As-Needed Albuterol-Budesonide in Mild Asthma
LaForce C, Albers F, Danilewicz A, Jeynes-Ellis A, Kraft M, Panettieri RA Jr, Rees R, Bardsley S, Dunsire L, Harrison T, Sobande O, Surujbally R, Trudo F, Cappelletti C, Papi A, Beasley R, Chipps BE, Israel E, Pandya H, Clancy M, Bacharier LB; BATURA Investigators. As-Needed Albuterol-Budesonide in Mild Asthma. New England Journal of Medicine. 2025 Jul 10;393(2):113-124. PMID: 40388330.
Abstrak
Latar Belakang: Penggunaan kombinasi salbutamol-budesonide sesuai kebutuhan telah terbukti secara signifikan menurunkan risiko eksaserbasi asma berat dibandingkan penggunaan salbutamol saja pada pasien dengan asma sedang hingga berat. Namun, data pada asma ringan masih terbatas.
Metode: Peneliti melakukan uji klinis yang sepenuhnya virtual, terdesentralisasi, fase 3b, multisenter, double-blind, dan berbasis peristiwa. Uji melibatkan pasien berusia ≥12 tahun dengan asma ringan yang tidak terkontrol meskipun menggunakan agonis-β2 kerja pendek (SABA) saja atau dikombinasi dengan kortikosteroid inhalasi (ICS) dosis rendah atau antagonis reseptor leukotrien (LTRA).
Peserta secara acak dialokasikan dalam rasio 1:1 untuk menerima kombinasi dosis tetap 180 μg salbutamol dan 160 μg budesonide (tiap dosis terdiri dari dua semprotan inhaler masing-masing 90 μg dan 80 μg) atau 180 μg salbutamol saja (dalam dua semprotan inhaler masing-masing 90 μg), yang digunakan sesuai kebutuhan selama maksimal 52 minggu.
Luaran primer adalah kejadian eksaserbasi asma berat pertama, yang dinilai dengan analisis waktu-ke-kejadian, pada populasi yang sedang menjalani terapi (on-treatment). Luaran sekunder utama adalah eksaserbasi berat pertama pada populasi yang berniat menjalani pengobatan (intention-to-treat). Luaran sekunder lain termasuk laju tahunan eksaserbasi asma berat dan paparan terhadap kortikosteroid sistemik.
Hasil: Sebanyak 2516 peserta menjalani randomisasi; 1797 (71,4%) menyelesaikan uji coba. Dari total 2421 peserta dalam populasi analisis penuh (1209 dalam kelompok salbutamol-budesonide dan 1212 dalam kelompok salbutamol), 97,2% berusia 18 tahun atau lebih; 74,4% menggunakan SABA saja pada awal uji coba.
Uji coba dihentikan lebih awal karena efikasi berdasarkan analisis interim yang telah ditentukan sebelumnya. Eksaserbasi berat terjadi pada 5,1% peserta dalam kelompok salbutamol-budesonide dan 9,1% dalam kelompok salbutamol pada populasi efikasi on-treatment (rasio hazard, 0,53; interval kepercayaan 95% [CI], 0,39 hingga 0,73) dan masing-masing 5,3% dan 9,4%, pada populasi yang intention-to-treat (rasio hazard, 0,54; CI 95%, 0,40 hingga 0,73) (P <0,001 untuk kedua perbandingan).
Laju tahunan eksaserbasi asma berat lebih rendah di kelompok salbutamol-budesonide dibandingkan dengan kelompok salbutamol (0,15 vs 0,32; rasio laju, 0,47; 95% CI, 0,34 hingga 0,64), demikian juga dengan rata-rata tahunan dosis total kortikosteroid sistemik (23,2 vs 61,9 mg per tahun). Kejadian efek samping yang terjadi serupa pada kedua kelompok perlakuan.
Kesimpulan: Inhalasi kombinasi salbutamol-budesonide sesuai kebutuhan menunjukkan risiko kejadian eksaserbasi asma berat yang lebih rendah daripada inhalasi salbutamol saja, yakni pada partisipan dengan penyakit yang tidak terkendalikan meskipun telah menjalani pengobatan untuk asma ringan.
Ulasan Alomedika
Sebagian besar penderita asma di dunia termasuk ke kelompok asma ringan. Meskipun sering dianggap sebagai bentuk asma yang “rendah risiko”, kenyataannya eksaserbasi berat maupun kematian akibat asma tetap dapat terjadi pada penderita asma ringan, bahkan pada pasien yang hanya mengalami gejala sesekali.
Pada masa perburukan gejala, banyak pasien hanya mengandalkan terapi penyelamat berupa agonis β2 kerja pendek (SABA) saja, yang tidak memberi pengaruh terhadap inflamasi saluran napas. Penelitian BATURA ini mengusulkan pendekatan baru dalam pengelolaan asma ringan, yakni dengan mengkombinasikan SABA dan antiinflamasi.
Studi ini memperkuat rekomendasi GINA yang tidak lagi merekomendasikan SABA tunggal pada kasus eksaserbasi, meskipun pada pasien dengan gejala ringan. Sebagai gantinya, GINA menganjurkan terapi penyelamat yang menggabungkan kortikosteroid inhalasi dan bronkodilator kerja cepat untuk semua tingkat pengobatan pada pasien usia ≥12 tahun.
Studi BATURA ini dilakukan untuk menilai efektivitas dan keamanan penggunaan kombinasi salbutamol-budesonide sesuai kebutuhan pada pasien usia ≥12 tahun dengan asma ringan yang tidak terkontrol, dengan tujuan untuk mengetahui apakah penambahan budesonide dapat mengurangi risiko eksaserbasi asma berat.
Ulasan Metode Penelitian
Metode studi yang digunakan adalah uji klinis fase 3b, multisenter, acak, double-blind, event-driven, dan sepenuhnya virtual. Desain ini memungkinkan rekrutmen dan pemantauan pasien secara daring melalui telehealth, suatu inovasi yang relevan pascapandemi. Peserta adalah individu berusia ≥12 tahun dengan diagnosis asma ringan yang tidak terkontrol dengan terapi standar seperti SABA saja atau kombinasi dengan ICS atau LTRA dalam 12 bulan terakhir.
Penelitian membandingkan dua kelompok intervensi, yaitu kelompok yang mendapat kombinasi tetap salbutamol-budesonide (180 μg/160 μg; terdiri dari dua semprotan masing-masing 90 μg dan 80 μg) dan kelompok yang mendapat salbutamol saja (180 μg; dua semprotan masing-masing 90 μg). Keduanya digunakan sesuai kebutuhan selama durasi minimal 12 minggu hingga maksimal 52 minggu.
Luaran utama adalah eksaserbasi asma berat pertama, yang dianalisis time-to-event dalam populasi on-treatment efficacy. Luaran sekunder utama adalah eksaserbasi berat pertama dalam populasi intention-to-treat. Eksaserbasi berat didefinisikan sebagai perburukan gejala yang mengakibatkan penggunaan kortikosteroid sistemik ≥3 hari, kunjungan IGD atau perawatan rumah sakit akibat asma, atau kematian.
Luaran sekunder lainnya meliputi laju tahunan eksaserbasi berat dan total paparan tahunan terhadap kortikosteroid sistemik. Luaran keamanan mencakup frekuensi dan jenis efek samping serta kejadian efek samping serius.
Studi menggunakan metode statistik berjenjang atau hierarkis untuk mengendalikan error tipe I. Kekuatan metodologi terletak pada jumlah sampel besar, evaluasi real-time, dan pemantauan keamanan oleh komite independen. Desain terdesentralisasi juga lebih representatif terhadap populasi dunia nyata (real-world), di mana memungkinkan perekrutan pasien dari luar rumah sakit, bukan hanya dari klinik spesialis, sehingga mencerminkan pasien sesungguhnya yang lebih beragam.
Ulasan Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan penurunan bermakna dalam kejadian eksaserbasi asma berat pada kelompok yang menggunakan salbutamol-budesonide (5,1%) dibandingkan salbutamol saja (9,1%). Hal ini tercermin dari hazard ratio yang menguntungkan (0,53) dan signifikan secara statistik (P<0,001).
Penurunan tersebut juga tercermin pada analisis intention-to-treat dan ditopang oleh penurunan penggunaan kortikosteroid sistemik [rata-rata 23,2 mg/tahun vs 61,9 mg/tahun (penurunan ~62%)] serta frekuensi eksaserbasi tahunan [0,15 vs 0,32 (rasio laju: 0,47, CI 95%: 0,34–0,64)].
Kejadian efek samping umum terjadi pada sekitar 42–43% peserta di kedua kelompok, paling sering berupa infeksi saluran pernapasan atas, COVID-19, dan nasofaringitis. Prevalensi efek samping pada kedua kelompok relatif serupa, tetapi didapatkan sedikit peningkatan (<2%) efek samping lokal terkait penggunaan kortikosteroid inhalasi pada kelompok kombinasi, seperti suara serak atau sariawan.
Secara keseluruhan, penggunaan terapi kombinasi dosis tetap menunjukkan efikasi superior bila dibandingkan terapi tunggal, tanpa peningkatan signifikan dalam risiko keamanan. Hasil ini memperkuat bahwa strategi pengobatan yang sekaligus mengatasi bronkokonstriksi dan inflamasi memiliki keunggulan klinis dibandingkan terapi SABA tunggal. Untuk aspek keamanan, studi menunjukkan bahwa efek samping yang muncul ringan dan serupa antara kedua kelompok.
Kelebihan Penelitian
Salah satu keunggulan utama penelitian ini adalah desain uji klinisnya yang inovatif dan sepenuhnya terdesentralisasi (fully virtual). Seluruh prosedur dilakukan secara daring melalui platform telehealth, memungkinkan partisipasi dari populasi yang lebih luas, termasuk yang sulit dijangkau karena keterbatasan geografis atau sosial-ekonomi.
Peserta dapat direkrut melalui berbagai media, termasuk sosial media dan teknologi kecerdasan buatan, sehingga mendapatkan populasi partisipan yang lebih bervariasi dan berpotensi merepresentasikan pasien asma di dunia nyata, terutama klinik primer yang biasanya tidak rutin melakukan spirometri.
Desain ini juga memungkinkan informed consent daring, pemantauan efek samping jarak jauh, dan pengumpulan data yang lebih efisien, sehingga meningkatkan kualitas interpretasi data dan memperluas generalisasi hasil, terutama dalam konteks pelayanan primer.
Penelitian ini menerapkan desain randomisasi dengan metode double-blind, sehingga dapat meminimalkan potensi bias. Dengan melibatkan jumlah peserta yang cukup besar, penelitian ini memperoleh kekuatan statistik yang baik. Luaran primer ditetapkan secara jelas, yaitu berupa kejadian eksaserbasi asma berat pertama. Luaran dianalisis menggunakan metode “time-to-event” pada dua populasi berbeda (populasi efikasi on-treatment dan intention-to-treat) sehingga hasilnya lebih komprehensif.
Selain itu, studi ini mengontrol kesalahan tipe I melalui hierarchical testing pada luaran utama dan sekunder guna menjaga integritas statistik. Robustness hasil juga diuji melalui analisis sensitivitas dan tipping-point analysis, memastikan bahwa temuan utamanya tetap konsisten meski dilakukan asumsi censoring yang lebih konservatif.
Kelebihan lainnya adalah studi ini membandingkan kombinasi salbutamol-budesonide dengan salbutamol saja, yang merupakan standar terapi pada pasien asma ringan yang belum terkontrol. Dengan demikian, hasilnya sangat relevan untuk perubahan praktik klinis dan menambah bukti manfaat penggunaan kortikosteroid inhalasi sebagai bagian dari terapi penyelamat. Hasil penelitian ini mendukung perubahan rekomendasi Global Initiative for Asthma (GINA).
Limitasi Penelitian
Studi ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan. Pertama, sebagian besar peserta adalah orang dewasa (>97% berusia >18 tahun), sehingga jumlah remaja sangat sedikit dan anak-anak tidak termasuk dalam penelitian. Hasilnya kurang dapat digeneralisasi untuk kelompok usia tersebut.
Kedua, studi ini hanya melibatkan pasien dengan asma yang tidak terkontrol, sehingga hasilnya tidak dapat secara langsung diterapkan pada pasien dengan asma yang sudah terkontrol. Selain itu, penelitian tidak melakukan evaluasi fungsi paru secara objektif, seperti spirometri, pengukuran kadar nitric oxide pada udara yang dihembuskan, maupun pengukuran eosinofil darah, sehingga membatasi kemampuan untuk menilai efek antiinflamasi dan prediktor respons terapi secara lebih komprehensif.
Diagnosis asma pada peserta juga tergantung pada penetapan dokter tanpa konfirmasi melalui spirometri, yang meskipun meningkatkan relevansi klinis di praktik primer, dapat menimbulkan variasi dalam validitas diagnosis.
Studi yang sepenuhnya desentralisasi dan virtual ini juga menunjukkan risiko putus partisipasi cukup tinggi, yakni sekitar 19%, yang dapat memengaruhi keandalan hasil. Penghentian dini studi pada analisis interim, meskipun didasarkan pada bukti efektivitas yang signifikan, berpotensi menyebabkan estimasi efikasi yang berlebih dan membatasi data terkait keamanan serta efektivitas jangka panjang.
Terakhir, penggunaan media sosial untuk merekrut sekitar 60% peserta mungkin bisa memengaruhi karakteristik peserta dan turut berkontribusi pada tingginya angka putus partisipasi. Berbagai limitasi ini penting untuk dipertimbangkan dalam interpretasi hasil dan penerapan temuan studi pada populasi pasien yang lebih luas.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Penelitian ini menunjukkan efektivitas penggunaan kombinasi salbutamol-budesonide sebagai terapi on-demand untuk mengurangi eksaserbasi berat pada asma ringan. Prevalensi asma di Indonesia cukup tinggi (sekitar 2,4% populasi), sehingga strategi pengobatan yang efektif dan aman sangat dibutuhkan. Di Indonesia, masih banyak pasien asma yang hanya mengandalkan SABA tanpa terapi pengontrol.
Kombinasi salbutamol-budesonide dapat menjadi alternatif praktis dan efektif untuk mengurangi eksaserbasi dan membantu mengatasi inflamasi dan bronkokonstriksi, sehingga menurunkan frekuensi eksaserbasi dan kebutuhan kortikosteroid sistemik yang berpotensi menimbulkan efek samping.
Terapi inhalasi kombinasi ini dapat menjadi pilihan yang lebih baik dibandingkan hanya menggunakan bronkodilator (SABA) saja untuk pasien dengan asma ringan yang belum terkontrol, sesuai dengan rekomendasi terbaru dari GINA yang juga mulai diadopsi di Indonesia.
Perlu ada edukasi dan pelatihan bagi tenaga kesehatan (terutama di layanan primer) dan juga bagi pasien mengenai penggunaan inhaler dengan benar, mengingat masih rendahnya pemahaman terkait terapi inhalasi di beberapa daerah. Selain itu, akses dan ketersediaan obat inhalasi kombinasi ini perlu ditingkatkan, termasuk dukungan dari sistem kesehatan dan BPJS, agar terapi dapat menjangkau masyarakat luas.
Implementasi teknologi virtual atau telemedicine, seperti yang digunakan pada studi ini, juga dapat menjadi solusi untuk meningkatkan pemantauan dan pengelolaan asma di wilayah dengan keterbatasan fasilitas kesehatan. Integrasi hasil penelitian ini ke dalam protokol nasional dan upaya peningkatan kesadaran tentang pentingnya pengendalian asma dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat asma di Indonesia.