Penting bagi dokter untuk mengetahui tekanan darah yang optimal saat operasi karena anestesi saat operasi dapat menyebabkan terjadinya hipotensi intraoperatif yang berhubungan dengan komplikasi dan mortalitas pasca operasi.
Operasi adalah sebuah tindakan yang menyebabkan stres kepada tubuh. Stres yang terjadi pada tubuh saat operasi dapat dihubungkan dengan kejadian kardiovaskular perioperatif yang tidak diinginkan, contohnya henti jantung dan infark miokard. Faktor yang penting pada stres adalah pengendalian hemodinamika tubuh, karena tekanan darah seseorang yang diberi anestesi dapat berfluktuasi.[1]
Anestesi juga dapat menurunkan tekanan darah menjadi hipotensi melalui beberapa faktor seperti efek langsung dari obat anestesi, penghambatan kerja simpatetik sistem saraf pusat, dan hilangnya refleks baroreseptor untuk mengendalikan tekanan arterial. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui kisaran tekanan darah intraoperatif yang optimal.[2]
Salah satu hal yang disetujui oleh para penulis publikasi mengenai tekanan darah intraoperatif adalah belum ada konsensus yang menyetujui satu definisi untuk hipertensi atau hipotensi intraoperatif. Pedoman dari The American Society of Anaesthesiologists Standards for Basic Anesthetic Monitoring hanya menyatakan bahwa semua pasien yang menerima anestesi harus menjalani pemeriksaan tekanan darah dan nadi minimal setiap 5 menit sekali.[3,4]
Efek Hipertensi Perioperatif Terhadap Luaran Pasien
Hipertensi praoperatif adalah salah satu alasan medis yang paling sering menjadi indikasi menunda operasi. Pada saat operasi, hipertensi dan takikardia akan menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen di miokardium dan peningkatan end-diastolic blood pressure di ventrikel kiri, sehingga berkontribusi ke hipoperfusi subendokardial dan iskemia miokard.[2,5,6]
Hipertensi perioperatif juga dapat meningkatkan risiko stroke, disfungsi neurokognitif dan disfungsi renal, juga meningkatkan kemungkinan perdarahan operatif dari lokasi anastomosis. Terlebih lagi, saat ini diketahui peningkatan tekanan darah saat operasi dapat mencetuskan kondisi hiperinflamasi dan prokoagulasi, termasuk aktivasi platelet yang dapat mengganggu aliran darah di mikrovaskular.[1,7,8]
Efek Hipotensi Intraoperatif Terhadap Luaran Pasien
Hipotensi perioperatif, khususnya hipotensi intraoperatif (IOH), memiliki dampak signifikan terhadap luaran pasien karena dapat menyebabkan iskemia dan disfungsi organ vital seperti jantung, otak, dan ginjal. Tekanan darah yang rendah selama operasi dapat mengganggu keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen jaringan, terutama pada organ-organ yang sensitif terhadap perfusi.
Sebagai akibatnya, pasien berisiko mengalami kejadian serius seperti infark miokard, stroke, gangguan perfusi serebral, dan cedera ginjal akut (AKI). Kondisi ini juga berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasca operasi. Selain itu, IOH juga dapat berfungsi sebagai indikator adanya gangguan sistemik lain seperti sepsis, anafilaksis, atau perdarahan tersembunyi.[4,9-11]
Meskipun banyak penelitian menunjukkan hubungan antara IOH dan morbiditas serta mortalitas, belum terdapat konsensus mengenai definisi pasti dari hipotensi intraoperatif. Ada yang mendefinisikan IOH sebagai tekanan darah sistolik di bawah 80 mmHg, dan ada pula yang mendefinisikan IOH sebagai penurunan lebih dari 20–30% dari tekanan dasar. Variasi ini menyulitkan perbandingan hasil antar studi.[3,4,9,11-13]
Berapa Tekanan Darah Optimal Untuk Pasien Intraoperatif?
Definisi pasti tekanan darah optimal intraoperatif pada pasien dengan risiko tinggi adalah hal yang sangat diperlukan karena berhubungan dengan adverse patient outcome, termasuk stroke, acute kidney injury, dan mortalitas 30 hari dan 1 tahun. Meski demikian, penentuan tekanan darah optimal yang bisa diikuti secara universal sangat sulit dilakukan, karena setiap pasien memiliki kondisi klinis berbeda-beda.[3,4,11-13]
Tekanan Darah Optimal pada Pasien Risiko Tinggi Cedera Ginjal Akut
Studi Intraoperative Norepinephrine to Control Arterial Pressure (INPRESS) merupakan multicenter randomized clinical trial (RCT) yang mengevaluasi pengaruh strategi pengelolaan tekanan darah intraoperatif, yakni personalized vs generalized, terhadap luaran pasien. Studi ini melibatkan 292 pasien risiko sedang hingga tinggi mengalami AKI yang menjalani operasi besar berdurasi minimal dua jam.
Pendekatan personalized bertujuan menjaga tekanan darah sistolik tetap dalam 10% dari nilai istirahat individu, sedangkan pendekatan generalized mengintervensi tekanan sistolik bila turun di bawah 80 mmHg atau 40% dari nilai dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen tekanan darah secara personalized menghasilkan luaran klinis yang lebih baik. Hanya 46,3% pasien yang mengalami disfungsi organ dalam 7 hari pasca operasi, dibandingkan 63,4% pada kelompok generalized.[5,11]
Tekanan Darah Optimal pada Pasien yang Menjalani Total Knee Arthroplasty
Suatu kohort retrospektif berusaha menentukan tingkat kontrol tekanan darah sistolik yang optimal selama prosedur total knee arthroplasty (TKA) tanpa penggunaan torniket, dengan bantuan asam traneksamat sebagai agen antifibrinolitik. Pasien dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan rerata tekanan darah sistolik intraoperatif, yakni kelompok <90 mmHg (Grup A), 90–100 mmHg (Grup B), dan >100 mmHg (Grup C).
Hasil studi menunjukkan bahwa kelompok dengan tekanan darah 90–100 mmHg (Grup B) memiliki keseimbangan terbaik antara rendahnya kehilangan darah total dan risiko efek samping, dibandingkan dengan tekanan darah terlalu rendah (<90 mmHg) atau terlalu tinggi (>100 mmHg). Penelitian ini menyimpulkan bahwa mempertahankan tekanan darah sistolik intraoperatif antara 90–100 mmHg merupakan strategi optimal untuk TKA tanpa torniket saat menggunakan asam traneksamat.[14]
Tekanan Darah Optimal pada Pasien yang Menjalani Operasi Non-Kardiak
Sebuah tinjauan literatur mengevaluasi berbagai penelitian untuk menilai berapa tekanan darah optimal bagi pasien intraoperatif non-kardiak. Studi-studi non-randomisasi yang dibahas dalam tinjauan ini memiliki variasi besar dalam definisi hipotensi, tetapi hasil studi-studi ini mengindikasikan bahwa durasi hipotensi tampaknya menjadi faktor penentu penting dalam perburukan luaran pasien.
Sementara itu, RCT yang lebih terbatas jumlahnya memberikan gambaran bahwa pengelolaan tekanan darah berdasarkan target yang disesuaikan dengan kondisi individu dapat menghasilkan luaran lebih baik. Salah satu RCT yang dibahas menunjukkan bahwa mempertahankan tekanan darah sistolik dalam rentang 90–110% dari baseline pasien akan efektif mengurangi inflamasi sistemik dan disfungsi organ dibandingkan pendekatan konvensional.[15]
Tekanan Darah Optimal pada Pasien yang Menjalani Operasi Kardiak
Dalam tinjauan literatur yang sama, dilakukan pembahasan mengenai tekanan darah optimal pada pasien yang menjalani operasi kardiak. Dua RCT menemukan bahwa mempertahankan mean arterial pressure (MAP) yang lebih tinggi (80–100 mmHg) selama cardiopulmonary bypass (CPB) dapat mengurangi komplikasi kardiak dan neurologis, serta menurunkan risiko disfungsi kognitif dan delirium pascaoperasi dibandingkan dengan target tekanan yang lebih rendah (50–70 mmHg).
Meski demikian, tiga RCT lain yang dibahas tidak menemukan perbedaan signifikan dalam luaran klinis antara kelompok dengan target MAP tinggi dan rendah. Tidak terdapat perbedaan dalam angka kematian, komplikasi mayor, penurunan kualitas hidup, atau cedera ginjal akut. Bahkan volume lesi iskemik serebral baru tidak berbeda antara kelompok tekanan tinggi dan rendah.
Secara keseluruhan, bukti dari RCT yang dibahas dalam tinjauan literatur ini menunjukkan bahwa mempertahankan tekanan perfusi yang lebih tinggi selama CPB setidaknya tidak merugikan, dan dalam beberapa kasus mungkin memberi manfaat, meskipun belum ada konsensus universal terkait target tekanan darah optimal.[15]
Kesimpulan
Bukti ilmiah yang ada telah secara konsisten menunjukkan bahwa tekanan darah yang terlalu tinggi atau rendah intraoperatif akan mempengaruhi luaran klinis pasien. Meski demikian, target tekanan darah intraoperatif yang optimal sulit ditentukan secara universal. Hal ini karena penelitian yang ada memiliki variasi pasien, intervensi, dan skenario klinis yang sangat luas.
Secara umum, kontrol tekanan darah intraoperatif perlu disesuaikan dengan kondisi dan tingkat risiko pasien, termasuk memikirkan jenis operasi yang dilakukan, anestesi yang digunakan, tekanan darah baseline pasien, durasi operasi dan anestesi, serta komorbiditas yang dimiliki. Penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel lebih besar dan metodologi yang lebih valid mungkin diperlukan untuk mendapat kesimpulan yang lebih tegas mengenai batasan tekanan darah optimal intraoperatif.
Direvisi oleh: dr. Bedry Qintha