SGLT-2 Inhibitor pada Penanganan Sirosis dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Obat golongan SGLT-2 inhibitor atau sodium-glucose cotransporter-2 inhibitor seperti dapagliflozin dan empagliflozin diperkirakan dapat bermanfaat untuk pasien sirosis liver dengan diabetes mellitus tipe 2. Hal ini dikarenakan SGLT-2 inhibitor memiliki efek natriuresis, yang mungkin bermanfaat untuk sirosis liver dekompensata, terutama yang berkaitan dengan volume overload.[1-5]

Prevalensi toleransi glukosa terganggu mencapai 30-50% dan prevalensi diabetes mellitus tipe 2 (T2DM) mencapai 30% pada pasien dengan sirosis liver. Risiko sirosis juga meningkat setidaknya 2 kali lipat pada pasien-pasien dengan T2DM. Terlepas dari beban masalah kesehatan hingga sosio-ekonomi yang signifikan, penanganan pasien dengan sirosis dekompensata  masih suboptimal.[1-3]

Elderly,Asian,Woman,Taking,Pill,At,Home.,Age,,Medicine,,Healthcare

Transplantasi liver menjadi solusi terapi sirosis tetapi prosedur ini mempunyai tantangan yang rumit. Penanganan sirosis saat ini masih berfokus pada terapi komplikasi. Salah satu komplikasi sirosis liver yang berkaitan dengan hipertensi portal adalah asites. Saat ini penanganan asites terkait sirosis masih mengandalkan restriksi asupan natrium yang disertai pemberian mineralocorticoid receptor antagonist (MRA) dengan atau tanpa diuretik loop. Namun, pendekatan ini mempunyai sejumlah efek samping.[4]

Oleh sebab itu, metode atau obat baru masih dibutuhkan untuk mengoptimalkan terapi sirosis, khususnya dalam membatasi progresi fibrosis, meregulasi sirkulasi portal, dan meregulasi hemodinamik, sehingga mencegah atau mengurangi perburukan proses dekompensasi. Belum lama ini, studi menemukan efek pleiotropic dari inhibitor SGLT-2 (SGLT2i), yakni natriuresis.[5]

Berdasarkan bukti klinis, FDA Amerika Serikat telah mengesahkan penggunaan SGLT2i pada terapi gagal jantung. Karena patofisiologi gagal jantung dan sirosis dekompensata berbagi hal yang mirip, penggunaan SGLT2i mungkin bermanfaat bagi pasien dengan sirosis liver dekompensata khususnya yang berhubungan dengan volume overload.[5]

Hubungan Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif dan Sirosis Dekompensata

Gagal jantung kongestif dengan sirosis dekompensata berbagi patofisiologi dan gejala klinis yang mirip, yakni ekspansi volume cairan ekstravaskuler.[5]

Meskipun mempunyai latar belakang berbeda (penurunan cardiac output pada gagal jantung atau vasodilatasi splanchnic akibat hipertensi portal sirosis), kondisi arterial underfilling memicu kompensasi dari aktivasi renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS) dan sistem saraf simpatis serta sekresi hormon antidiuretik (ADH). Dampak akhir dari mekanisme ini adalah retensi air dan garam serta meningkatnya volume ekstraseluler yang bermanifestasi sebagai edema dengan atau tanpa asites.[5]

Pada penanganan gagal jantung, diuretik loop (furosemide, torsemide, dan bumetanide) umum digunakan, sementara MRA (spironolactone, eplerenone) menjadi terapi lini pertama untuk gagal jantung dengan reduksi ejeksi fraksi. Saat ini, spironolactone menjadi diuretik lini pertama pada terapi sirosis liver dekompensata dengan asites. Furosemide bisa ditambahkan jika restriksi natrium dan MRA tidak maksimal. Namun, penggunaan diuretik berlebihan pada kedua penyakit ini bisa disertai efek samping.[6]

Efek samping merugikan diuretik loop meliputi hipokalemia, hiponatremia, alkalosis, hipovolemia, dan azotemia pre-renal. Sementara itu, efek samping MRA dapat berupa hiperkalemia, alkalosis, hipovolemia dan azotemia. Pada sirosis, selain efek samping tersebut, efek samping merugikan lainnya adalah timbulnya ensefalopati hepatik dan sindrom hepatorenal.[5,6]

Rasionalisasi Penggunaan SGLT2 Inhibitor pada Sirosis Liver Selain Diabetes

Dengan kemiripan patofisiologi gagal jantung kongestif dan sirosis dekompensata, selain dari bukti klinis yang menyokong efek antihiperglikemik SGLT2i, penambahan SGLT2i berpotensi untuk mencegah atau mengurangi proses dekompensata sirosis, bahkan pada kondisi tanpa diabetes. Ada sejumlah dampak dari SGLT2i yang dapat dimanfaatkan untuk perbaikan sirosis liver.[5]

SGLT2i untuk Restorasi Dini Instabilitas Hemodinamik

Pada sirosis terkompensasi awal, portal-systemic shunting menimbulkan vasodilatasi limpa dan ginjal. Saat hepatic venous-portal gradient (HVPG) masih <10 mmHg dan dekompensasi belum terjadi, resistensi vaskuler ginjal akan berkurang, yang diikuti oleh peningkatan proporsional laju filtrasi glomerulus (GFR) akibat pelepasan vasodilator endogen ke sirkulasi sistemik.[7]

Selain itu, aktivasi RAAS dan produksi aldosteron akan meningkat pada posisi tegak, sementara pada posisi terlentang, produksi aldosteron dan natriuresis akan berkurang. Hingga kini, belum ada terapi efektif untuk mencegah ketidakseimbangan natrium yang terjadi pada fase awal sirosis yang masih terkompensasi selain dari restriksi natrium diet.[5,8]

Golongan SGLT2i menginhibisi reabsorpsi natrium pada tubulus proksimal, sehingga meningkatkan delivery natrium pada segmen distal nefron. Peningkatan konsentrasi natrium pada segmen distal tersebut akan menjadi sinyal stimulasi sekresi adenosin pada sel makula densa (proses yang dikenal sebagai tubuloglomerular feedback). Adenosin (vasokonstriktor poten) akan memicu vasokonstriksi di arteriol ginjal aferen sehingga akan mengurangi tekanan filtrasi glomerulus.[9]

SGLT2i dapat pula memperbaiki hemodinamik ginjal dengan memicu vasodilatasi pada arteriol eferen untuk mengurangi tekanan intraglomerulus. Dengan demikian, SGLT2i dapat merestorasi tubuloglomerular feedback dan hiperfiltrasi ginjal.[10-12]

SGLT2i Berperan sebagai Antidiuretik pada Asites

Reabsorpsi natrium pada proximal convoluted tubule (PCT) bertanggung jawab pada sebagian besar proses reabsorpsi natrium total dan difasilitasi oleh ko-transporter (SGLT2) dan anti-transporter (pompa Na+/H+). SGLT2i akan menginhibisi reabsorpsi glukosa di PCT sehingga memicu peningkatan ketersediaan natrium pada segmen tubulus distal dan memicu peningkatan natriuresis sementara.[13-15]

Pada suatu studi crossover acak terkontrol pada pasien T2DM, pemberian dapagliflozin 6 minggu dapat menurunkan natrium jaringan kulit secara signifikan. Sedikitnya ada 4 studi prospektif yang mengonfirmasi efek natriuresis empagliflozin dan ipragliflozin pada pasien gagal jantung dengan T2DM.[16-20]

Meskipun mekanisme pasti dari natriuresis SGLT2i masih belum dipahami sepenuhnya, hipotesis menyatakan bahwa obat golongan ini dapat memindahkan cairan interstisial tanpa memengaruhi volume arteri aktif. Data dari studi-studi gagal jantung kongestif menyokong hipotesis tersebut. Penelitian dapagliflozin pada pasien gagal jantung dengan reduced ejection fraction tidak menunjukkan peningkatan risiko hipovolemia dan kejadian merugikan pada ginjal.[21]

Selain itu, limitasi lain dari penggunaan diuretik loop pada pasien-pasien asites adalah menurunnya sensitivitas atrial natriuretic peptide (ANP) dan timbulnya resistensi pada segmen tubular distal. Data pada pasien gagal jantung menunjukkan bahwa pemberian SGLT2i dapat mengatasi hal tersebut. Bahkan, studi yang menambahkan empagliflozin pada diuretik loop menunjukkan ada sinergi dalam memperbaiki dan mempertahankan natriuresis.[17,19,22]

Namun, bukti SGLT2i pada pasien sirosis dekompensata memang masih terbatas. Data yang ada saat ini hanya didominasi oleh laporan kasus. Tiga kasus pertama dilaporkan oleh Montalvo-Gordon. Dua kasus adalah wanita >60 tahun, di mana diuretik loop dihentikan karena ensefalopati hepatik dan hiponatremia berat. Pasien lalu diberikan SGLT2i dan menunjukkan perbaikan retensi cairan serta penurunan berat badan. Pada kasus ketiga (pria 53 tahun), diuretik dihentikan karena cedera ginjal akut. Pasien diberi canagliflozin dan menunjukkan perbaikan asites tanpa perburukan fungsi ginjal.[23]

Pada laporan kasus lainnya, pasien wanita dengan asites refrakter karena diabetic liver cirrhosis yang menjalani parasentesis setelah diskontinuasi diuretik akibat perburukan ginjal akut, menunjukkan perbaikan diuresis dan eliminasi asites maupun edema perifer setelah penambahan empagliflozin.[24]

Di Indonesia, temuan kasus yang sama dilaporkan oleh Thendiono. Seorang pria lansia dengan penyakit jantung diabetik dan sirosis akibat perlemakan hati non-alkoholik menderita asites refrakter. Asites ini terlepas dari pemberian kombinasi furosemide spironolactone, dan propranolol. Pasien juga sudah menjalani endoscopic band ligation serta parasentesis berulang.[25]

Pada kasus tersebut, karena adanya episode hipovolemia, ensefalopati hepatikum, hiponatremia, dan hipokalemia, dosis diuretik tidak dapat dioptimalkan. Bahkan kadar glukosa darah belum terkontrol baik oleh insulin (aspart-degludec). Penambahan dapagliflozin 10 mg sekali sehari mampu memperbaiki hal-hal tersebut, sekaligus  meningkatkan volume diuresis dan mengeliminasi asites serta edema perifer tanpa perburukan fungsi ginjal, dengan kadar glikemik terkontrol.[25]

Laporan kasus lain di Jepang juga menunjukkan hasil yang sejalan untuk empagliflozin. Selain itu, studi kohort 78 pasien sirosis dengan T2DM menunjukkan bahwa pemberian SGLT2i >180 hari masih aman, tanpa meningkatkan risiko dekompensasi sirosis.[26-28]

Dampak SGLT2i pada Kardiomiopati Sirosis

Meskipun jarang, kardiomiopati sirosis merupakan salah satu komplikasi akhir dari liver sirosis dan hanya menyisakan transplantasi liver sebagai satu-satunya terapi. Seperti yang telah diketahui, disfungsi sistolik dan diastolik jantung dapat terjadi pada pasien sirosis dekompensata. Kardiomiopati sirosis ditandai oleh peningkatan cardiac output, respons kontraktil abnormal terhadap stres, serta gangguan relaksasi diastolik.[5,29,30]

Suatu studi prospektif yang mempelajari efek kardioprotektif SGLT2i menunjukkan adanya peningkatan longitudinal strain dan penurunan indexed left ventricular mass setelah pemberian 6 bulan. Studi ini mengindikasikan potensi pemberian SGLT2i untuk sirosis kardiomiopati. Namun, belum ada data klinis acak terkontrol yang relevan hingga kini.[5,31]

Limitasi Penggunaan SGLT2 Inhibitor pada Sirosis Liver

SGLT2i mengalami metabolisme dan eliminasi oleh konjugasi glukuronida hepatik dan ekstra-hepatik, dengan eliminasi minimal pada ginjal. Oleh sebab itu, isu keamanan menjadi kekhawatiran utama pada pasien disfungsi liver. Untuk saat ini, studi jangka pendek menunjukkan bahwa dosis tunggal empagliflozin 50 mg atau dapagliflozin 10 mg tidak menimbulkan peningkatan toksisitas obat pada pasien disfungsi liver. Namun, studi jangka lebih panjang masih diperlukan.[5,32-34]

SGLT2i juga dapat menurunkan tekanan darah sistolik maupun diastolik pada pasien T2DM. Padahal, sirosis liver dekompensata pada tahap akhir dapat disertai dengan insufisiensi adrenal, kardiomiopati sirosis, dan instabilitas hemodinamik yang berpotensi memicu hipotensi. Data meta-analisis menunjukkan bahwa pemberian SGLT2i hanya mengurangi sedikit tekanan darah sistolik maupun diastolik (2.46 mmHg sistolik/1,46 mmHg diastolik pada pasien T2DM. Namun, studi lebih lanjut pada pasien sirosis masih diperlukan.[5,35-39]

Potensi limitasi lainnya ialah risiko sindrom hepatorenal yang ditandai oleh penurunan mendadak atau pun bertahap pada laju filtrasi glomerulus. Secara teori, SGLT2i dapat memicu penurunan volume efektif pembuluh darah arteri. Namun, data di lapangan tidak menunjukkan penurunan volume darah efektif, SGLT2i hanya mengubah distribusi (dari interstisial ke ruang intravaskuler).[5,21]

Suatu penelitian acak terkontrol menunjukkan bahwa efek hemodinamik ginjal dari dapagliflozin lebih disebabkan oleh vasodilatasi post-glomerular daripada vasokonstriksi pre-glomerular. Dengan demikian, dapagliflozin tidak mempengaruhi resistensi vaskuler ginjal secara signifikan, yang baik untuk pencegahan sindrom hepatorenal.[5,11]

Secara teori, pada disfungsi liver yang berat, glukoneogenesis liver yang terganggu  dapat disertai oleh peningkatan produksi badan keton sebagai sumber energi alternatif sel. Selain itu, glikosuria dan defisit karbohidrat dapat mengarah ke ekskresi glukagon dan inhibisi insulin, yang memicu lipolisis serta katabolisme protein. Kondisi ini dapat memicu euglycemic ketoacidosis.[5,40]

Namun, mayoritas kasus euglycemic diabetic ketoacidosis yang mendapatkan SGLT2i terjadi setelah penghentian insulin secara mendadak atau pada kondisi dehidrasi dan kelaparan berat. Hubungan kausal terjadinya euglycemic diabetic ketoacidosis dengan SGLT2i pada pasien sirosis masih belum terbukti.[5,40]

Kesimpulan

Dengan adanya kemiripan aspek patofisiologi gagal jantung kongestif dan sirosis liver, penggunaan SGLT2i mempunyai rasionalisasi pada kasus sirosis dekompensata yang terkait volume overload. Dengan berbagai efek samping yang sering timbul akibat dari penggunaan kombinasi diuretik loop dan MRA, penggunaan SGLT2i pada terapi asites refrakter sirosis dekompensata mungkin berpeluang menjadi opsi di masa depan.

Namun, untuk saat ini, karena bukti klinis SGLT2i pada pasien sirosis masih sangat terbatas dan masih didominasi oleh laporan kasus saja, pemberian SGLT2i pada terapi konvensional asites terkait liver sirosis masih belum dilakukan. Hal ini membutuhkan lebih banyak bukti klinis dari studi acak terkontrol sebelum bisa diadopsi secara luas.

Referensi