotermia Perioperatif
Pencegahan hipotermia perioperatif dapat dilakukan dengan metode pasif, yakni penggunaan suhu ruang operasi yang tidak terlalu dingin dan penggunaan selimut. Pilihan lain adalah dengan metode aktif dengan penggunaan pemanas. Selama periode perioperatif juga disarankan untuk dilakukan pemantauan suhu.[4,12]
Protokol Anestesi Standar
Tidak ada protokol khusus untuk ventilasi, tetapi lung protective strategy dapat digunakan untuk sebagian besar kasus. Lung protective strategy dilakukan dengan pengurangan volume tidal selama anestesi satu paru dari 10 ml/kg berat badan ideal menjadi 4–6 ml/kg untuk mengurangi cedera pada paru yang terventilasi. Untuk menurunkan insiden hipoksemia, dapat digunakan volume tidal yang lebih kecil dengan PEEP dan oksigenasi setara. Tingkat optimal PEEP akan bervariasi sesuai dengan mekanika pernapasan individu dan biasanya berada dalam kisaran 5–10 cmH2O.
Selain itu, proses isolasi paru digunakan pada sebagian besar kasus bedah toraks tetapi penggunaannya sering disertai cedera pada airway dan nyeri telan. Oleh karena itu, bronchial blocker sering digunakan untuk pengganti double lumen tube. Namun, bila diperlukan posisi tertentu dan terdapat risiko dislokasi pada pasien, double lumen tube mutlak digunakan.[13]
Anestesi sebaiknya berfokus pada agen kerja pendek dan memungkinkan ekstubasi dini. Ini dapat dicapai dengan menggunakan kombinasi teknik anestesi regional dan umum.[4,13,14]
Anestesi Non-Intubasi
Ada beberapa strategi manajemen anestesi potensial untuk bedah toraks yang tidak melibatkan intubasi atau ventilasi tekanan positif, termasuk anestesi regional saat sadar dan anestesi umum tanpa intubasi dengan ventilasi spontan. Anestesi regional mencakup anestesi epidural toraks dan anestesi lokal paravertebral, biasanya dikombinasikan dengan sedasi intravena dan penekanan refleks batuk. Prosedur bedah toraks yang dapat dilakukan tanpa intubasi meliputi lobektomi, pneumonektomi, eksisi bullae, dan reduksi volume paru.[14]
Pencegahan Post Operative Nausea and Vomiting (PONV)
PONV adalah komplikasi pembiusan dan operasi tersering pada bedah toraks dan merupakan penyebab utama ketidakpuasan pasien. Untuk memitigasi risiko PONV dan membuat rencana pengelolaan yang sesuai, beberapa sistem skoring tersedia. Salah satu yang paling mudah diterapkan adalah skor Apfel. Selain itu, menghindari puasa dan dehidrasi berkepanjangan juga telah dikaitkan dengan penurunan insiden PONV.[13,14]
Secara farmakologi, pencegahan PONV dapat dilakukan dengan pemberian obat antiemetik. Golongan obat yang direkomendasikan meliputi antagonis reseptor 5-hidroksitriptamin (5-HT3) seperti ondansetron; antagonis reseptor neurokinin-1 (NK1) seperti maropitant; dan antikolinergik seperti promethazine.[4,13]
Pengelolaan Nyeri
Nyeri pasca operasi toraks biasanya sangat parah dan dapat disebabkan oleh retraksi, fraktur atau dislokasi tulang rusuk, cedera pada saraf interkostal, atau iritasi pleura atau bungkus interkostal oleh selang toraks. Pemberian analgesia yang tidak memadai setelah torakotomi dapat memperburuk status pernapasan dan menyebabkan kegagalan pernapasan sekunder.[14]
Kombinasi Analgesik Multimodal dan Anestesi Regional
Rasa sakit meningkatkan risiko hipoksemia, hiperkarbia, peningkatan kerja jantung, aritmia, dan iskemia. Rasa sakit pascaoperasi intensitas tinggi juga dapat memfasilitasi perkembangan sindrom nyeri pasca torakotomi. Atas dasar ini, diperlukan kombinasi pemberian obat analgesik enteral dan parenteral multimodal dengan anestesi regional, sambil berusaha menghindari opioid dan efek sampingnya.[14]
Analgesik Preemptif
Analgesik preemptif bertujuan mengurangi nyeri akut pascaoperasi, bahkan setelah efek analgesik dari obat preemptif tersebut mulai berkurang. Tindakan ini juga bertujuan untuk menghambat perkembangan nyeri kronis pascaoperasi. Sebuah meta analisis menyimpulkan bahwa analgesik epidural torasik preemptif (TEA) berkaitan dengan penurunan nyeri akut setelah torakotomi tetapi tidak memiliki efek pada kejadian nyeri kronis pasca-torakotomi.[13]
Manajemen Cairan Perioperatif
Protokol lama menggunakan regimen cairan restriktif sekitar 1–2 ml/kg/jam sebagai cairan pemeliharaan intraoperatif dan pascaoperasi, dengan keseimbangan cairan positif perioperatif <1500 ml atau 20 ml/kg/24 jam. Tujuannya adalah mengendalikan jumlah cairan dan meminimalkan tekanan hidrostatik di kapiler paru. Kekhawatiran dengan manajemen cairan yang restriktif seperti itu adalah kejadian hypovolemia, perfusi jaringan yang terganggu, disfungsi organ, dan cedera ginjal akut (AKI).
Protokol ERAS untuk kasus bedah toraks merekomendasikan untuk menjaga euvolemia. Pemberian cairan 2–3 ml/kg/jam telah dilaporkan tidak berhubungan dengan AKI pada pasien reseksi paru. Hipoperfusi dapat dihindari dengan penggunaan vasopresor dan jumlah cairan yang terbatas untuk menyeimbangkan efek vasodilator agen anestesi dan blokade neuroaksial. Cairan tambahan dapat diberikan untuk mengganti kehilangan darah atau nanah.
Kristaloid seimbang saat ini merupakan pilihan cairan dibandingkan dengan cairan normal salin. Pada periode postoperatif segera, perhatian juga harus diberikan pada keseimbangan cairan dan berat badan pasien. Cairan enteral harus diberikan segera setelah pasien sadar dan dapat menelan.[13]
Pencegahan Atrial Fibrilasi
Aritmia atrial fibrilasi dan flutter (POAF) sering ditemukan setelah operasi toraks, dengan insiden sekitar 12% setelah reseksi paru. Operasi yang lebih luas, misalnya pneumonektomi dibandingkan lobektomi, meningkatkan risiko kejadian ini. Prognosis pasien yang mengalami POAF akan lebih buruk jika disertai komplikasi tambahan lainnya.
Beberapa strategi pencegahan telah direkomendasikan American Association for Thoracic Surgery. Pasien yang mengonsumsi beta-blocker sebelum operasi berisiko mengalami POAF jika obat dihentikan tiba-tiba, sehingga beta-blocker sebaiknya diteruskan. Pada pasien yang kekurangan magnesium, magnesium intravena dapat diberikan perioperatif.
Digoxin tidak mencegah POAF dan sebaiknya tidak digunakan. Pada pasien yang dianggap berisiko tinggi POAF, diltiazem perioperatif dapat dipertimbangkan asalkan pasien tidak mengonsumsi beta-blocker dan fungsi jantung normal. Meski begitu, perlu dicatat bahwa bukti mengenai manfaat profilaksis POAF terhadap luaran klinis masih sangat terbatas.[15,16]
Pengelolaan Nyeri Pasca Torakotomi
Nyeri pasca torakotomi bisa muncul sebagai akibat trauma pada dinding dada, rusaknya tulang rusuk, kerusakan saraf perifer, kerusakan saraf interkostal dan otot, serta hiperaktivitas sistem saraf pusat. Cedera saraf interkostal tampaknya menjadi faktor paling penting dalam terjadinya nyeri ini. Meskipun teknik minimal invasif semakin populer, sebagian besar reseksi paru di seluruh dunia masih dilakukan melalui torakotomi.[13,14]
Tipe Insisi
Jenis sayatan yang dibuat untuk prosedur torakotomi bergantung pada jenis operasi yang dilakukan, kebutuhan akses, serta preferensi operator. Sebuah meta analisis menunjukkan bahwa pendekatan sayatan dengan teknik preservasi otot menghasilkan nyeri yang lebih sedikit hingga 1 bulan setelah torakotomi, tetapi tidak ada pengaruh bermakna pada fungsi paru dan komplikasi perioperatif.[4]
Teknik Pemisahan Nervus Interkostal
Pembuatan flap otot interkostal dilaporkan dapat mengurangi nyeri pascaoperasi dibandingkan dengan teknik torakotomi tradisional. Dengan menjauhkan otot interkostal dari retraktor bedah, bundle interkostal terlindungi dari cedera yang berat.[4]
Penjahitan Kembali Kosta
Saat menutup sayatan torakotomi, teknik yang menghindari pemampatan saraf interkostal inferior selama aproksimasi tulang rusuk terkait dengan nyeri pascaoperasi yang lebih rendah dibandingkan dengan jahitan perikostal konvensional.[4]
Video-Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS)
Dibandingkan dengan torakotomi, VATS dilaporkan menghasilkan nyeri yang lebih sedikit, fungsi bahu yang lebih baik, mobilisasi lebih awal, lama rawat yang lebih pendek, pelestarian fungsi paru yang lebih baik, dan kualitas hidup yang lebih baik.[4]
Manajemen Drainase Toraks
Manajemen drainase toraks sangat diperlukan setelah bedah toraks, tetapi penggunaannya sering menimbulkan rasa tidak nyaman, menyebabkan imobilisasi, penurunan fungsi paru, dan menjadi sumber infeksi nosokomial. Protokol ERAS menyebutkan bahwa penggunaan suction pada drainase toraks tidak disarankan. Selain itu, penggunaan water seal drainage (WSD) modern lebih disarankan dibandingkan dengan tradisional.
Pipa yang dipasang sebaiknya hanya satu untuk mempermudah mobilisasi. Bila produksi drainase kurang dari 450 ml/hari, dan berjenis serosa, maka pipa drainase dapat dilepaskan.[1,4]
Mobilisasi Dini dan Percepatan Fisioterapi
Mobilisasi dini adalah poin penting dari protokol ERAS pada setiap prosedur pembedahan. Hal ini dikarenakan mobilisasi dini memberikan dampak positif pada fungsi kognitif, muskuloskeletal, dan menurunkan kejadian VTE. Meski protokol ini memiliki risiko, seperti tercabutnya chest tube atau pipa endotrakeal, mobilisasi dini memberikan lebih banyak manfaat dibandingkan dengan potensi risikonya.[1,4]
Kesimpulan
Protokol ERAS (Enhanced Recovery After Surgery) adalah suatu pendekatan multidisipliner yang dirancang untuk meningkatkan pemulihan pasien setelah operasi dengan mengoptimalkan proses perawatan pra, selama, dan pascaoperasi. Pada kasus pembedahan toraks dan paru, penerapan protokol ERAS melibatkan sejumlah langkah yang dirancang untuk mengurangi stres pada tubuh pasien, meminimalkan komplikasi, dan mempercepat pemulihan.
Beberapa aspek utama dari protokol ERAS pada pembedahan toraks dan paru melibatkan manajemen nyeri yang efektif dengan menggunakan kombinasi analgesik, penerapan teknik anestesi yang meminimalkan efek samping, pemantauan cairan tubuh termasuk tidak menerapkan puasa berkepanjangan untuk mencegah dehidrasi, serta promosi mobilisasi dini pasien. Manfaat dari penerapan protokol ERAS pada kasus pembedahan toraks dan paru termasuk pengurangan durasi rawat inap, penurunan tingkat komplikasi pascaoperasi, percepatan pemulihan fungsi paru, dan peningkatan kenyamanan pasien.