Ikterus neonatorum atau jaundice, merupakan kondisi klinis akibat hiperbilirubinemia yang sering ditemukan pada neonatus di fasilitas kesehatan. Sekitar 8-11% neonatus mengalami hiperbilirubinemia. Lebih dari 75% kasus jaundice bersifat fisiologis dan tidak memiliki konsekuensi serius. Jaundice juga bisa disebabkan oleh inkompatibilitas ABO, defisiensi enzim glucose-6-phosphate, dan penyakit kongenital.
Jaundice fisiologis umumnya terjadi pada umur 24-72 jam dan memuncak saat hari ke 4-6 pada bayi cukup bulan dan hari ke 7 pada bayi prematur. Jaundice fisiologis kemudian umumnya menghilang pada 10-14 hari kehidupan. Namun pada beberapa keadaan, jaundice dapat disebabkan oleh suatu kondisi patologis. Hiperbilirubinemia yang berlebih pada tubuh neonatus dapat menyebabkan kondisi yang berbahaya pada neonatus dan dapat bersifat mengancam nyawa.[1,2]
Jaundice dikatakan patologis apabila peningkatan bilirubin melebihi 5 mg/dL/hari yang umumnya menyebabkan penampakan jaundice dalam kurun waktu 24 jam pertama kehidupan. Etiologi jaundice patologis dapat dibagi menjadi hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi dan terkonjugasi.
Hiperbilirubinemia Tidak Terkonjugasi
Peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi pada jaundice patologis dapat disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin, penurunan klirens bilirubin, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi dapat dibedakan menjadi beberapa kondisi, seperti: inkompatibilitas ABO dan rhesus, defisiensi enzim glucose-6-phosphate, dan penyakit kongenital.
Inkompatibilitas ABO dan Rhesus
Inkompatibilitas ABO ditandai dengan ibu dengan golongan darah O yang memiliki antibodi IgG anti A dan anti B dengan anak dengan golongan darah A atau B dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah dan meningkatkan bilirubin tidak terkonjugasi (hemolytic disease of newborn). Hemolisis juga dapat terjadi apabila terdapat inkompatibilitas rhesus yang ditandai dengan ibu dengan rhesus negatif yang terpapar darah rhesus positif pada kehamilan sebelumnya.[1-4]
Defisiensi G6PD
Defisiensi enzim glucose-6-phosphate (G6PD) dapat mengurangi efek protektif sel darah merah terhadap stress oksidatif yang kemudian menyebabkan hemolisis sel darah merah.[1-4]
Penyakit Kongenital
Bayi yang memiliki penyakit kongenital, seperti sindrom Gilbert dan Crigler-Najjar, dapat menyebabkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi dengan cara mengganggu aktivitas glukoroniltransferase. Hipotiroid kongenital juga dapat menurunkan konjugasi bilirubin, memperlambat motilitas usus, dan gangguan makan, yang berperan dalam terjadinya jaundice.[1-4]
Tanda dan Gejala Berat Hiperbilirubinemia
Ensefalopati bilirubin akut merupakan komplikasi akibat hiperbilirubinemia berat. Hal ini ditandai dengan gejala sering mengantuk, hipotonia ringan, sulit menyusui, dan menangis bernada tinggi. Apabila tidak ditangani, maka bayi dapat mengalami penurunan kesadaran, kejang, apnea, dan peningkatan tonus, seperti retrokolis-opistotonus. [1-5]
Kernikterus (ensefalopati bilirubin kronik) dapat terjadi akibat efek jangka panjang dari toksisitas bilirubin. Pada keadaan bilirubin tidak terkonjugasi melebihi 25 mg/dL pada darah, bilirubin dapat melewati sawar darah otak dan terdeposit pada jaringan otak, terutama basal ganglia. Hal ini menyebabkan gejala distonia, palsi serebral choreathetoid, kelainan tatapan, dan hilangnya pendengaran sensorineural.[1-5]
Hiperbilirubinemia Terkonjugasi
Jaundice akibat peningkatan bilirubin terkonjugasi selalu bersifat patologis. Hal ini umumnya disebabkan oleh gangguan formasi atau transport empedu, obstruksi saluran bilier, atau keadaan sistemik yang mengganggu kerja hati.
Obstruksi Bilier
Atresia bilier merupakan salah satu penyebab tersering hiperbilirubinemia terkonjugasi pada neonatus. Umumnya neonatus memiliki gejala feses pucat pada umur 2-4 minggu kehidupan. Selain itu, obstruksi bilier juga dapat disebabkan oleh batu empedu, neoplasma, dan kelainan duktus bilier, seperti pada sindrom Alagille, sindroma Caroli, dan kista koledokal.[1,2,4]
Infeksi
Gangguan infeksi, seperti sepsis atau meningitis dapat mengganggu kerja hati dan meningkatkan bilirubin terkonjugasi.[1,2,4]
Gangguan Genetik
Gangguan genetik, seperti defisiensi alfa-1-antitripsin, sindrom Turner, trisomi 18, dan trisomy 21, dapat menyebabkan dengan menyebabkan kolestasis.[1,2,4]
Red Flag Ikterus pada Neonatus
Red Flag atau tanda bahaya dari ikterus atau jaundice pada neonatus perlu diketahui oleh klinisi untuk melakukan evaluasi lebih lanjut. Komplikasi mengancam nyawa pada neonatus dengan jaundice, seperti ensefalopati bilirubin akut dan kernikterus, membutuhkan penanganan cepat. Standar manajemen jaundice pada neonatus adalah identifikasi cepat hiperbilirubinemia berat dan melakukan terapi pencegahan.
Jaundice dan Status Bilirubin
- Onset jaundice pada 24 jam pertama kehidupan
- Progresi jaundice cepat pada neonatus
- Persisten lebih dari 2 minggu dari kehidupan pada bayi cukup bulan dan lebih dari 3 minggu pada bayi prematur
- Peningkatan bilirubin cepat > 5 mg/dL/hari
- Hiperbilirubinemia terkonjugasi pada seluruh usia
- Tidak ada perbaikan dari jaundice setelah 7 hari pada neonatus yang diberikan susu formula atau 14 - 21 hari neonatus dengan ASI[1,4,5,6]
Disfungsi Organ
- Gangguan fungsi hati persisten
- Hepatomegali
- Splenomegali
- Gagal hati (koagulopati tidak respons dengan vitamin K parenteral)
- Gangguan tonus otot[1,4,5]
Status Neonatus dan Gejala yang Dijumpai
- Memar
- Penurunan kesadaran hingga koma
- Kejang
- Warna urin keruh
- Feses pucat
- Gangguan makan
- Tanda dehidrasi[1,4,5]
Sekilas tentang Manajemen Neonatus dengan Ikterus
Neonatus dengan ikterus atau jaundice yang disertai red flag perlu dilakukan investigasi lebih lanjut untuk mengevaluasi etiologi berbahaya. Melakukan skrining sebelum rawat jalan dilakukan untuk mengidentifikasi neonatus yang berisiko dan mencegah hiperbilirubinemia berat. Tata laksana disaat waktu yang tepat memberikan efek yang baik bagi neonatus dan menghindari efek samping disfungsi neurologis akibat hiperbilirubinemia.[7]
Anamnesis
Anamnesis mengenai onset dan progresi jaundice pada neonatus perlu ditanyakan pada keluarga maupun petugas kesehatan. Apabila onset < 24 jam kehidupan dengan progresi cepat maka pasien perlu dievaluasi lebih lanjut dan dirawat untuk evaluasi lebih lanjut dan menghindari kerusakan otak. Jaundice dengan keluhan lebih sering mengantuk, lemas, kejang, dan tidak mau menyusui perlu dipikirkan komplikasi ensefalopati bilirubin akut dan perlu dilakukan penanganan segera. Gejala distensi atau nyeri abdomen dan warna feses pucat perlu dievaluasi untuk kecurigaan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Selalu tanya kepada keluarga status hidrasi dan pola makan pasien.[2-5]
Riwayat jaundice, penyakit hati, penyakit metabolik, dan hemolisis, pada keluarga ditanyakan untuk mengevaluasi penyakit genetik. Riwayat lahir, terutama riwayat sefalhematoma, perdarahan subgaleal, dan manifestasi perdarahan lainya, perlu juga ditanyakan. Riwayat fototerapi pada keluarga (sibling) menjadi salah satu faktor risiko jaundice yang disebabkan oleh inkomptabilutas ABO dan rhesus. Riwayat pengobatan dengan obat hepatotoksik juga dapat ditanyakan untuk mengevaluasi etiologi efek samping obat. Selain itu, selalu memeriksa status hidrasi neonatus dan pola makan neonatus.[2-5,7]
Pemeriksaan Fisik
Evaluasi derajat jaundice dapat dilakukan dengan pemeriksaan kramer. Pasien dengan jaundice pada ujung kepala sampai ujung kaki umumnya memiliki kadar bilirubin yang tinggi (> 16 mg/dL). Pemeriksaan tanda neurologis, seperti kesadaran, fontanel, tanda setting sun, tonus otot, dan refleks perlu dilakukan pada pasien dengan kecurigaan ensefalopati bilirubin akut atau kernikterus. Pemeriksaan abdomen lengkap, seperti pencarian tanda hepatomegali, splenomegali, dan asites, serta kelainan kulit, perlu dievaluasi secara menyeluruh.[1,2,4]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kadar bilirubin dapat dilakukan dengan alat pengukur transkutan atau dengan sampel darah. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi dapat dilakukan pemeriksaan golongan darah, tes Coombs, pemeriksaan darah lengkap, hitung retikulosit, morfologi darah tepi, dan G6PD.[1,2,4]
Pada pasien dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi, dapat dilakukan pemeriksaan fungsi hati (serum aminotransferase), gamma-glutamyl transferase (GGTP), waktu prothrombin, dan serum albumin. Pemeriksaan pencitraan. Selain itu, pada pasien dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi juga dapat dilakukan pemeriksaan tambahan berupa ultrasonografi, titer TORCH, kultur virus, kultur urin, titer serologic, asam amino, dan fenotipe alfa-antitripsin.[1,2,4]
KESIMPULAN
Ikterus atau jaundice patologis pada neonatus dapat dikenali klinisi dengan mengetahui red flag atau tanda bahaya. Jaundice patologis umumnya memiliki sifat peningkatan bilirubin yang cepat, yaitu > 5 mg/dL/hari. Oleh sebab itu, umumnya pasien ditemukan memiliki onset dan progresi jaundice yang cepat, yaitu 24 jam pertama kehidupan. Selain itu, jaundice patologis umumnya menetap dalam 2 minggu dari kehidupan bayi cukup bulan atau 3 minggu pada bayi prematur.
Etiologi jaundice patologis dapat dibagi menjadi hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi dan terkonjugasi. Biasanya, hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi disebabkan oleh inkompatibilitas ABO dan rhesus. Seluruh etiologi hiperbilirubinemia terkonjugasi dianggap berbahaya dan umumnya memiliki red flag berupa hepatomegali, splenomegali, BAB pucat, gangguan fungsi hati, dan memar signifikan pada kulit. Peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi yang terlalu tinggi dapat menyebabkan komplikasi ensefalopati bilirubin akut dan kernikterus, yang memiliki tanda dan gejala penurunan kesadaran, kejang, gangguan makan, dan gangguan tonus otot.